“Bagaimana? Berhasil?” tanya seorang pria berkumis tipis dengan kaca mata menggantung di telinga.
“Boro-boro. Masuk pagarnya saja tidak. Ya ampun… satpam sialan!” Jawab pria dengan gigi gingsul itu. Lalu, berdecih. Laki-laki itu bernama Idris, ia memijat pelipisnya.
“Memang susah. Jurnalis itu wacana saja bebas meliput. Faktanya kita tidak bisa menyentuh pagar pemerintah sekalipun. Tapi aku yakin, ada yang mereka sembunyikan.”
Idris bergeming. Pekerjaan sebagai wartawan sudah ia nikmati selama puluhan tahun. Ia tahu betul kematian orang-orang berbaju putih dua puluh tahun lalu itu menyimpan misteri. Tidak ada catatan apa pun. Bahkan media online yang seharusnya bisa membuat berita berbeda dari koran maupun televisi pun tidak ada rekam jejaknya. Semua data-data hilang. Berita tentang kematian itu membuat pria berusia empat puluh lima tahun itu terus bertanya-tanya.
“Sebenarnya apa yang kau cari? Bukannya lebih mudah seperti ini ya. Tidak ada lagi orang-orang sok suci yang berdemo di jalanan. Suasana damai, aman, tenteram. Walaupun ada gejolak, paling juga kecil. Dan bisa hilang dalam waktu kurang dari sehari. Kita bisa makan gaji buta. Berita semua tentang kemajuan dan prestasi negeri ini.”
“Justru itu yang aneh. Kalau tidak ada yang oposisi dengan pemerintah, berarti ada yang dibungkam.”
Dua puluh tahun terakhir, setelah pemilihan kepala negara silih berganti. Pemerintah selalu melakukan jalan terbaik. Kemacetan bukan lagi hal yang diributkan seperti dulu, bahkan daerah pusat kota yang tadinya akrab dengan banjir juga tidak tersentuh air petaka itu. Tidak ada bencana alam yang berarti kecuali tanah longsor yang perlahan mulai bisa dikendalikan. Gempa bumi? Tidak pernah terjadi dalam dua dekade ini. Kepala negara menjelma menjadi manusia setengah dewa, dipuja oleh semua kalangan.
Pemerintah kini tidak hanya direstui pendukungnya, tapi juga alam. Tapi, semesta sepertinya galau. Ia tak memberi gempa tapi juga tidak memberi hujan. Entah apa maunya. Dan Tuhan? Baiklah tidak ada Tuhan yang disebut oleh bibir manusia era ini. Yang ada hanya regulasi kesepakatan yang dibuat dalam rumusan kedamaian bersama. Itu di negeri hijau ini. Negeri lain? Entahlah.
“Bagaimana istrimu? Kudengar hamil dia? Betulkah?”
“Ia, setelah lima belas tahun menikah. Akhirnya ada penerus keluarga. Tapi aku akan mengirimnya ke negeri yang jauh.”
“Kenapa?”
“Apa kau akan membiarkan anakmu tumbuh di negeri yang tidak tahu beda laki-laki dan perempuan ini?”
“Tidak.” Jawab lelaki berkacamata itu cepat. Namanya Haeril. Pria bertubuh sintal dan padat. Perutnya bulat penuh berisi lemak. Dia mengidap kolesterol tapi tetap suka makanan berminyak. Saat ini pun di depan matanya tersaji bakwan, tahu isi, tempe goreng tepung, dan ayam tepung krispi yang masih hangat. Kedua pria yang bercakap-cakap ini merupakan jurnalis. Mereka pemburu berita yang mencari catatan masa lalu yang hilang.
***
Sebuah mobil Limousine berhenti di gedung besar bernuansa ungu. Sepasang kaki dengan sepatu berhak 10 cm turun dari dalamnya. Muncul sosok perempuan kerudung hitam dengan dagu terangkat. Ia tersenyum kepada para penjaga dengan seragam ungu. Tak lama berlari seorang perempuan yang lagi-lagi berseragam ungu mendekati perempuan itu sembari membawakan tasnya. Aisy ikut turun melalui pintu mobil dari sisi lain. Gadis itu terperangah melihat gedung mewah di tengah hutan pinus itu.
Pukul sebelas lewat empat belas menit. Jam dinding di tengah ruangan berbentuk seperti tubuh wanita dengan perut buncit masih memutarkan jarum jam paling kurus. Aisy duduk di sana, pada sebuah sofa berwarna ungu gelap tanpa tambahan aksen apapun. Ada sebuah bantal ungu muda berenda yang ia letakkan di atas pahanya. Seorang perempuan yang rambutnya berwarna abu-abu mengantarkan juz mangga. Mata mereka beradu sebentar, perempuan tua itu segera merunduk. Aisy mengucapkan terima kasih.
“Indah bukan rumahku? Ah tidak.. ini yayasanku. Aku tidak punya keluarga, jadi tempat ini tidak bisa disebut rumah.” Perempuan itu mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya dengan pemantik.
Sial. Aku masuk mulut harimau, batin Aisy. Ia bergeming, tak tahu harus bagaimana. Baru saja selamat dari mata penuh nafsu laki-laki bermata biru. Kini harus mendekam dalam penjara megah milik perempuan gagak ini.
“Kau sedikit pendiam. Tapi matamu membangkang, aku tahu itu. Sudah ratusan wanita kutemui. Rata-rata sepertimu, tak banyak bicara seperti anjing bulldog yang lucu. Tapi lama-lama menyalak seperti anjing pemburu. Bagaimanapun, tetap saja anjing.” Maria terkekeh ringan.
“Apa maumu? Kau menolongku atau menjebakku?”
Tawa Maria berderai. Asap mengepul dari mulutnya. Aisy heran kenapa giginya tetap putih, walau nikotin menari-nari di dalam mulutnya. Wanita berlipstik hitam itu mematikan rokoknya. Tersenyum penuh hingga tampak garis senyum di pipinya yang tak berdaging. Hasil perawatan super mahal dengan teknologi mengencangkan otot pipi.
“Kau akan menjadi salah satu sumber penghasilanku. Hargamu pasti mahal. Kau masih perawan dan sangat muda. Wanita langka yang tidak mungkin bisa didapat dengan mudah sekarang ini.”
Tempat pelacuran. Aisy mendecih dalam hati. Dia benar-benar terkena kutukan. Wanita di hadapannya serupa siluman dengan air liur menetes dari mulutnya. Menjijikkan. Aisy tak lagi mendengar apa yang dikatakan perempuan itu. Dalam pikirannya ia mengatur rencana bagaimana bisa pergi dari istana berisi setan Aprodit ini.
“Ini bukan tempat membuang sperma. Aku melakukan hal mulia untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Jangan berpikir aku ini germov...******kecil yang cantik. Aku ini ibu. Mereka menyebutku Bunda Maria. Meski aku tidak melahirkan satu Yesus pun.”
Bunda Maria? Dia bahkan lebih menyerupai nenek sihir dari negeri iblis atau mungkin ibunya Lucifer. Aisy berkerut, kalau bukan rumah pelacuran, lantas apa? Pertanyaan Aisy menggema ke setiap ruangan meski hanya disampaikan hatinya. Dua puluh nmenit kemudian muncul perempuan dengan perut membusung. Kain yang ia pakai begitu tipis sampai pusar yang menonjol jelas terlihat. Ia menyalami tangan halus Bunda Maria.
“Namanya Aisy, dia akan sekamar denganmu,” tandasnya kepada perempuan berambut pirang itu. Matanya seperti bulan sabit dengan alis kembar melengkung sempurna.
“Nah … Aisy. Tinggallah di sini. Akan kutnjukkan kekuatan perempuan zaman ini padamu. Kau tahu, perempuan bisa menyebabkan peperangan besar,” ujarnya lalu tetawa melengking. Aisy merinding. Perempuan gagak itu seperti tidak waras. “Ajak Aisy ke kamar!” perintahnya.
Perempuan yang diperintah itu tersenyum menatap Aisy, lalu mengajak gadis itu mengikutinya. Mereka tiba di sebuah kamar berukuran 50x50 meter. Cukup luas. Ada dua ranjang medium. Selama ini perempuan berambut pirang itu tidur sendiri. Dia menawarkan beberapa baju kepada Aisy yang baru selesai mandi. Gadis itu terlihat lebih segar. Bau sabun mahal membuatnya mempesona. Si pirang itu bernama Michie.
“Pakai yang paling terang. Laki-laki suka yang terang dan tembus pandang. Kapan kamu akan dilelang?”
“Hah? Dilelang?” alis Aisy terangkat seirama dengan matanya yang membulat. Tangannya mengambil gaun berwarna hijau gelap. Baju paling tebal dan tertutup. Setidaknya, paha dan belahan dadanya tidak terlihat.
“Iya. Dulu aku juga begitu. Dilatih untuk sempurna. Lalu dilelang dengan harga mahal sampai ada seorang tuan yang mau memeliharamu. Setelah perutmu diisi benih kau akan dikembalikan ke sini. Menanti waktu melahirkan. Menyerahkan anak pada pembelimu. Lalu mengikuti lelang lagi kalau masih laku dan masih bisa hamil.”
Astaga! Tempat ini lebih dari sekedar terkutuk.
“Kalau sudah tidak laku?”
“Kau akan jadi babu. Membersihkan toilet, menyapu halaman, membuang muntahan perempuan-perempuan hamil di sini. Atau lebih buruk lagi di buang ke jalanan. Itu kalau kau merepotkan. Seperti kena penyakit dan tidak bisa bekerja.”
Jemari Aisy bergetar. Dia masuk neraka level satu. Seperti ada hawa panas menyayat lapisan epidermisnya. Matanya basah, hatinya menghitam. Ia mengerut seperti balon di malam hari. Terbayang tangan-tangan kotor berlapis******menyergapnya. Aisy memejamkan mata, kepalanya bergeleng-geleng mengusir banyangan yang mencekam tadi.
***
Edward mengambil ponsel, mencari sebuah kontak lalu menekan tombol memanggil. Sebuah wajah muncul di atas layar, tersenyum ramah.
“Selamat malam Tuan. Kau mau yang seperti apa?”
“Yang masih bersih.”
“Kebetulan baru datang. Tapi dia belum siap. Kita tidak memaksakan kehendak pada orang yang tidak mau. Undang-undang negeri ini... akan membuatku masuk ke penjara bawah tanah.”
“Baiklah. Kapan bisa siap?”
“Mungkin… satu bulan lagi.”
Pria bermata biru itu menutup gawainya. Siapapun terserah, asalkan dia segera punya benih. Hidup berdua dengan Pedro dalam ikatan pernikahan akan membuat dirinya bosan, jika tanpa suara anak-anak. Dia tipe manusia setia. Tidak akan mengkhianati Pedro, tapi ia juga butuh penerus gen yang harus menjaga hartanya dan nama keluarga.
Edward bersiap-siap. Esok dia akan menghadap kepala negara mempresentasikan proyek jalur jalan untuk mobil terbang. Dia ahli tata kota. Jalur kereta bawah tanah, pesawat, kapal laut, dan segala macam kendaraan berada di bawah pengawasannya. Pemuda pintar dengan kecerdasan yang tidak bisa disangkal. Pukul sepuluh malam lewat dua menit, suasana kota masih ramai. Beberapa mobil terbang mulai diuji coba. Setelah beberapa tahun kendaraan berjalan sendiri tanpa pengemudi, kini giliran kendaraan darat akan melayang di antara awan.
Suhu meningkat, hujan berkurang. Debu beterbangan, membuat pejalan kaki selalu menggunakan masker dan kacamata pelindung. Angin panas menyapa rambut wanita-wanita malam. Gaun mereka tidak menutup sempurna, tapi mereka tetap tidak takut kulitnya rusak. Mata-mata liar menatap bosan, sudah biasa. Tidak ada yang istimewa, seperti melihat dagangan digelar di pasar tradisional yang telah dihinggapi lalat.
Edward menatap jalan ibu kota. Mendengus. Wajah Aisy kembali menghiasi pelupuk matanya. Hatinya keras seperti bebatuan cadas pegunungan. Bertambah keras karena suhu yang mencapai lebih dari 38 derajat Celsius. Dan bumi tak lagi melahirkan rerumputan hijau nan subur. Planet ini sibuk dengan aktivitas dalam perutnya sendiri. Hanya di negeri yang tadinya hijau saja. Entah negeri lain. Perlahan dedaunan pohon mulai menguning.
****
Login untuk melihat komentar!