Jujur Pada Arya
[Malam, Cantik!] Diterima 19.30

Sebuah pesan singkat baru bisa******setelah pulang dari rapat di balai desa. Aku sibuk dengan agenda pembukaan rumah belajar hingga tak sempat mengotak-atik benda pipih itu.

[Malam, Cakep!] Terkirim 21.45

Begitulah panggilan sayang antara aku dan Arya. Hubungan kami masih terus berjalan hingga kini. Aku belum punya keberanian cukup untuk menceritakan semua. Rencananya aku akan menghindar perlahan dan meninggalkannya. Aku yakin hubungan jarak jauh ini cukup sebagai alasan.

[Akhirnya dibalas juga. Aku rindu.] Diterima 21.48

Deg! Irama debaran jantung dalam hati ini bagai drum yang dipukul dengan keras. Bukan karena bahagia, sebaliknya terasa ngilu. Meskipun aku merasakan hal yang sama. Sakit! Entah sampai kapan aku harus merahasiakan semua ini. 

[Jangan, berat!] Terkirim 21.50

[Aku serius. Seharian ini entah kenapa aku terus memikirkan dirimu. Cuti bulan depan aku akan pulang. Aku ingin menikah denganmu. Sudah lama kita pacaran, kenapa tidak kita resmikan saja. Aku tak bisa jauh darimu seperti ini.] Diterima 21.51

Jemariku bergetar, kerongkongan mengering, serta rasa sakit yang menusuk relung hati. Rasa takut kembali menyergap. Arya pria yang baik sejauh aku mengenalnya. Rasa cintanya pun terasa tulus.

Dering hape membuyarkan lamunanku. Nama Arya tertera di layar benda pipih itu. Ragu. Pipiku panas, tetapi telapak tangan ini membeku. Namun, dengan segenap keberanian, kutekan tombol hijau di sisi kiri ponsel.

"Halo, Cantik! Kenapa kau tak menjawab?"

"Maaf, Mas. Aku gak bisa."

"Kenapa?"

"Aku merasa tak pantas untukmu. Aku tak sempurna," jawabku ragu.

"Semua orang punya kurang dan lebih masing-masing, Sayang! Aku yakin kau bisa melengkapi aku, pun juga sebaliknya."

Sakit. Dia tidak tahu yang sebenarnya. Aku yakin pria itu akan pergi jika tahu diriku tak suci lagi. Seperti suami Mbak Marni. Jika yang sudah menikah saja bisa pergi, apa lagi kami yang masih pacaran dan baru akan memulai hubungan serius.

Baru memulai? Benar. Hubungan ini belum terlalu jauh. Akan lebih baik jika dihentikan. Rasa sakitnya mungkin bisa disembuhkan. Jangan sampai Arya semakin terluka karena telah berkorban banyak hal. 

"Cantik?"

"Ada sesuatu yang tidak kau ketahui," jawabku akhirnya. Itu pun setelah mengumpulkan banyak keberanian. "Aku sudah tak suci lagi."

"Apa?"

Air mata ini tak lagi tertahan. Meluncur deras mengiringi setiap kata yang terucap. Kisah sedih malam itu kuungkapkan semua. Aku tak mau terus membohonginya. Mungkin ini saat yang tepat untuk jujur.

Hening. Tak ada suara terdengar dari ujung sambungan telepon. Cemas. Sudah pasti. Tak sabar ingin tahu reaksinya. Hingga suara seperti embusan napas dalam terdengar. "Maaf." Hanya kata itu yang terucap sesaat sebelum sambungan telepon terputus.

Ini yang terbaik. Aku tak ingin seperti Mbak Marni yang ditinggalkan saat kebenaran terungkap. Seandainya dia mau jujur dari awal, mungkin nasibnya tak seburuk itu. Pun juga aku pernah membaca salah satu buku yang isinya, "Jika seorang pria meninggalkanmu karena kau sudah tidak perawan. Berarti dia tidak benar-benar cinta, karena cinta tidak akan bergantung pada selaput darah tipis."

Aku yakin Arya kecewa. Aku juga sadar ini yang akan terjadi. Aku sudah bersiap untuk itu. Akan tetapi, rasanya masih begitu menyakitkan. Buliran air bening lolos dari pelupuk mata. Aku menenggelamkan wajah di atas bantal. Hingga rasa kantuk datang mengantar ke alam mimpi.

***
Tiga hari sudah berlalu. Arya menghilang tanpa jejak. Kini rasa sepi mengungkung hati ini. Tak dapat dipungkiri, dua tahun berpacaran bukanlah waktu yang singkat. Banyak kenangan indah yang kami rajut bersama. Meski aku berusaha tegar, tetap saja terasa perih ditinggalkan begitu saja.

Aku teringat akun Facebook-nya. Langsung kuraih hape dan mengubek-ubek daftar pertemanan. Nihil. Arya benar-benar tak meninggalkan jejak. Dia menghilang. Ada rasa sesal kenapa aku bertindak bodoh menghapus nomor teleponnya. Tak ada niat berlari. Hanya tak ingin terbiasa dengannya.

Tiba-tiba ada notifikasi muncul di sudut layar. Ibu jariku merayap ke arah tombol itu. Seseorang memberi komentar pada foto keluarga yang kuunggah tiga tahun silam. "Ada yang kurang dalam foto ini. Harusnya aku berdiri di sampingmu."


__________________
Hilang satu muncul yang baru. Siapa itu? 

Komentar

Login untuk melihat komentar!