Gladis terus tersenyum di balik kemudi. Ia bisa membayangkan bagaimana kesalnya Arneta karena harus menghadapi angin kencang di jalan raya saat dibonceng Haris nanti.
"Dugaanmu salah, Net. Aku bukan wanita lemah," gumam Gladis sambil tersenyum.
Sampai di kantor, senyuman itu masih terlihat di wajah Gladis. Kebahagiaannya pun menular ke udara di sekelilingnya. Semua orang yang berpapasan dengan perempuan itu, langsung turut tersenyum dan mengangguk hormat.
Siapa yang tak kenal Gladis Maharani Handipraja? Putri tunggal pemilik Handipraja Group. Gladis pula yang akan mewarisi seluruh kekayaan keluarga konglomerat itu.
Perempuan itu kini melangkah dengan anggun ke lift yang terbuka. Beberapa orang menyapa dengan hangat.
"Wah, Bu Gladis ngantor lagi?" sapa seorang lelaki yang Gladis tahu adalah karyawan bagian keuangan.
"Yah, begitulah. Karena kangen kalian."
"Wah, Ibu bisa aja. Selamat ya, Bu. Kami senang bisa ketemu Bu Gladis lagi. Kantor beda banget sejak Ibu resign."
"Oh, ya? Beda apanya?"
"Nanti Ibu akan lihat sendiri. Saya takut salah kalau cerita."
"Oh, oke."
Keheningan kemudian menyelimuti mereka hingga pintu lift terbuka. Saat kakinya melangkah keluar, Gladis langsung disambut oleh seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan rambut ikal dan sorot mata yang tajam.
"Akhirnya kamu datang. Aku udah nunggu sejak lama, bahwa hari ini akan tiba. Yaitu saat tahta Handipraja kembali ke tanganmu."
"Ah, Om Dev bisa aja. Aku sebenarnya tak ingin bekerja lagi, Om. Kalaupun sekarang menginjakkan kaki di sini lagi, itu demi kalian. Keluarga besar yang sangat aku sayang."
"Terima kasih, Dis. Kamu memang kebanggaan kami. Ayo ke ruanganku. Kita ngopi dulu."
Gladis tertawa.
"Aku dah lama nggak ngopi, Om."
"Berarti kini saatnya mengubah kebiasaan, biar kita bisa selalu ngopi bareng."
"Om Dev bisa aja."
Keduanya kemudian beriringan melangkah ke ruang kerja Devano Handipraja. Seluruh karyawan tersenyum melihat keakraban paman dan keponakan itu.
"Satu jam lagi ada rapat yang akan dihadiri oleh seluruh jajaran direksi, manajemen, dan komisaris. Saat itulah akan aku umumkan kembalinya kamu menjabat posisi tertinggi di perusahaan ini."
***
Rapat sudah berlangsung setengah jam ketika pintu ruangan terbuka. Seorang lelaki dan satu perempuan memasuki ruangan dengan wajah yang kusut.
"Pak Haris dan Ibu Arneta, kenapa kalian terlambat dalam rapat penting seperti ini?"
"Maaf, Pak Dev. Kendaraan kami pecah ban di jalan," jawab Haris dengan gugup.
Devano memandang keduanya dengan sorot tajam, kemudian beralih pada Gladis yang duduk di sampingnya. Perempuan itu hanya mengangkat bahu.
"Baiklah. Kali ini saya maafkan, tapi tidak untuk lain kali. Sebagai salah satu manajer di perusahaan ini, harusnya anda bisa memberi contoh dan teladan yang baik, Pak Haris."
"Baik, Pak. Sekali lagi mohon maaf."
"Anda juga Bu Arneta. Lain kali kami tidak mentolerir keterlambatan dalam rapat. Artinya akan ada konsekuensi khusus yang akan diberikan."
"Baik, Pak Dev."
Haris dan Arneta kemudian melangkah menuju kursinya masing-masing. Keduanya sempat melirik pada Gladis yang duduk di samping Devano dan sibuk dengan laptopnya, seolah tak peduli pada kehadiran mereka.
Devano kemudian kembali memimpin jalannya rapat. Di penghujung agenda, ia menyampaikan sebuah informasi bahwa Gladis Maharani Handipraja kini akan kembali menduduki posisi CEO di perusahaan tersebut.
Haris dan Arneta tampak terkejut dengan keputusan itu.
***