Part 3
Hei, perempuan mandul! Semua fotomu sudah kuhapus. Haris tak akan pernah melihat pose seronokmu itu. Tak tahu malu, sudah dicampakkan masih saja menawarkan badan gendutmu! Catat baik-baik! Arneta sudah memberikan kepuasan mata dan pelayanan di tempat tidur untuk Haris. Ia tak akan pernah kembali padamu.

Gladis menatap nanar benda pipih di tangannya. Ternyata, Haris sudah dikuasai perempuan yang tak tahu terima kasih itu. Segera diletakkannya ponsel, lalu manatap wajahnya di cermin. 

Aku tidak boleh lemah, pikirnya. Biarkan angin segar membuat Arneta bahagia sejenak, tapi Gladis bertekad akan membuat keadaan berubah. Setelah ini, sahabat yang telah menikamnya dari belakang itu akan menyesal telah menjadi orang ketiga. 

"Lihat saja, Net. Kamu tak akan tenang menikmati semua yang seharusnya hanya milikku," ujar Gladis bicara seorang diri.

***

Lima hari telah berlalu. Gladis menunggu kedatangan Haris yang berjanji akan menemaninya. Ia yakin suaminya akan datang malam ini. 

Ternyata benar dugaannya. Haris datang tepat saat ia sedang menikmati makan malam. 

"Sayang, aku pulang," seru Haris yang langsung masuk tanpa mengucap salam. 

Gladis terpana menatap suaminya. Ia bahagia melihat Haris, tapi sekaligus kecewa karena ada Arneta di belakang lelaki itu. 

"Hei, kamu nggak senang aku pulang? Kok, malah diam?"

"Eh, i-itu ... aku ...."

Haris langsung mendekat dan memeluk Gladis. Ia menghujani istri pertamanya dengan ciuman, sementara Arneta membuang pandang. Ia menelusuri setiap jengkal rumah itu. Rapi dan nyaman, tapi tak terlalu besar. 

"Aku kangen, Sayang. Kamu masak apa?"

Gladis tak menjawab. Dahinya berkerut, sementara Haris melepaskan pelukannya. Ia langsung menuju meja makan. Ada sop kimlo dan bebek rica rica kesukaannya. 

"Wah, makasih, Sayang. Ternyata kamu menyiapkan penyambutan dengan masak makanan favoritku. Bebek dan sop ini pasti enak seperti biasanya. Ayo, kita makan."

Haris langsung duduk di samping kiri kursi tempat Gladis. Ia menyendok nasi dan mengambil paha bebek yang tampak menggiurkan. Tak lupa menuangkan sop kimlo ke dalam piringnya. Arneta bergegas menyusul dan duduk di samping kiri Haris, sementara Gladis hanya geleng-geleng kepala melihat sikap keduanya.

"Wah, bebek ini enak banget, Sayang. Kamu memang paling pintar memanjakan perutku."

Gladis tersenyum, sementara Arneta mencebikkan bibir. Ia ingin tahu, seenak apa masakan istri pertama Haris. Segera tangannya meraih piring dan mengambil sepotong bebek yang berukuran paling besar. 

"Nggak pakai nasi, Net?" tanya Gladis. 

"Aku nggak suka nasi. Sebenarnya nggak suka bebek juga, tapi mau gimana. Kamu nggak masak menu lain, kan?"

"Oh, aku nggak tahu kalau kamu nggak suka. Kupikir hanya Mas Haris yang akan datang ke sini, jadi masaknya itu aja. Dia paling suka bebek rica rica yang dimasak jangan terlalu empuk. Aku juga punya cara khusus agar daging bebeknya tidak amis. Mas Haris nggak akan makan kalau bebeknya amis," tutur Gladis. 

Arneta mendengkus. Masakan Gladis memang sangat lezat. Ia mengakui dan tahu tak akan bisa menandinginya. 

Gladis tersenyum. Ia tahu dirinya menang dalam hal ini karena Arneta tak bisa masak. Setelah ini, perempuan itu akan membuktikan pada sang madu, bahwa dirinya adalah yang terbaik dalam banyak hal. 

"Kamu menginap malam ini, Mas?"

"Tentu, Sayang. Aku dan Neta akan menginap di sini."

Gladis tersedak. Ia batuk beberapa kali hingga Haris mengambilkan air untuknya. 

"Kenapa Neta harus menginap di sini juga?"

"Karena aku belum beli rumah buat Neta, Sayang. Jadi, sementara ini kita tinggal bersama. Nggak apa, kan?"

Gladis tak menjawab pertanyaan suaminya. Dalam hati ia tak bisa menerima keputusan Haris, tapi tak mampu mengatakannya. Biarlah perempuan itu tinggal sementara waktu di sini, pikirnya. Bukankah ia jadi lebih mudah membuat Arneta menyesal telah menikah dengan Haris?

Ketiganya kemudian larut dalam keheningan. Gladis telah lebih dulu selesai makan. Ia bangkit dari duduk dan menuju tempat penyimpanan gelas. 

"Net, kalau sudah selesai, tolong kamu bereskan meja makan. Jangan lupa semua piring kotornya dicuci. Aku mau buatin minuman hangat untuk Mas Haris."

"Kenapa harus aku yang cuci piring?" sungut Arneta. 

"Ya memang harus kamu. Kita berbagi tugas. Kamu bisa buatin cokelat hangat kesukaan Mas Haris? Kalau bisa, biar aku yang cuci piringnya. Ingat, takarannya harus pas. Kalau nggak, biasanya Mas Haris mual."

"Kamu aja yang buatin cokelatnya. Arneta biar cuci piring. Dia nggak bisa pas kalau buatin cokelat panas."

"Mas, aku nggak biasa cuci piring. Kenapa nggak Gladis aja semua yang ngerjain? Aku capek," rajuk Arneta. 

"Kasihan kalau Gladis semua yang mengerjakan."

Gladis tersenyum mendengar pembelaan suaminya. Pertunjukan sedang dimulai, pikirnya. Perempuan itu memastikan, Arneta tak akan betah tinggal di rumahnya.

***

Maaf baru update. 
Ditunggu komennya. 
Jangan lupa pencet love ya.
Terima kasih.
Salam sehat.