Part 4
Gladis tersenyum mendengar pembelaan suaminya. Pertunjukan sedang dimulai, pikirnya. Perempuan itu memastikan, Arneta tak akan betah tinggal di rumahnya.

Ia mengambil gelas dan membuatkan cokelat panas untuk suaminya. Setelah selesai, Gladis membawa minuman itu ke ruang tamu, tempat Haris sedang duduk santai saat ini sambil menonton televisi. 

"Duduklah di sini. Aku kangen," ujar Haris saat dilihatnya Gladis hendak beranjak ke kamar setelah meletakkan cokelat buatannya di meja. 

Gladis duduk di sisi kiri suaminya. Haris langsung merangkul pundak perempuan itu dan mencium pipinya. 

"Gimana saat aku nggak di rumah? Kamu baik-baik aja, kan?"

Dalam hati Gladis ingin menjawab bahwa hanya fisiknya yang terlihat baik, tapi hatinya hancur. Apalagi kini Haris malah membawa pulang perempuan yang paling ia benci itu ke rumah mereka. 

"Aku baik, tapi kesepian."

Haris tertawa dan mencium kening istrinya. 

"Sekarang aku udah di sini. Kamu nggak akan kesepian lagi."

"Sebentar lagi kamu akan membagi malam, Mas. Nggak tujuh malam lagi buatku."

"Kamu tenang aja. Setiap hari aku akan ke sini. Apalagi suamimu ini selalu rindu masakanmu. Atau, biar kita gini aja?"

"Maksudnya?"

"Seterusnya kita tinggal bertiga. Aku, kamu, dan Neta. Jadi rumah ini nggak akan sepi."

"Nggak," tukas Gladis cepat. "Aku nggak mau satu atap dengan perempuan itu. Lebih baik aku yang pindah kalau dia mau di sini."

"Bagus."

Sebuah tepukan tangan terdengar di belakang mereka. Haris dan Gladis langsung menoleh ke arah datangnya suara. 

"Bagus kalau kamu mau pindah. Kenapa nggak mulai dari malam ini aja? Aku dan Mas Haris tidur di kamar utama, kamu di kamar belakang."

"Nggak bisa gitu, Neta! Ini rumah Gladis. Dia yang berhak atas semua ruangan di sini. Walau kamu juga istriku, tapi tetap berstatus tamu di sini. Sudah, tidurlah. Kamu pasti lelah. Malam ini giliranku bersama Gladis."

"Aku nggak mau. Kamu harus tidur sama aku malam ini," protes Arneta."

"Nggak bisa, Neta. Kita sudah lima hari bersama. Malam ini jatah Gladis untuk bersamaku. Pergilah ke kamar belakang. Sepertinya Gladis sudah membersihkan kamar itu."

"Maaf, aku nggak tahu kalau Neta akan menginap di sini. Kamar itu belum kusiapkan, tapi sudah bersih, kok. Setiap hari aku selalu membersihkan semua ruangan di rumah ini."

Arneta mendengkus. Dengan kesal ia melangkah masuk ke kamar belakang, sementara Haris kembali menatap wajah istri pertamanya. 

"Kamu tambah cantik. Habis perawatan, ya?"

"Iya, dong. Kamu perginya kelamaan, sih."

"Malam ini sepenuhnya buat kamu, Sayang."

Baru saja Gladis hendak menanggapi ucapan suaminya, terdengar jeritan dari kamar belakang. 

"Mas! Mas Haris! Tolong."

Gladis dan Haris langsung bangkit dari duduknya. Mereka berlari ke arah datangnya suara. 

Di kamar belakang, tak terlihat siapapun. Ternyata Arneta sedang di kamar mandi. Ia tampak duduk di lantai yang basah sambil memegangi pergelangan kaki kanannya. Perempuan itu meringis kesakitan. 

"Neta, kamu kenapa?"

Haris langsung berjongkok di depan istri keduanya. Tangan kekarnya******pergelangan kaki Arneta.

"Aku jatuh. Kamar mandi ini lantainya licin. Kayaknya udah lama nggak disikat. Aku keseleo sekarang. Duh, sakit banget, Mas."

Gladis memandang dengan wajah kesal. Pintar sekali maduku bersandiwara, pikir Gladis. Baru tadi pagi ia menyikat lantai kamar mandi itu. Dua hari sekali ia selalu melakukannya. Jadi jelas yang dikatakan Arneta adalah kebohongan. Gladis langsung berpikir untuk membalas permainan sang madu. 

"Ayo, aku gendong ke tempat tidur."

Arneta tersenyum. Ia mengalungkan tangan ke leher Haris. Matanya berbinar saat sang suami menggendongnya ala bridal style. 

"Dis, aku minta tolong ambilkan balsem, ya," pinta Haris dapat istri pertamanya.

Gladis mengangguk, lalu berjalan ke ruang tengah. Disana ia mengambil balsem dari kotak obat. Dengan malas, diseretnya langkah menuju kamar belakang.

"Ini, Mas," ujar Gladis sambil menyerahkan balsem pada suaminya.

"Makasih, Sayang. Kamu ke kamar duluan aja, ya. Nanti aku nyusul setelah ngurut kaki Neta."

Gladis hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkan keduanya. Ia sama sekali tak yakin bahwa Haris akan mendatanginya malam ini. Melihat senyum dan tatapan Arneta, Gladis yakin ini sebuah siasat. Madunya itu pasti ingin menguasai Haris, dan tak senang melihat Gladis mendapat perhatian dari suaminya itu malam ini. 

Dengan langkah gontai dimasukinya kamar tidur utama. Ruangan yang menjadi saksi semua malam indahnya bersama Haris selama ini. Namun, semua telah berubah. Mereka tak lagi dapat bersama setiap malam.

Setelah mengganti pakaiannya dengan baju tidur yang nyaman, Gladis menyikat gigi dan berwudhu. Ia menyiapkan tidur yang berbeda malam ini. Sendiri di kamar sepinya, sementara di sisi lain rumah itu ada sang suami yang sedang memadu kasih dengan wanita lain. Sahabatnya yang telah tega merenggut kebahagian Gladis.

Di tempat tidur, Gladis membaca sebuah novel sang baru ia beli dari toko buku online. Perempuan itu ingin mencipta bahagianya sendiri. Dengan caranga sendiri. 

"Kita lihat besok. Kamu akan menyesal, Neta," gumamnya lirih. 

***

Gladis bangun setengah jam sebelum subuh. Dipandanginya sisi kanan pembaringan. Sudah ia duga, tak akan ada Haris di sana. Kecewa tentu merambati hati, tapi perempuan itu tak ingin larut. Sedih tentu ada dalam setiap hidup, tapi tak selamanya. 

Gladis memilih menyerahkan semua rasa itu pada Sang Pemilik Hati. Ditunaikannya qiyamullail. Larut dalam sujud panjang dan doa syahdu hingga azan subuh berkumandang. Menunaikan dua rakaat lalu membaca surat cinta dari Tuhannya. Hingga tanpa sadar, ia tertidur sambil tangannya memegang Al Qur'an dan mukena masih membalut sekujur tubuh. Hingga sebuah suara lembut membangunkannya jam tujuh pagi. 

"Gladis. Bangun, Sayang. Kamu tidur lagi habis subuh"

Haris mengelus lembut bahu istri pertamanya. Ia heran melihat Gladis tidur dalam posisi duduk di atas sajadah. Biasanya perempuan itu akan membangunkan Haris, lalu mereka salat tahajud bersama. 

Pagi ini, semua berbeda. Haris bangun kesiangan. Salat subuhnya ia tunaikan setelah jam menunjukkan pukul enam lewat. Tak ada yang membangunkan lelaki itu dari tidur. Bahkan saat ini Neta masih bergelung dalam selimut tebal. 

Perlahan mata Gladis terbuka. Ia terkejut melihat sang suami berjongkok di sampingnya.

"Mas Haris?"

"Kenapa kamu tidur sambil duduk?"

"Eh, i-itu, tadi ketiduran kayaknya pas baca Qur'an."

"Kamu nggak masak? Aku lapar, nih."

"Lapar? Kenapa nggak minta Neta buat masakin? Bukannya kamu semalaman sama dia?" sindir Gladis dengan suara yang masih ia ucapkan dengan nada rendah.

"Neta nggak bisa masak, Dis. Kamu aja yang buatin aku sarapan, ya? Please."

"Jadi, kamu hanya butuh aku untuk kepentingan perut, Mas?" tanya Gladis lalu tertawa.

"Nggak gitu, Sayang. Semalam itu sampai lama kaki Neta baru ilang sakitnya."

"O, lalu membuat kamu lupa sama janji untuk menyusulku ke kamar ini?'

Haris menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gerakan tangannya membuat Gladis melihat rambut sang suami yang basah. Ia bisa pastikan, penampilan Neta nanti pun sama. 

Ada perih yang mengiris dada perempuan itu, saat tahu sang madu telah merenggut malam indahnya. Haruskah ia membalas perbuatan Neta?
****

Apa yang akan Gladis lakukan selanjutnya?