Lepaskan
Selesai rapat, satu persatu menyalami Gladis. 

"Semuanya orang lama," ujar Devano. "Ada beberapa orang baru yang mungkin kamu harus berkenalan lebih jauh. 

Gladis mengangguk. Ia memberikan senyum pada semua karyawan, termasuk Arneta, pada saat giliran perempuan itu menyalaminya. Istri kedua Haris itu berusaha membalas senyumannya, tapi terlihat sangat dipaksakan.

Saat masuk ke ruang kerja, Gladis merasa betapa nikmatnya kembali ke kantor. Ia merasa seperti burung yang keluar dari sangkar dan kembali ke habitatnya di alam bebas. Tidak. Itu tidak berarti ia ingin melalaikan posisi sebagai istri. Namun, bukankah wajar jika dirinya membutuhkan hiburan di saat sang suami tak lagi adil. Toh, yang ia lakukan hanya bekerja, pikirnya.

Gladis duduk di kursinya. Di hadapan perempuan itu saat ini terpampang berkas dari Devano yang harus ia baca.  Gladis hampir tidak jadi menarik napas melihat angka-angka di depannya. Uraian dan nominal yang tertera membuat napasnya sesak. Ia tidak percaya bahwa Haris sudah menyelewengkan uang perusahaan hampir dua miliar.

Uang memang bisa membuat orang lupa segalanya, pikir Gladis. Apalagi kini ia melihat Arneta mengubah gaya hidupnya sejak menjadi sekretaris Haris. Mungkin wanita itulah yang membuat suami Gladis nekat.

Entah mengapa, Gladis tiba-tiba merasakan semangat untuk membongkar kasus ini. Mungkinkah itu semata karena dia adalah pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab? Atau semua karena rasa sakit melihat sang suami menduakannya?

"Kita harus membentuk komisi khusus untuk segera menyelesaikan kasus ini, Om," ujarnya pada Devano saat mereka makan siang bersama. 

"Tentu. Aku memberikan kekuasaan penuh padamu, Dis."

Gladis tersenyum. Untuk sesaat ia merasa seperti perempuan jahat yang ingin menjatuhkan suaminya sendiri. Namun, sisi hatinya yang lain juga tak ingin perusahaan hancur karena orang terdekat. 

Dengan sigap Gladis mengumpulkan beberapa orang yang ia paham benar etos kerja dan juga track record-nya. Sebuah tim khusus telah ia bentuk sore itu. Mereka akan mulai bekerja esok hari. 

Selesai merapikan berkas di meja, Gladis keluar dari ruang kerjanya. Saat kakinya menginjakkan lantai di depan pintu, Haris muncul di sana. 

"Dis, aku bisa pinjam mobil?"

"Buat apa?"

"Arneta nggak enak badan. Aku harus bawa dia ke dokter."

"Kamu bisa order taksi online. Kalau nggak ngerti caranya, biar aku yang orderin dari sini. Mau ke rumah sakit mana?"

"Ng-nggak usah, deh. Aku order sendiri aja. Kamu langsung pulang, kan?"

"Kenapa memangnya?"

"Aku ingin makan sup ayam buatanmu malam ini, Dis."

"Kenapa nggak suruh Arneta aja yang buat? Dia juga istri kamu, kan?"

Haris diam. Ia menatap istri pertamanya dengan pandangan tak percaya. Kemana Gladis yang dulu selalu menuruti semua keinginannya?

"Kalau udah nggak ada yang dibicarain, aku permisi duluan. Sudah janji sama Om Devano."

Tanpa menunggu suaminya memberikan jawaban, Gladis berlalu. Ia  berjalan menuju ke tempat parkir dan langsung melajukan kendaraannya. Tujuannya saat ini adalah sebuah resto mewah di Jakarta Barat. Om Devano mengundangnya hadir ke peringatan kawin peraknya bersama sang istri.

Dalam hati Gladis merasa iri. Ia tak yakin pernikahannya bisa mencapai angka dua puluh lima tahun. Karena di usia yang masih seumur jagung saja, mahligainya mulai terkoyak. 

Rasa itu masih terbawa saat ia sampai di pelataran resto. Namun, bukan Gladis namanya jika tidak mampu menutupi perasaan di hati. Setelah memberikan sentuhan ulang pada riasan wajahnya, Gladis turun dari mobil. Langkahnya dibuat mantap hingga kepercayaan diri kembali melingkupi suasana hati perempuan itu. 

Dari jauh ia sudah melihat tempat yang dibooking oleh om Devano dan istrinya. Acara kali ini memang hanya mengundang keluarga besar mereka sendiri, hingga tak perlu menyewa seluruh bagian resto. 

Saat beberapa langkah lagi kakinya mencapai tempat yang dituju, Gladis bertabrakan dengan seorang lelaki yang berjalan dari arah berlawanan. Tak sempat memperbaiki keseimbangan, perempuan itu terjungkal. Untung saja tangan lelaki yang menabraknya, dengan cepat mampu menahan tubuh Gladis hingga tak sampai menyentuh lantai. 

"Kamu nggak apa-apa?" 

Gladis yang terkejut, tak mampu berkata sepatah pun. Ia menatap lelaki yang kini wajahnya sangat dekat. Ia bahkan bisa merasakan napas dari pria tampan itu mengenai wajahnya. Jantung Gladis berdegup kencang saat menyadari tubuhnya benar-benar bertumpu pada lengan dan dada lelaki itu. 

Sebuah suara tiba-tiba menginterupsi keduanya. 

"Lepaskan istri saya!"

***

Bersambung

Komen di bawah yuk
Jangan lupa tap love