Part 2
Tolong bantu subscribe dulu ya readerku tercinta ....

Setelah mengenalkan istri keduanya, Haris meninggalkan Gladis yang masih sangat terpukul.

"Jaga diri baik-baik, Sayang. Kami berdua akan berbulan madu selama lima hari. Setelah itu, aku akan menemanimu," ujar Haris tanpa memikirkan perasaan istri pertamanya.

Laki-laki itu kemudian keluar dengan merengkuh pinggang istri keduanya, diiringi tatapan Gladis yang masih berurai air mata. 

Apa yang salah denganku, pikir Gladis. Tega sekali Haris menduakannya hanya karena belum punya anak di tahun kelima pernikahan mereka. 

Gladis berjalan ke kamarnya, lalu mematut diri di depan cermin. Apakah karena aku sudah tak cantik lagi, tanya Gladis dalam hati. Ia memperhatikan wajah di dalam cermin. Untuk usia sepertinya yang baru menginjak 29 tahun, Gladis masih tampak cantik. Wajahnya putih mulus hampir tanpa cela. Hanya saja ia sudah jarang meriasnya dengan make up. Berbeda dengan tampilannya dahulu saat masih menjadi sekretaris. 

Gladis mengurai rambut panjangnya. Sejak tak lagi bekerja, perempuan itu hanya menggulung rambutnya ke atas menjadi cepol sederhana setiap hari. Saat di rumah, ia hanya mengenakan daster dan tak merias wajahnya.

"Sepertinya kamu harus mengubah penampilan, Gladis," ujar perempuan itu pada bayangan dirinya di dalam cermin. 

Aku bahkan jauh lebih cantik dari Arneta yang sudah 34 tahun itu, pikir Gladis. Bedanya, istri kedua Haris masih bekerja dan selalu berdandan habis-habisan. Perempuan itu juga sering mengumbar lekuk tubuhnya, terutama di hadapan Haris. Gladis pernah mendapati Arneta memakai blouse transparan dan ketat, dengan tiga kancing yang sengaja dibuka. 

"Net, bisakah kau memakai pakaian yang lebih tertutup dan sopan saat di kantor ini?" tegur Gladis saat itu yang datang membawakan makan siang untuk suaminya.

Arneta tak menanggapi. Ia bahkan menatap Gladis dengan pandangan tak suka. 

Kini, sahabatnya saat di bangku kuliah itu telah merebut sang suami. Gladis yakin, bukan semata ingin segera punya anak yang membuat Haris menikahi Arneta. Pasti perempuan tak tahu diri itulah yang merayu suamiku, pikirnya.

Bergegas istri pertama Haris itu mengambil kunci mobil. Ia akan melakukan perawatan tubuh selama lima hari ini, agar Haris kembali padanya dan meninggalkan Arneta. 

Menyusuri jalan dengan kecepatan tinggi, pikiran Gladis mengembara sambil tangannya mencengkeram kemudi. Mungkinkah kenyataan dirinya yang dipoligami ini karena ia tak menuruti nasihat orang tua, tanya perempuan itu dalam hatinya.

"Pokoknya, Mama nggak mau ya, kamu pacaran sama Haris. Apalagi sampai menikahinya!"

"Kenapa begitu, Ma? Bukankah Haris pria yang baik? Ia tak pernah neko-neko. Bahkan jadi lulusan terbaik di angkatanku," ujar Gladis kala itu. 

"Mama nggak suka. Dia itu sombong. Dari tatapan dan ucapannya, Haris sering terlihat merendahkan orang lain dan meninggikan diri sendiri."

"Kayaknya itu perasaan Mama aja, deh."

Tak mendapat dukungan sang ibunda, Gladis beralih pada ayahnya. Selama masih menjadi mahasiswa, Haris sering dimintanya untuk datang ke rumah. Mendekat dan mencoba mengambil hati sang ayah. 

Usahanya itu tak sia-sia. Lulus kuliah, mereka mendapat restu dua keluarga dan sepakat menikah. Gladis yang sudah lebih dahulu bekerja di kantor ayahnya, kemudian meminta keluarga besar untuk menerima Haris bekerja di perusahaan mereka. 

Karir Haris melesat. Ia yang semula hanya staf biasa, kini bisa menduduki posisi direktur. Namun, semakin sukses, Haris lupa diri. Ia merasa tak cukup dengan satu istri, lalu menikahi sekretarisnya yang selalu berpenampilan menggoda saat mereka bersama. 

Gladis tak ingin membiarkan Arneta menguasai Haris dan juga hartanya. Ia sangat mengenal perempuan itu. Wanita ambisius yang tak akan berhenti sampai keinginannya tercapai. 

Tak butuh waktu lama, perempuan itu sudah sampai di salon langganannya. Saat masih bekerja, Gladis pasti menyempatkan waktu satu bulan sekali untuk mendatangi tempat itu. Pemiliknya adalah Hani, sahabat Gladis sejak bangku SMA. 

"Hai, Dis. Udah lama banget kita nggak ketemu," ujar Hani sambil memeluk Gladis. 

"Iya, nih. Kangen," sambut Gladis sambil membalas pelukan sahabatnya."

"Eh, mata kamu kenapa? Habis nangis, ya?" tanya Hani saat mereka sudah mengurai pelukan. 

Gladis tampak gugup. Ia mengusap wajahnya. 

"Ng-enggak, kok. Aku kelilipan tadi."

"Oh, benarkah?" 

Gladis mengangguk, sementara Hani menatap sahabatnya itu dengan pandangan menyelidik. Ia tak bisa langsung mempercayai ucapan Gladis.

"Aku mau potong rambut, dong. Pilihkan model terbaru yang bisa bikin aku kelihatan cantik dan seksi."

Hani mengernyit. Ia menatap heran pada Gladis yang bersikap sangat aneh menurutnya. 

"Gimana, Han? Diajak ngomong malah ngelamun?"

"Eh, i-itu .... Aneh aja lihat kamu yang nggak biasanya kayak gini."

"Aku nggak apa, kok. Hanya ingin terlihat lebih menarik lagi di depan Haris."

Mata Hani berbinar mendengar jawaban Gladis.

"Wah, aku setuju itu. Laki-laki saat ini harus menghadapi godaan berat di luar sana. Kalau istri tidak pandai menyuguhkan yang lebih fantastis, para suami bisa dengan mudah berpaling."

Andai kamu tahu, suamiku bahkan sudah berpaling, ucap Gladis dalam hati. Ia merasa terlambat memperbaiki penampilan. Selama ini, baginya yang penting melayani Haris dalam hal biologis dan juga makan. 

Gladis sangat pandai memasak. Dalam sebulan, ia selalu menyajikan tiga puluh menu berbeda yang diganti setiap hari. Haris selalu makan dengan lahap. 

"Masakanmu selalu enak sekali, Sayang," ucap Haris setiap selesai makan masakan istrinya. 

Pujian selalu dilontarkan Haris untuk Gladis saat di meja makan. Namun, kini perempuan itu sadar, sang suami tak pernah memuji penampilan dan pelayanannya di tempat tidur. Rupanya ada perempuan lain yang menyuguhkan tubuh lebih molek pada suaminya setiap hari. 

Kini, ia bertekad tampil maksimal saat Haris pulang dari bulan madunya. Gladis ingin suaminya meninggalkan Arneta, tapi ia tak yakin mampu memisahkan mereka. 

Walau tak terima dipoligami, Gladis masih bimbang, apakah ia harus mengajukan gugatan cerai atau tidak. Haris pasti tak mau menceraikan dirinya. Namun, ia juga belum siap menggugat cerai dan kehilangan laki-laki yang sangat dicintainya itu.

Gladis baru beranjak dari salon milik Hani setelah waktu menunjukkan pukul lima sore. Ia puas dengan pelayanan yang diterimanya. Menatap wajahnya di cermin, Gladis tersenyum. Sosoknya kini tak lagi sama.

Rambutnya yang dulu panjang melebihi pinggang, kini dipotong sangat pendek sehingga menampakkan leher jenjangnya. Ia juga melakukan perawatan tubuh di tempat Hani. Kulitnya kini semakin terlihat putih merona. Ia yakin, Haris akan kembali terpesona pada kecantikannya. Gladis tersadar, sudah cukup lama sang suami tak menyentuhnya. Mungkinkah Haris sudah melakukan hubungan suami istri dengan Arneta saat mereka belum menikah?

Mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya, Gladis melajukan mobil ke sebuah mal. Ia berbelanja banyak pakaian dalam. Tujuh warna lingerie cantik aneka model sudah memenuhi tas belanjanya. Tak lupa ia berbelanja buah-buahan. Gladis akan kembali melakukan diet dan juga berolahraga agar bentuk tubuhnya kembali memikat. 

Pulang dari mal, Gladis memanjakan diri dengan berendam dalam jacuzzi. Kemudian ia makan dan berbaring. Gladis ingin mengirimkan pesan untuk Haris. Betapa terkejutnya perempuan itu, ketika foto profil di akun aplikasi hijau suaminya sudah berubah. Bukan lagi foto Haris dengan dirinya yang sedang berpelukan. Gladis melihat foto tempat tidur bertabur aneka bunga di atasnya. Ia yakin, itu adalah tempat Haris bercinta dengan Arneta selama berbulan madu. 

Hati Gladis terasa perih bagai tersayat sembilu. Air mata sudah tak mampu ia bendung lagi. Mengalir deras membasahi pipi hingga bantal di bawah kepalanya. 

Tidak, pikir Gladis. Ia tak boleh terpuruk. Dirinya harus terlihat tegar di mata Arneta, juga suaminya. 

Segera perempuan itu membuka tas belanja. Ia mencoba semua lingerie yang tampak menggoda saat melekat di tubuhnya. Gladis berpose dengan mengenakan semua pakaian itu, lalu mengirimkannya pada Haris. Ia yakin suaminya ingin segera pulang setelah melihat empat belas foto yang dikirimkan Gladis. 

Tak menunggu lama, sebuah pesan masuk ke dalam gawainya. Nomor Haris tertera di sana. Segera Gladis membuka dan membacanya. 

Hei, perempuan mandul! Semua fotomu sudah kuhapus. Haris tak akan pernah melihat pose seronokmu itu. Tak tahu malu, sudah dicampakkan masih saja menawarkan badan gendutmu! Catat baik-baik! Arneta sudah memberikan kepuasan mata dan pelayanan di tempat tidur untuk Haris. Ia tak akan pernah kembali padamu.

***

Next atau udah? Tolong komen di bawah ya kak