Part 5


Hari ke sembilan menjadi istrimu

"Jadi kau sudah resign dari pekerjaanmu?" tanya Dokter Aida padaku. 

Aku mengangguk. "Aku mudah sekali lelah akhir-akhir ini, aku takut nanti kesehatanku semakin menurun." 

"Kau beralasan apa dengan orang kantor?" 

"Kubilang dilarang suami untuk kerja." 

"Halif tahu kau berhenti kerja?" 

Aku menggeleng. "Setiap pagi aku pun pergi seolah bekerja." 

Dokter Aida tertawa. "Apa yang kau lakukan?" 

"Aku melakukan semua yang dahulu belum sempat kulakukan. Aku ke perpustakaan dan membaca buku, ke pasar tradisional hanya untuk membeli tiwul masa SD dulu dan mengunjungimu," jelasku. 

"Baguslah, nikmati hidupmu, Zeta, sebelumnya kau terlalu memikirkan orang lain." 

"Oh ya, ada anak bernama Nadia yang kutemui kemarin. Ia sakit apa?" 

"Kanker juga, stadium tiga. Kasihan, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dua tahun yang lalu, ia hanya bersama kakaknya." 

"Iya, aku bertemu dengan kakaknya juga kemarin, Leo namanya." 

"Aku selalu terharu melihat kedekatan dua bersaudara itu, kakaknya begitu menyayangi adiknya." 

"Aku akan sering mengunjunginya," ucapku. 

"Iya, seringlah datang kemari, kau akan melihat ada banyak keajaiban, harapan dan rasa syukur di sini."

Aku tertegun. Anak sekecil itu, bahkan masih banyak yang belum ia lalui namun terpaksa menjalani serangkaian pengobatan yang pastinya menyakitkan. 

"Apa hasil lab-ku sudah keluar?" tanyaku lagi. 

"Belum, nanti kukabari,.. tapi Zeta kurasa Halif harus tahu mengenai ini." 

Aku menggeleng. "Jangan... Untuk apa? Ia bahkan belum mencintaiku, aku hanya akan menjadi beban baginya." 

"Ia suamimu." 

"Tapi ia sendiri yang bilang sedang belajar mencintaiku." Aku menjawab pelan. "Aku tak ingin dikasihani." 

Dokter Aida menghela napas. "Setidaknya beritahu saja Arumi adikmu, kumohon..." 

"Hidup Arumi begitu sempurna, Da, ia memiliki semua yang wanita impikan, aku tak mau merusak kebahagiaannya." 

"Kau akan menyakiti semua orang dengan kebohonganmu ini." 

Aku tersenyum. "Ingat janjimu kan? Aku akan terus berobat jika kau merahasiakan penyakitku ini, jadi jangan coba beritahu yang lain oke?" Aku mengedipkan sebelah mataku. 

Dokter Aida kembali menghela napas. "Pokoknya, kau bisa mengandalkanku. Jangan sungkan untuk menceritakan apapun padaku termasuk keluh kesahmu." 

Aku mengangguk. 

Terkadang aku bertanya dalam doa, mengapa aku ya Tuhan? Kenapa aku yang terpilih untuk merasakan sakit ini? 

Namun semakin kubertanya semakin dalam rasa sesal ini. 

Bukankah Allah begitu baik padaku, ia telah memberikan kesehatan selama lebih dari tiga puluh tahun hidupku, ini hanya secuil saja ujian dan aku sudah mengeluh, ah... Betapa serakah diri ini. 

Kadang lama aku menatap Halif, yang ketika tengah malam masih berkutat dengan laptopnya. Jika ia mengetahui sakitku ini, apakah ia akan meninggalkan laptop itu dan lebih memilih menghabiskan malam bersamaku? Aku tak sanggup membayangkan bila akhirnya ia lah yang melepaskan ku dan tak ingin bersama lagi. Bisa jadi mempunyai istri penyakitan merupakan beban baginya. 

Kata Arumi, di dunia ini ada banyak orang bodoh tapi orang bodoh yang keras kepala itu langka, dan aku lah salah satunya. Aku tertawa ketika mendengar ucapannya itu. Benar, hanya wanita bodoh yang keras kepala saja yang rela menunggu seorang laki-laki, tetap menunggu ketika lelaki itu telah memilih yang lain dan masih menunggu hingga akhirnya laki-laki itu terpaksa menikahinya. Aku lah si bodoh yang keras kepala itu. Ah lucunya logika ketika rasa sudah menguasai. 

"Aku antar kau ke kantor," ucap Halif tadi pagi. Ia tetap irit bicara seperti biasa.  

Aku menurut, mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan duduk berdua dengannya di dalam mobil. Entah nanti apa aku masih bisa merasakan ini lagi. Siapa tahu nantinya diri ini hanya mampu terbaring saja bertemankan selang infus. Akan kunikmati setiap detik kebersamaan ini. 

"Apa pekerjaanmu sangat banyak akhir-akhir ini," tanyaku. 

"Hmmm... Iya." Halif menjawab singkat, kedua netranya fokus menatap jalanan. Nampak betul ia enggan menjawab. 

Aku tersenyum, tak apa lah bila kau tak suka mengobrol denganku, melihatmu pun aku sudah bahagia. Entah mengapa, wanita bodoh ini selalu menyukai apapun yang ada padamu, wajar kan? Ia suamiku. 

"Mungkin aku akan pulang agak malam," ujar Halif lagi. 

"Tak apa, aku tak takut di rumah sendirian," ujarku. 

"Ehhh...iya." Halif tersenyum. 

Ah waktu... Bisakah aku memohon, hentikan sejenak saat ini. Lima belas menit perjalanan ini begitu singkat, berikan aku sedikit waktu untuk menatapnya lebih lama. Tak usah yang lain, melihatnya dengan jarak sedekat ini pun hatiku telah berbunga. Kumohon... Bisakah kau membantuku, izinkan aku menikmati kebersamaan ini lebih lama lagi. 

"Sampai," ujar Halif. 

Aku tersenyum. Ah, waktu tak mau diajak berkompromi rupanya, berakhir sudah kebersamaanku dengannya pagi ini, semoga masih ada pagi yang lain. "Terima kasih," ucapku. 

Halif tersenyum, ya tanpa kata seperti biasanya hanya seulas senyum saja dan itu sudah lebih dari cukup bagiku. 

Aku tetap berdiri mematung menunggu hingga mobilnya tak terlihat lagi. Mau kemana aku kini? Sepertinya pergi ke pasar akan sangat menyenangkan. Aku melambaikan tangan memanggil sebuah taksi. Pergi. 

***

"Kakak!" Gadis kecil itu memanggilku lagi. Sore ini aku kembali ke rumah sakit, entah mengapa akhir-akhir ini aku aroma obat yang dahulu bisa membuatku mual begitu kurindukan.  Dokter Aida pun menyarankanku untuk melihat-lihat keadaan pasien lainnya agar aku merasa tak sendiri alasannya, dan aku suka.

"Hai, Sayang." Aku langsung bergegas menghampiri Nadia dan memeluknya. Ah...mengapa anak ini begitu kurus. 

"Aku suka dengan barbienya, imut-imut." Nadia semringah memamerkan deretan giginya yang kehitaman, mungkin pengaruh obat. Anak ini...

"Terima kasih ya," ucap Leo.

Aku mengangguk. "Nanti kakak belikan lagi yang banyak." 

"Asikkk! Kakak kapan jadi pasien di sini, biar aku ada kawan." 

Aku tersenyum. 

"Gak tahu, masih menunggu hasil lab." 

"Gak boleh ngomong kayak gitu, Nadia." Mungkin Leo merasa tak enak hati, ia mengusap lembut punggung adiknya. 

"Tak apa, semua kemungkinan bisa terjadi, siapa tahu nantinya aku pun akan menjadi pasien tetap di sini," ujarku. 

Leo tersenyum. "Beberapa hari yang lalu Nadia melakukan kemo, ia cukup rewel dan sensitif, untunglah kau datang menghibur." 

"Nanti aku akan lebih sering mengunjungi Nadia, dia gadis yang menyenangkan. Aku juga punya keponakan selucu dia." 

"Terima kasih. Eh... Aku ada urusan, apa bisa kau menemani Nadia, hanya dua jam saja." 

"Tak apa, aku masih menunggu temanku selesai dinas, akan kutemani Nadia. " 

"Bisa minta no WA-mu?" 

"Tentu." Aku menyebut deretan angka. 

"Akan kusimpan, nanti akan kuhubungi." 

"Iya, santai saja, tak usah terburu-buru. Aku dan Nadia akan betah bermain bersama." 

Dahulu, aku begitu ingin memiliki seorang anak, menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengurusi urusan keluarga saja. Aku sangat menantikan saat-saat mengepang rambut putriku, bermain bola dengan anak laki-lakiku atau sekedar membuatkan cemilan kesukaan mereka. 

Akan seperti apa rupa anakku kelak pun sempat terlintas dalam benakku. Membayangkannya saja sudah membuat hatiku berbunga-bunga. 

Tapi sepertinya khayalan itu akan tetap menjadi mimpi tanpa pernah menjadi nyata. Hidup ini tak sesederhana impian, begitu berliku dan sangat singkat rupanya. Tak usah lah memikirkan tentang nanti atau masa depan, cukuplah kunikmati saat ini. Selagi nyawa masih bersama raga. 

***

POV Halif

Ini dia manusia jahat itu, ia menyeringai seolah mengejekku, hanya demi rupiah ia merelakan segala cara. Benar-benar manusia iblis. 

"Apa kabarmu Halif?" Leo, laki-laki tak tahu malu ini menyapa. 

"Tentu saja baik," jawabku. "Dan kau, bagaimana kabarmu setelah berhasil mencuri proposal perusahaanku? Masih bisa tidur nyenyak?" 

Leo tertawa. "Aku tak pernah mencurinya, calon istrimu itu yang suka rela memberikannya padaku, bahkan bukan hanya itu, ia pun rela memberikan tubuhnya padaku. Menarik bukan?" 

Sebisa mungkin aku berusaha menahan gemuruh di dadaku. Laki-laki ini...

Edo menyentuh pundakku dan menggeleng. Tenang saja, aku tak akan terpengaruh olehnya. 

"Oh iya, Amira telah kucampakkan, aku tak tertarik dengan wanita yang terlalu agresif seperti itu. Kau pungutlah kembali ia, kasihan..." Leo kembali tertawa. 

"Tak perlu, aku tak menerima barang bekas. Begitu Amira pergi, seorang wanita baik langsung bersedia menjadi istriku. Kau lihat, aku tak semerana yang kau pikirkan." 

"Kita lihat saja nanti." Leo berlalu. 

Sejak awal aku memang tak pernah menyukai Leo, sebagai pengusaha muda ia terlalu licik, menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan. Ini bukan kali pertama ia bersinggungan dengan pesaingnya itu, namun kali ini ia benar-benar kelewatan. Caranya begitu licik. 

Proyek kali ini adalah masa depan perusahaannya, ia tak mungkin menyerah, ia tak akan membiarkan pesaingnya itu menang. 

Hari ini adalah waktu pengumpulan proposal, bila tim-ku berhasil meyakinkan para investor maka perusahaan akan bisa diselamatkan, nasib karyawanku bisa diperjuangkan. Ya... Semuanya akan lebih mudah jika saja Amira tak berkhianat. Tapi setidaknya ia tahu kadar kesetiaan wanita itu. Lebih awal mengetahui kebusukannya akan lebih baik lagi. 

"Pak, soal ibu, saya sudah ke perusahaan tempat ibu bekerja dan ia sudah resign," lapor Edo padaku. 

"Apa kau tak salah?" Aku menatap asistenku ini. 

"Ini copy surat pengunduran diri ibu." Edo menyerahkan selembar kertas padaku. "Aku sudah melihat aslinya."

"Berarti sudah dua hari ia berpura-pura kerja, tapi mengapa?" 

"Saya tak tahu, Pak. Alasan pengunduran diri ibu adalah karena tidak memperoleh izin suami."

"Ada yang ia sembunyikan dariku."

"Besok akan saya minta orang mengikuti ibu." 

"Baiklah, catat semua detail yang ia lakukan dan laporkan." 

"Iya, Pak." 

"Aku ingin tahu, ada apa dibalik kebohongan yang ia ciptakan."

Arzeta... ada apa denganmu? Apa yang kau sembunyikan dariku? Sejak awal aku sudah menangkap ada yang salah darimu, tapi apa? 

***

Hari ke-sepuluh menjadi istrimu

Selamat pagi dunia? Hari ini sepertinya tubuhku sudah cukup membaik. Kemarin aku sudah mengecek jumlah tabungan, kurasa bila ditambah dengan asuransi kesehatan, semua akan cukup membiayai pengobatanku ketika diperlukan. Ya... mungkin tak lama lagi... Aku akan melepaskan semuanya dan hanya berkonsentrasi pada tubuh ini saja. 

Kemarin, aku pun sudah menjual beberapa pergiasanku, tak ada guna menyimpan semuanya, ada lebih banyak orang yang membutuhkan. Kurasa, akan lebih banyak tawa yang tercipta oleh rupiah-rupiah itu. 

"Kau akan bekerja?" Halif bertanya padaku. 

Aku mengangguk. Sejak kemarin wajahnya sangat tegang dan kusut, mungkin masalah perusahaan. 

"Perlu kuantar?" 

"Bagaimana bagusnya saja," ucapku. 

"Akan kuantar," sahut Halif. 

Aku tersenyum. Itu berarti akan ada waktu lebih lama hari ini untuk sekedar menatap wajahnya. Ia tak banyak bicara dan berkali menghela napas panjang, sepertinya ada kekesalan di hati suamiku ini. 

Seperti biasa, Halif menurunkanku di depan kantor, ah... Bekas kantorku maksudnya. 

Aku tinggal memanggil taksi dan kembali berkelana ke tempat yang aku suka. 

Hari ini aku ingin bertemu dengan Mbah penjual tiwul itu, sejak dahulu entah kenapa  wajah wanita tua ini tak pernah berubah. Selalu seperti ini saja. 

"Awet tuanya," ucap Mbah Marni sambil terkekeh. 

Aku pun tertawa. 

"Mau berapa porsi?" 

"Satu porsi saja, Mbah, cenilnya juga satu porsi," pesanku.

Ah benar-benar, makan yang paling nyaman adalah di pinggir jalan sambil duduk bersama penjualnya dan kini aku benar-benar bisa menikmatinya. Mbah Marni mulai bercerita tentang liku hidupnya, mulai dari menjadi pembantu, banting setir menjadi tukang pijat dan berakhir dengan bakul tiwulnya. 

"Bakul tiwul ini lah yang menyekolahkan kelima anak Mbah, sangat berjasa," ujar wanita tua itu dengan netra yang berbinar. 

"Mbah gak mau pensiun?" tanyaku. 

"Mbah mau umroh, sudah naik haji kemarin jadi ketagihan."

"MasyaAllah, Mbah, saya doakan kesampaian." 

"Aamiin." 

Aku menyerahkan satu lembar uang merah padanya. 

"Semuanya hanya sepuluh ribu, gak ada kembalian, masih pagi. Udah ambil saja, besok-besok baru dibayar." 

"Kalau dua bakul ini berapa, Mbah?" 

"Dua ratus lima puluh ribu," jawabnya keheranan.

Aku menyerahkan tiga lembar uang merah. "Saya borong, Mbah." 

"Semuanya." 

"Iya, tapi Mbah bagiin tiwul dan cenilnya ke tukang sayur di sini ya." 

Ah, aku bisa melihat binar bahagia di mata Mbah Marni. Sungguh sederhana, wanita sepuh yang tetap berjuang mencari nafkah demi menuntaskan kerinduannya pada tanah suci. 

Padahal semalam tubuhku rasanya nyeri namun entah mengapa pagi ini energiku seakan kembali. Rasanya aku bisa mengelilingi seluruh kota hari ini. 

Mengapa sejak dahulu aku tak menyadari bila bahagia itu sesederhana ini. Hanya memberi uang lebih untuk ongkos Beca dan melihat senyum semringah pengayuh beca itu ternyata luar biasa. Kurasa tak apa bila hidup ini singkat asal bermakna, mungkin ini lah cara Allah mencintaiku. 

Sama seperti hari sebelumnya, aku pun menemui Nadia, wajah polos dan senyum riangnya pun menjadi obat hatiku. Aku sangat senang mendengar ceritanya tentang semua hal termasuk kerinduannya untuk kembali ke sekolah. 

"Kata temanku sakit kanker kayak ini akan cepat mati, apa benar, Kak?" tanya Nadia penuh harap. 

"Siapa bilang? Itu bohong, Nadia itu jalan hidupnya masih panjang, sekarang hanya sakit sedikit saja," ucapku. Sebenarnya bukan menghibur dirinya tapi juga menyenangkan hati ini. 

"Nadia ingin sekolah lagi, main sama teman tapi gak dibolehin kakak," ujarnya. 

"Sehat dulu baru main dengan teman lagi." 

"Kapan sehatnya?" tanyanya. 

"Sebentar lagi ya." Aku tersenyum. 

"Kalau sudah sehat apa Nadia gak perlu kemo?" 

Aku bergeming. 

"Kemo itu gak enak, Nadia gak suka."

"Iya, nanti kalau sudah sehat gak akan kemo lagi. Nadia juga bisa sekolah lagi." 

"Asikkk, Nadia mau sekolah...Nadia dulu ranking satu lho, Kak." 

"Hebat...," ucapku sambil mengusap sudut netra ini. Stadium tiga... semoga ada harapan untuk gadis kecil ini. 

***

"Nadia adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki, tanpanya entah bagaimana hidupku," ucap Leo. Ia  tiba di rumah sakit ketika Nadia baru saja tidur. 

Aku tersenyum. "Ia anak yang menyenangkan. Aku sangat menyukainya."

"Terima kasih telah menjadi temannya. Maaf menyita waktumu." 

"Tak apa, aku pengangguran." Aku tertawa. 

"Bagaimana hasil biopsi sumsum tulang belakangmu waktu itu?"

"Belum keluar," ucapku. "Mungkin lusa." 

"Eh... Dokter Aida itu saudaramu?" 

"Bukan, hanya teman, tapi kami dekat." 

Leo tersenyum. "Keluargamu?" 

"Ada... tapi aku tak ingin membahas ini, bisa kan?" ucapku. 

"Ah...maaf... Aku antar kamu ke depan." Leo terlihat merasa bersalah.

"Baiklah." 

Aku dan Leo berjalan beriringan, ia adalah laki-laki yang ramah dan hangat. Beruntung sekali Nadia memiliki kakak sepertinya. 

"Uang untuk membeli Barbie waktu itu berapa?" tanyanya sopan.

"Tak apa, itu hadiahku untuk Nadia. Sudah kubilang kan aku menyukai adikmu itu." 

Leo tertawa. "Terima kasih." 

Aku baru saja hendak berpamitan pada Leo ketika seseorang menarik kasar tanganku. 

"Apa yang kau lakukan dengan laki-laki ini!" Entah sejak kapan tapi Halif telah berada di sisiku dengan wajah penuh amarah. 

Ada apa?

"Sakit Halif...lepaskan," ucapku pelan. Suamiku ini mencengkram erat jemariku. 

"Jawab dulu pertanyaanku! Apa hubunganmu dengan laki-laki ini?" Halif kembali membentak dengan netra yang menyala.

Aku baru saja hendak menjelaskan ketika dengan cepat Leo melayangkan tinjuannya dan tepat mengenai pipi Halif. 

"Jangan bersikap kasar padanya!" teriak Leo marah 

Aku masih bergeming dan belum memahaminya sepenuhnya kekacauan ini. 

Ada apa?

Halif tersenyum dan mulai bangkit. Ia baru saja hendak membalas ketika Edo asistennya mencegah. "Jangan, Pak, ini rumah sakit, kita tak boleh membuat keributan di sini," bisik Edo. 

Halif mengusap kasar wajahnya dan menatap tajam Leo. "Kau dengar baik-baik, Arzeta adalah istriku dan aku melarangnya berteman dengan orang yang tak aku suka. Jadi, jauhi istriku!" 

Leo menatapku tak percaya. "Apa benar?" tanyanya terbata.

"Iya, Halif adalah suamiku, tapi ada apa dengan kalian?" tanyaku masih tak mengerti. 

"Masuk mobil sekarang!" teriak Halif yang langsung kuturuti. "Dan, kau... Jangan coba mendekati istriku lagi apapun alasannya!"  

***

Dear diary. 

Kau tahu, hari ini seharusnya menjadi hari indah yang akan kukenang, namun semua berubah ketika Halif tiba-tiba muncul di rumah sakit. 

Aku masih belum mengerti soal apa yang terjadi, saat itu aku dan Leo hanya berbincang-bincang biasa saja dan itu pun di tengah keramaian. Tak ada yang aneh. Lalu, mengapa pula Halif harus begitu marah? Apa hubungan antara dua laki-laki itu? 

Kau tahu diary, sepanjang perjalanan, tak sepatah kata pun meluncur dari lisan Halif, ia tetap diam dengan tatapan yang mengerikan. Aku tak mengerti, apa yang salah dariku. Dan ketika aku bertanya mengapa, tak ada jawaban hanya helaan kasar saja. 

Ah, terlalu banyak berpikir selalu saja menguras energiku. Aku lelah... malam ini sepertinya Halif akan mendiamkanku tak akan menyapaku. Dia sangat marah. 

Tapi... Bukankah selama ini memang seperti ini, ia sangat jarang menyapaku, harus aku yang memulai lebih dahulu. 

Tak apa... Bukankah aku sudah biasa... Rumah tangga yang hampir tak ada kata-kata.

Bersambung...

Komentar

Login untuk melihat komentar!