Hari ketiga aku menjadi istrimu, rasa sakit itu kenapa semakin menjadi?
Aku melihatmu termangu seperti biasanya, namun kali ini tak menatap jendela dengan tatapan kosong. Netramu berair sambil mengenggam erat sebuah kalung berinisial huruf A itu. Ah, begitu remuk kah hatimu karena kepergiannya? Ternyata cinta itu begitu menyakitkan dan sakitnya patah hati itu benar-benar membunuh rasa.
"Kalung apa itu?" tanyaku pura-pura tak tahu.
Halif tersenyum, ia segera mengalihkan pandangannya menyembunyikan netranya yang berkaca. "Bukan apa-apa."
Aku tersenyum dan mengusap lembut rambutmu. "Simpanlah, nanti hilang," sahutku. "Suatu saat ia kembali kau bisa memberikan padanya."
Raut wajah Halif sedikit terkejut, tak menyangka akan reaksiku yang terlalu biasa saja. Lihat... Aku begitu pengertian kan?
"Maaf," ujar Halif. Wajahnya terlihat sangat bersalah.
Aku kembali tersenyum. "Tak apa, pasti tak mudah bagimu melupakannya."
"Terima kasih sudah mengerti." Halif menunduk.
"Ayo kita makan malam," ucapku lembut.
Kau mengikutiku, mungkin bagimu aku adalah wanita yang paling pengertian. Manusia yang tak memiliki rasa sakit. Ah... seandainya kau tahu rasa hati yang terluka ini. Bukan hanya berdarah namun hancur tak bersisa.
"Kata ibu, ikan bakar ini makanan kesukaanmu." Aku mengambilkan nasi dan ikan bakar untuk suamiku.
Halif tersenyum dan dengan enggan mengaduk-aduk nasi di piring, tampak betul kegelisahan di hatinya.
"Apa kau tak marah jika aku masih belum bisa melupakannya?" tanya Halif sambil menatapku.
Aku menggeleng. "Tidak, ia lebih dahulu hadir mengisi hatimu. Aku baik-baik saja."
Halif tersenyum enggan. "Maaf bila belum mampu menjadi suami yang baik untukmu."
"Tak apa, pelan-pelan saja," jawabku masih dengan senyum yang sama.
"Iya, ada hal yang harus kuselesaikan dengannya terlebih dahulu. Maaf untuk saat ini aku belum bisa fokus padamu." Halif menatapku lekat.
Aku mengangguk. Sakit Sayang, sangat sakit. Ah... tak tersisa kah rasa belas kasihmu padaku istrimu ini? Tak usahlah kau bicarakan soal wanita itu apalagi meminta pengertian padaku, rasanya luka ini semakin menganga. Pedih.
"Mau tambah?" tanyaku.
Halif mengangguk. "Enak, kau pintar memasak."
Aku tersenyum. "Besok aku akan pergi dengan teman," ujarku.
"Kenapa?"
"Ada perlu."
"Perlu kuantar?"
"Tak usah," jawabku.
"Hmmm."
Ketika kau jatuh cinta maka persiapkan pula hatimu untuk terluka. Itulah yang kurasakan kini, terluka itu sangat berat, mencinta yang tak mencintai kita.
Malam ini, masih sama seperti malam sebelumnya, aku masih terabaikan seperti biasanya. Sakitnya betul-betul sakit ketika suamimu terlelap tanpa sadar bila ada seorang wanita di sisinya. Istri syah yang terluka.
***
Hari ke empat menjadi istrimu.
Dokter Aida menyambutku dengan senyum ramahnya seperti biasa. Ia memberikan sebuah kado sebagai ucapan selamat atas pernikahanku.
"Bagaimana, Dok? Kapan biopsi sumsum tulang belakang akan dilakukan?" tanyaku tanpa basa-basi, aku tak sabar lagi menanti kepastian soal penyakit yang perlahan mulai menyiksa.
Dokter Aida tersenyum. "Kamu sudah siap?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Suamimu tahu soal ini?"
Aku menggeleng.
"Kenapa?"
"Tak apa."
"Jangan seperti ini, Zeta, bukankah ini terlalu kejam?"
Aku tersenyum.
"Rencanamu ini akan menyakiti semua orang termasuk dirimu."
"Tak apa, aku sudah terlalu terbiasa dengan rasa sakit ini."
"Ia pun akan merasakan luka yang sangat dalam, Zeta, walaubagaimanapun juga kini ia lah suamimu."
"Tapi hanya aku yang menganggapnya sebagai suami, ia tetap tak menggapku ada." Aku tersenyum walau ada yang menghangat terasa di netra ini.
"Ia masih mengabaikanmu?" Dokter Zeta menatapku iba.
Aku mengangguk. Perih.
"Mau bercerita?" tanya Dokter Aida padaku.
Aku menggeleng. Biar saja, perih ini aku yang merasa, cukup aku. "Tak usah, kau lebih tahu bagaimana rasa hatiku kini."
Dokter Aida menggeleng. Aku tahu sahabatku ini tak pernah mengerti jalan pikiranku. "Untuk selanjutnya kau akan ditangani oleh Dokter Ahmad," ujarnya.
"Kenapa bukan dirimu saja?"
"Ia lebih berpengalaman. Kau harus ditangani oleh orang yang tepat. Aku tak ingin kehilangan sahabatku."
Aku tersenyum. " Toh semua manusia akhirnya akan berakhir dengan kematian kan? Aku tak meminta banyak, cukup buat aku bertahan dua puluh enam hari saja, selebihnya aku tak mengapa bila penyakit ini akhirnya yang menjadi jalan kematianku."
Dokter Aida mengusap netranya. "Jangan seperti ini, Zeta. Di dunia ini hanya engkau sahabatku, sejak kecil kita bersama."
Aku mengenggam jemari sahabatku ini. "Kau adalah satu-satunya yang mengerti aku, Aida. Tolong jaga rahasia ini, keluargaku pun tak boleh tahu. Aku tak ingin membebani rasa sakitku."
"Kau terlalu kejam pada dirimu sendiri, Zeta."
Aku tersenyum. "Tak apa, sudah sekalian sakit biar saja aku yang menanggung sendiri."
Dokter Aida menghela napas. "Besok temuilah Dokter Ahmad jam sepuluh pagi. Aku sudah buat janji untukmu."
"Apa yang perlu kupersiapkan?"
"Tak ada, ia adalah dokter hebat, seorang dokter spesialis penyakit dalam, konsultan hematologi dan onkologi medik, ditangannya aku yakin kau akan mendapat pengobatan yang terbaik."
"Semoga," jawabku tak yakin.
Dokter Aida beranjak dan memelukku erat. "Kau akan sehat, Zeta, dengan biopsi sumsum tulang belakang nanti kita akan mendapatkan kesimpulan yang akurat."
"Terima kasih, Aida."
***
"Kenapa pulangnya sore?" tanya Halif padaku.
Aku tersenyum. Akhir-akhir ini entah mengapa tubuh ini begitu mudah kelelahan. Rasanya begitu lemah. "Bertemu teman." Aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur.
"Kalau pulang sesore ini, kau bisa menelponku. Aku bisa menjemputmu."
Aku mengangguk. "Iya."
"Kau lelah?"
Aku mengangguk. "Biarkan aku tidur tiga puluh menit saja."
"Ah, iya... Aku ke luar dahulu." Hanif segera pergi ke luar kamar.
Aku mengusap netra ini yang entah mengapa selalu saja berair. Tadi aku melihat semuanya. Ponsel Halif tak sengaja tergeletak di ruang tamu, mungkin ia lupa.
Aku hanya ingin memberikannya pada Halif ketika netraku menangkap kontak teratas pada pesan WA-nya dengan nama CINTA.
Aku tahu itu bukan nomorku, aku pun mengenal foto profil wa itu. Dan satu yang semakin menusuk hatiku adalah, pesan beruntunnya sebagai ungkapan rasa rindu suamiku pada wanita itu.
[Amira kamu dimana?]
[Apa kamu baik-baik saja?]
[Aku butuh penjelasanmu.]
[Balaslah pesanku. Aku sangat khawatir.]
[Amira... Tak kah kau mengkhawatirkanku pula?]
[Amira... Jangan terlalu kejam padaku, setidaknya berikan aku penjelasan.]
Ah... sakitnya, sakitnya... Sangat sakit suamiku. Mengapa tak aku saja yang kau kirimi pesan?
Aku akan membalas setiap pesanmu.
Mengapa tak aku saja yang kau khawatirkan?
Mengapa masih peduli padanya?
Bisakah kau melihatku yang kini berada di sisimu?
Ada aku Sayang.
Istrimu.
Berkali aku berusaha menahan gemuruh di dada ini. Ya Tuhan, sesakit ini rasanya. Berkali aku mengutuk diri yang sangat bodoh mencintainya. Bodoh bodoh...
"Kau membacanya?" tanya Halif ragu. Entah sejak kapan ia telah kembali ke kamar lagi.
Aku segera mengusap netraku, berbalik dan mencoba tersenyum. "Apa?" tanyaku.
"Pesanku pada Amira?" tanya Halif terbata.
"Tak sengaja," jawabku berusaha sesantai mungkin.
"Pesan itu... Maksudku... Bukan apa-apa, aku hanya mengkhawatirkannya saja, tak lebih. Eh... Hari ini ia tak bisa dihubungi," jelas Halif.
Aku tersenyum. "Aku tak apa-apa. Wajar saja kau khawatir bila ia tak bisa dihubungi seharian ini, bisa saja terjadi apa-apa padanya kan? Mungkin ia terluka atau hal buruk menimpanya." Aku berkata serius.
Halif tersenyum. "Terima kasih sudah mengerti."
"Aku sangat mengerti bila kita menyukai seseorang maka kita akan mengkhawatirkannya bila tak ada kabar darinya walau ia bukan pasangan kita. Dan bila kita tak menyukai seseorang maka kita tak akan mengkhawatirkannya meskipun ia tak ada kabar walaupun ia pasangan syah kita." Aku tersenyum. Sakit.
Raut wajah Halif langsung berubah, aku tahu bila ada perasaan bersalah tergambar di wajahnya kini.
"Maaf... Aku tak menghubungimu, karena..."
"Tak apa, bukan maksudku menyinggungmu." Aku tersenyum, sungguh saat ini aku sangat membencimu Halif.
"Aku... "
"Tak apa, aku tak marah." Aku tetap mencoba mengukir senyum. Ia tak boleh tahu bila hati ini begitu sakit.
***
Hari kelima.
Awalnya aku mengira Dokter Ahmad adalah seorang laki-laki tua dengan rambut yang mulai memutih. Aku salah, ia cukup muda untuk seorang dokter spesialis senior, baru berusia empat puluh tahun.
"Temannya Aida?" tanya Dokter Ahmad.
"Iya, Dokter, saya Zeta."
"Kenapa datang sore? Bukannya kita janji jam sepuluh pagi?"
"Pagi tadi badan saya gak enak, Dokter, lemas sekali."
Dokter Ahmad mengangguk. Zeta melihat ia sibuk membaca selembar kertas yang berisi banyak catatan. "Pemeriksaan fisik dan darah memang mengarah pada kanker darah tapi kita perlu melakukan biopsi sumsum tulang belakang untuk memastikan apakah kondisi tidak normal pada tubuh ibu terjadi karena kanker atau pemicu lain. Setelah proses biopsi sampel akan dikirim ke laboratorium untuk dianalisis lebih lanjut."
Aku mengangguk. "Apakah sakit?"
"Nanti akan dibius lokal, tapi tetap akan ada rasa tidak nyaman, yang terpenting sekarang adalah ibu harus tenang, jangan banyak pikiran."
"Kapan jadwalnya, Dok?"
"Bila kondisi tubuh ibu baik, lusa akan segera kita lakukan. Perawat saya akan mengirim jadwal pastinya pada anda."
"Terima kasih, Dok."
"Hmmm... Suami anda boleh datang untuk mendampingi."
Aku tersenyum. "Dia sibuk, Dok."
"Keluarga?"
"Mereka tak tahu, Dok."
"Seharusnya mereka tahu, suami dan keluarga harus diberitahu kondisi ibu."
Aku kembali tersenyum. "Tak apa, Dok, aku akan baik-baik saja."
"Oh iya," sahut Dokter Ahmad ragu.
"Saya permisi, Dok," sahutku bergegas, hari sudah semakin sore, mungkin sebentar lagi Magrib.
***
Aku melirik benda bulat yang melingkar di tanganku. Sudah hampir pukul enam sore namun tetap tak ada panggilan di ponsel. Ah... Kau benar-benar tak mengkhawatirkanku rupanya.
"Baru pulang?" tanya Halif sambil membuka pintu.
Aku mengangguk.
"Darimana?"
"Rumah teman."
"Siapa?"
"Aida."
"Kalau pulang sesore ini seharusnya kau memintaku untuk menjemputmu."
Aku bergeming sesaat dan menatap suamiku lekat. "Aku menelponmu satu kali tadi tapi nomormu sibuk, mungkin kau sedang menghubungi seseorang," jawabku.
"Oh ya?"
Aku tersenyum. "Aku juga mengirimimu pesan. Periksa saja." Aku berlalu melewatinya. Tetap ada rasa nyeri di hati ini.
"Zeta." Halif menarik tanganku.
"Apa?"
"Beri aku waktu beberapa hari, aku harus menyelesaikan masalahku dulu."
Aku tersenyum. "Tak apa, aku tak marah."
"Kau marah!" Halif meninggikan suaranya.
Aku menggeleng, kusentuh pundaknya pelan. "Aku tak marah, selesaikanlah urusanmu dahulu. Aku memberimu waktu seumur hidupku," ucapku sambil tersenyum.
Aku melihatnya cukup lama bergeming, sepertinya rasa sesal itu mulai hinggap. Entahlah... apakah bisa aku membuatnya jatuh cinta? Bisakah meninggalkan luka padanya kelak?
***
POV Halif
Ia lah penyelamatku, seseorang yang sejak dahulu hadir menemaniku. Tak terbayang bila tak ada Zeta hari itu, entah bagaimana malunya keluarga besarku. Wanita yang begitu kupercaya ternyata pergi meninggalkanku bersama laki-laki lain. Sebegitu tak berharga aku di mata Amira.
Zeta, ia lah yang tanpa alasan menerima tawaranku untuk menggantikan posisi Amira. Wanita bersahaja, ceria dan murah senyum, sahabatku sejak masih kanak.
"Iya, aku bersedia," jawabnya kala itu.
Tak ada keraguan walau keluarga besarnya menolak ia tetap yakin menjadi pendampingku.
Aku tahu Arzeta, walau kau tersenyum tapi ada luka yang tak dapat kau tutupi. Tatapanmu sering kosong seolah sangat jauh dariku. Maafkan aku...
Maaf bila hingga kini aku belum mampu menjadi suami yang mampu membahagiakanmu. Sebentar saja Zeta, tunggu aku sejenak saja. Ada yang harus aku selesaikan.
Amira, wanita yang telah mencuri hatiku itu tak sesederhana yang orang kira. Ia pergi bukan hanya meninggalkan luka di hatiku tapi membawa beberapa surat penting perusahaan. Aku tak bisa melepasnya dahulu, aku harus membujuk wanita itu agar kembali dan merebut semua yang telah ia ambil.
Kau tahu Zeta, mana pernah kukira bila calon istriku itu, yang telah sangat kupercaya bukan hanya pergi di hari pernikahan kami namun juga pergi bersama laki-laki lain membawa surat penting perusahaan. Elok benar nasibku kala itu. Namun tak akan lama, wanita itu akan merasakan akibatnya.
"Istrimu itu terlihat sangat kurus dan pucat," ujar ibuku hari itu.
Aku menatapmu lekat kala itu, benar... kau terlihat lebih pucat dari biasanya, sesekali pun kau terlihat melamun seolah memikirkan sesuatu.
Beberapa hari ini walau kulihat kau tersenyum namun kutahu hatimu pun sakit. Maaf... lagi-lagi kau lah yang terluka karenaku, tapi kumohon bersabarlah, tak lama, mungkin hanya tiga puluh hari saja aku akan menyelesaikan masalahku ini.
Bersambung...
Maaf lama update ya, karena lebaran jadi agak sibuk.
Minal aidzin walfaidzin maaf lahir batin