Part 7
POV Leo

Amira kembali datang ke kantorku, wajahnya kusut dengan tatapan yang memelas. Wanita ini, mau apa lagi dia. 

"Tidak seperti ini, Leo... Bukankah aku yang telah membantumu merebut kontrak kerja sama perusahaan Halif, kemudian mencuri proposal mereka? Aku berjasa padamu," ucapnya terbata. "Kau jangan terlalu kejam padaku." 

Aku bergeming. Apa peduliku? 

"Aku menghianati Halif di hari pernikahannya," lanjut Amira. "Itu semua demimu." 

"Aku tak memaksa, kau melakukannya dengan sukarela, lagipula aku sudah mentransfer uang yang tak sedikit padamu sebagai kompensasinya," jawabku. 

"Ini bukan soal uang, aku mencintaimu, tapi kau mencampakkanku! Kau memberiku harapan seolah nantinya kita akan menjadi pasangan. Kau merayuku." Amira mulai terisak. 

"Kita memang pasangan, bukankah kita melewati malam yang panas di Singapura tempo hari?" Aku menatap Amira lekat. "Dan kau menikmati saat itu kan?" 

"Aku ingin selamanya di sisimu. Halif telah menolakku, kau harus bertanggung jawab, nikahi aku." 

Aku tertawa. Gadis yang aneh, ia pikir siapa dia yang bisa mengaturku. Menikahinya? Lucu sekali. 

"Kau mengancamku?" tanyaku. 

"Aku menuntut janjimu yang ingin menikahiku." Amira menyeka air matanya dan menatapku nyala. "Kau telah berjanji." 

Lagi-lagi aku tertawa. Lucu. "Maaf Amira, tapi aku tak menerima sekutu seorang penghianat." 

"Kau kelewatan Leo! Aku melakukan semuanya karenamu dan kini kau membuangku!" 

"Hei... Kau melakukannya bukan dengan cuma-cuma, ada uang sebagai timbal balik. Jangan merasa dizolimi. Aku beci melihat air matamu." 

"Aku menghianati calon suamiku karenamu." 

"Lalu, apa jaminannya nanti kau tak akan menghianatiku juga? Bagiku kau tak ubah seperti ular berbisa yang harus disingkirkan."

"Kau..." Kedua netra Amira memerah. 

"Pergilah sebelum aku bertindak kelewat batas. Kau tahu bagaimana kejamnya aku kan? Aku tak akan segan untuk menyakiti sampah yang menghalangi jalanku." 

Tangis Amira semakin menjadi, mungkin ada banyak sesal di hatinya kini. Aku tak peduli... Wanita ini, melihatnya pun aku sudah muak. Hanya sebagai alat saja. 

Aku tak pernah menyukai Halif, sejak kuliah kami telah bersaing. Aku tak menyukai apapun yang ada padanya, ia memiliki semua yang tak kupunya. Entah mengapa di dunia kerja pun akhirnya kami dipertemukan lagi. 

Bisnisnya melejit, ia memiliki banyak relasi dan anak buah yang kompeten. Perusahaanku tertinggal begitu jauh, hampir saja aku menyerah bila tak mengingat Nadiaku yang memerlukan biaya pengobatan yang tak sedikit. Bila aku tak kaya, bagaimana bisa aku membiayai Nadia? Hanya aku yang ia punya. 

Amira datang dan dengan mudah terpesona padaku. Tipe wanita yang habis manis sepah dibuang, penghianat yang tak tahu malu. Hanya dengan sedikit bujuk rayu dan janji manis, ia rela memutar haluan berpihak padaku. Dan lihatlah... memang harus sedikit kejam untuk menjadi sukses. Perlahan usahaku pun mulai menanjak seiring dengan kerja sama yang mulai berdatangan. Aku tak memerlukan wanita itu lagi. Siapa yang peduli dengannya. Bisnis itu adalah tentang uang, bukan soal kemanusiaan, bahkan rupiah bisa membeli harga diri seseorang. 

Ada yang mengganggu hariku akhir-akhir ini. Wanita bernama Arzeta itu, entah bagaimana ia hadir di tengah-tengah aku dan Nadia. Awalnya kupikir ia masih sendiri, namun ternyata takdir begitu elok mempermainkan diri. Ia adalah istri dari Halif. Ah sepertinya mulai sekarang aku harus menjauhkan Nadia darinya, aku tak ingin adikku itu terlalu larut dalam persahabatan dengan istri musuhku itu.

***

Hari ke- dua belas menjadi istrimu 

"Apa yang akan kau lakukan hari ini?" tanya Halif padaku. 

"Aku akan ke SMA kita dahulu, ingin menemui kepala perpustakaan di sana," ujarku. 

"Apa SMA dulu kita pernah satu kelas?" tanya Halif. 

"Pernah satu kali ketika kelas satu."

"Aku lupa." 

"Aku duduk di bagian belakang dan sudut dekat jendela. Dari sana aku suka melihatmu bermain basket." 

"Ohhhh... Aku sudah lupa," ucap Halif. " Oh iya, ngapain ke SMA?"

"Aku meminjam buku perpustakaan ketika sekolah dulu, aku hilangkan, sekarang aku ingin menggantinya."

Halif tertawa. "Itu sudah lama, mungkin petugasnya sudah lupa." 

"Tak apa, yang penting aku masih ingat. Aku ingin mengembalikan buku itu, itu adalah hutangku." 

Halif tersenyum. "Kau mengatakannya seolah akan pergi jauh saja." 

Aku tersenyum. 

"Maaf tak bisa ikut, aku benar-benar akan sibuk hari ini." 

"Tak apa, aku mengerti."

"Setelah itu kau akan kemana?" 

"Menemui Dokter Aida, kami ada janji makan siang bersama, setelahnya aku akan pulang." 

"Ohhh, baiklah, hati-hati." Halif mengusap pelan rambutku. 

"Aku antar ya." 

Aku mengangguk. Saat yang kutunggu, menikmati saat di sisimu ketika kau sedang menyetir. Saat yang nantinya akan sangat kurindukan. 

"Mengapa selalu menatapku seperti itu?" tanya Halif. Sejak awal masuk mobil, kedua netraku tak lepas menatapnya. 

"Aku selalu suka menatapmu dari jarak dekat," jawabku jujur. 

"Mengapa? Apakah lucu?" Halif tersenyum. 

"Tidak. Aku hanya suka saja." 

"Jangan dilihat terus, aku gugup nyetir mobilnya." 

Aku tersenyum. "bukannya kemarin-kemarin biasa saja." 

"Itu beda, sekarang kalau kau menatapku, jantungku langsung berdebar-debar." 

"Benarkah?" tanyaku. 

Halif mengangguk. 

"Aku pun sama. Selalu saja rasanya tak nyaman jika kau menatapku... tapi aku suka," sahutku. 

Halif tertawa dan mengacak jilbabku. "Kalau kau terus bersikap seperti ini, nantinya cintaku akan jauh melampaui cintamu," ucapnya. 

"Jangan, biarakan aku yang lebih mencintaimu, tata hatinya untuk mencintaiku secara biasa saja." 

Halif hanya tersenyum. "Jangan terlalu lelah nanti, sepertinya aku lihat kau tidak begitu sehat. Wajahmu sedikit pucat."

Aku mengangguk. "Terima kasih." 

"Untuk apa?"

"Sudah begitu peduli padaku." 

Halif kembali mengacak jilbabku.

***

Aku berdiri di depan gedung tempatku menuntut ilmu dahulu, sebuah sekolah dengan halaman yang begitu luas. Di sini lah, tiga tahun aku menghabiskan waktu masa remaja dan mulai mencintai Halif dalam diam. Ya... karena ia telah menyelamatkan nyawaku, sejak itu aku sangat menggaguminya. 

Di buku diary, ada beberapa list yang harus aku lakukan, entah mengapa rasa hati ini ingin menuntaskan semua urusan dunia. Sekolah ini lah salah satunya. Aku tak ingin jika memang harus pergi dengan cepat akan meninggalkan sisa hutang di masa lalu. Harus kutuntaskan. 

"Arzeta kan? Ini siswa yang dahulu suka ke perpustakaan meminjam novel?" tebak Bu Dwi penjaga perpustakaan. Kebetulan aku berkunjung ketika bukan di jam istirahat jadi perpustakaan sangat sepi. 

Aku mengangguk. "Ibu masih ingat?" 

Bu Dwi mengangguk. "Mana mungkin ibu lupa, dengan si gadis penyuka novel romantis ini." 

Aku tertawa. 

"Ada apa? Apa yang membawamu kemari?" tanya Bu Dwi. Wanita ini masih ramah seperti dahulu. 

"Mungkin ibu lupa, tapi dahulu aku menghilangkan salah satu novel di perpustakaan ini. Waktu itu aku belum ada uang untuk menggantinya, lalu seiring waktu aku pun lupa. Baru minggu-minggu ini aku teringat," jelasku. 

"Ibu ingat, tapi sengaja tak menagih, menunggu itikad baikmu saja." Bu Dwi tersenyum. 

"Iya kah? Kenapa ibu tak marah?" 

"Untuk apa? Kamu siswa yang baik, ibu yakin suatu saat kamu akan jujur." 

"Untung aku kembali ke sini, kalau tidak selamanya ibu akan mengingatku sebagai siswa pembohong." 

Bu Dwi tertawa. 

Aku meletakkan belasan novel di atas meja Bu Dwi. 

"Banyak sekali, yang kau hilangkan cuma satu kan?" 

"Iya... tapi itu sudah lama, gantinya setiap tahun yang tertunda aku ganti dengan satu novel." 

Bu Dwi tertawa. "Wah... Kalau begitu mulai sekarang Arzeta diingatan ibu adalah siswa jujur yang murah hati." 

Aku pun tertawa. "Nanti kalau aku sudah pergi, ingat hal-hal baik tentangku saja ya Bu. " 

"Kamu mau pergi kemana?" tanya Bu Dwi.

"Ya siapa tahu, Bu. Sepertinya aku merasa tak lama lagi akan pergi." 

"Pokonya kemana pun kamu pergi, ingatlah untuk kembali." 

"Kalau pergi selama-lamanya, Bu?" tanyaku sambil tersenyum. 

"Ihhh jangan bercanda, kayak mau kemana aja. Ibu merinding dengernya." Bu Dwi tertawa. 

Aku tersenyum, satu urusan dunia telah terselesaikan hari ini. 

***

Aku memandang awan putih yang tampak elok menghiasi langit hari ini. Tidak menyengat namun matahari hari ini begitu menghangatkan. 

Dokter Aida mendampingiku menemui Dokter Ahmad tadi, sejak makan siang tadi, sahabatku ini kulihat beberapa kali menghela napas. Aku tak ingin bertanya, sungguh diri ini belum siap menerima kabar buruk. 

"Dimana suamimu?" tanya Dokter Ahmad mengawali jumpa kami. 

Aku tersenyum seperti biasanya. "Maaf, Dok, ia belum tahu." 

Dokter Ahmad pun menghela napas dan menatapku iba. Ada apa? "Seharusnya ia di sini mendampingimu." 

"Apa hasilnya, Dok?" tanyaku antusias.

Dokter Ahmad menyerahkan beberapa lembar kertas dengan istilah tulisan dan angka-angka yang tak kumengerti. 

"Tolong jelaskan saja, aku tak paham," ujarku. "Apakah keadaanku baik-baik saja?" 

Baru saja rasanya duniaku terasa begitu indah, tawa dan suka menghiasi hari, aku begitu menyukai hari kemarin, semua terasa menyenangkan. 

Lalu, apa yang harus kukatakan?

 Siapa yang harus kusalahkan?

 Dan mampukah diri ini bertahan?

"Leukemia adalah kanker yang menyerang sel-sel darah putih atau bisa kita sebut kanker darah. Pada pengidap kanker darah, sumsum tulang memproduksi sel-sel darah putih secara berlebihan sehingga fungsinya menjadi terganggu." Dokter Ahmad memulai penjelasannya. 

Aku masih berusaha biasa saja, mungkin Dokter Ahmad hanya ingin berbagi informasi saja denganku kan? 

"Berbeda dengan kanker yang memiliki tumor padat seperti kanker payudara dan kanker paru, untuk kanker darah tak ada istilah stadium karena darah itu mengalir dalam tubuh." 

Aku masih mencoba mencerna setiap kalimat yang meluncur dari lisan Dokter Ahmad. Baiklah... ini masih sekedar informasi biasa.

"Dari hasil pemeriksaan awal dan darah, kami memang sudah menduga soal penyakit ibu, tapi kami perlu memastikannya hingga dilakukan proses biopsi yang hasilnya lebih akurat." Dokter Ahmad menarik napas memberi jeda dari pada ucapannya. "Berdasarkan hasil lab, kami menyimpulkan ibu mengidap Acute Mylogenous Leukemia (AML), salah satu tipe leukemia yang umumnya terjadi pada orang dewasa." 

Aku meremas sisi bajuku dan menahan napas. Masih berharap bila ini bukanlah kenyataan. 

"AML ini sejenis kanker ketika sumsum tulang belakang selaku pabrik pembuat sel darah menghasilkan sel-sel darah yang tidak normal, baik sel darah putih, sel darah merah maupun platelet," jelas Dokter Ahmad. "Pada leukemia jenis ini, sel-sel yang mengalami kerusakan adalah sel-sel yang belum matang hingga perjalanan penyakitnya lebih cepat. Jadi sangat penting untuk memulai pengobatan sesegera mungkin setelah diagnosis." 

Aku menghela napas dan menatap Dokter Ahmad. "Berapa besar kemungkian aku bertahan?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku hanya ingin tahu soal kemungkinan aku hidup. 

"Tetap ada harapan," ucap Dokter Ahmad. "Kita akan mengupayakan pengobatan terbaik." 

Aku mengalihkan pandangan, berusaha menata hati yang kini hancur berkeping. "Semalam aku sempat membaca artikel tentang kanker darah ini dan menemukan bahwa harapan hidup untuk AML hanya 26,9 persen selama lima tahun dan akan sangat berakibat fatal bila tak diobati, mungkin hanya akan bertahan dalam hitungan Minggu atau bulan saja." Aku menyeka air mata yang mulai membasahi pipi. "Apa benar, Dok?" 

"Itu hanya angka-angka saja, Zeta, ada banyak pasien kanker darah yang bertahan lebih dari lima tahun. Lagi pula kau masih muda, akan kita usahakan segala cara." Dokter Aida mengenggam erat jemariku. 

Aku mengangguk. "Iya berarti benar, di bawah lima tahun," ucapku lemah. 

"Kita akan melakukan serangkaian pengobatan untukmu. Kau akan sembuh." Dokter Aida kembali meyakinkan. 

Aku tersenyum. "Kemoterapi?" 

"Salah satunya." 

"Akan kupikirkan," ucapku. "Beri aku waktu satu hari. Lusa akan kukabari." 

"Zeta, aku menunggu kabar baikmu, kita harus bertindak cepat," lanjut Dokter Aida. 

Aku mengangguk. Setelahnya, aku bahkan tak dapat menangkap setiap penjelasan Dokter Ahmad. Pikiranku seolah melayang entah kemana. Hampa. 

Aku di sini, di bangku kayu halaman rumah sakit, menata hati dan diri. Berkali aku menyeka air mata namun tetap saja selalu mengalir lagi tak berhenti. Hidup ini... akankah begitu singkat bagiku? 

Oh dunia, lihatlah... Bukankah baru kemarin aku merasa bahagia? Mengapa kau kini begitu elok menghempaskan harapku? Tak bisa kah beri sedikit waktuku untuk menjelajahi hidup, lebih lama mencium aroma dunia?

Aku baru saja hendak beranjak ketika gadis kecil itu dengan tertatih menghampiriku. "Kakak, kakak..." panggilnya penuh harap. "Mengapa tak menemuiku kalau ke rumah sakit." 

Aku mencoba tersenyum dan mengusap pelan pundaknya. 

"Maaf, aku sudah menghalanginya, ia bersikeras ingin bertemu ketika melihatmu," ujar Leo. Wajahnya tampak bersalah. 

"Tak apa," ucapku. 

"Aku rindu kakak." 

"Kakak juga." 

"Kapan kita bermain lagi?" tanyanya. 

"Kapan saja, nanti kakak mengunjungi ruanganmu ya." Aku tersenyum. 

"Kenapa kakak menangis?" 

Aku menggeleng. "Kakak hanya kelilipan." Aku memeluk Nadia dan membantunya menyisir barbienya. "Kita kepang," ujarku yang dibalas anggukan senang Nadia. 

"Ada apa? Apa hasilnya sudah keluar?" tanya Leo pelan. 

Aku mengangguk. 

"Apa?" tanyanya. 

Aku tersenyum. "Tak baik," jawabku. 

"Maaf tapi, ... Dimana suamimu?" 

"Ia tak tahu." 

"Mengapa?" 

"Aku hanya tak ingin ia bersedih." 

"Ohhh..." Leo menghela napas. 

"Hei, Nadia, apakah kemo itu menyakitkan?" tanyaku pada gadis kecil itu. 

Nadia mengangguk. "Setelahnya tubuhku lemah, aku selalu ingin muntah dan tak nafsu makan. Aku tak suka." 

Aku tersenyum. Perih. 

"Jangan menyerah, kau akan sembuh. Lihatlah Nadia, ia sudah membaik setelah beberapa kali kemo." 

"Aku Acute Mylogenous Leukemia." Aku berkata pada Leo. "Harapan hidupnya sangat tipis," lanjutku masih dengan senyum yang sama. 

"Tetap ada harapan," ujar Leo tak yakin. 

"Semoga," jawabku. "Ada banyak hal yang belum kulakukan." 

Aku melihat Leo mengalihkan pandangannya. 

"Suamiku bilang kau adalah orang yang jahat, kurasa ia salah paham. Menurutku kau sangat ramah dan hangat. Kau adalah laki-laki yang baik," ucapku. 

Leo tersenyum. "Jangan terlalu percaya pada apa yang kau lihat." 

"Kau benar... Yang terlihat baik belum tentu baik namun yang terlihat buruk bisa jadi yang terbaik. Termasuk penyakit ini, kurasa akan ada hal baik dibaliknya." Aku menghibur diri. 

Leo tersenyum. "Beritahukan pada suamimu soal penyakitmu ini. Akan lebih baik jika kau melewatinya dengan orang yang kau kasihi." 

"Kurasa melihat orang yang kucintai menderita akan semakin menambah rasa sakit ini." 

"Bukankah kalian menikah karena calon pengantin wanitanya pergi, bagaimana bisa kau telah begitu dalam mencintainya." Leo tertawa. 

"Mungkin suamiku belum terlalu dalam mencintaiku namun aku sejak dahulu telah sangat mencintainya." 

Leo terdiam sejenak. "Halif sungguh beruntung," ucapnya pelan. 

***

Dear diary...

Hari ini aku tak mampu berkata-kata lagi, kemungkinan yang selama ini kutakutkan akhirnya terjadi. 

Katakanlah, apa yang harus kulakukan kini? 

Haruskah kuruntuhkan bangunan kebahagiaan aku dan Halif yang telah susah payah kubangun?

 Ataukah biar diri ini saja yang menanggung semua?

Diary... Kini aku sedang menghitung hari, saat-saat akan melambaikan tangan pada dunia. Aku tengah merangkai arah kemana diri ini akan melangkah. Lihatlah... betapa sedih diri ini kini, aku yang telah mengecap begitu lama hidup masih sangat egois untuk tak rela melepas semua urusan dunia. 

Bukankah diri ini seharusnya ikhlas? Toh sejak belia aku telah beriman bila kematian itu bisa datang kapan saja, tak menunggu satu dua bulan lagi, bila sudah digariskan maka esok pun bisa saja nyawa berlepas dari raga. 

Ayolah diri... Jangan kau tak rela melepas dunia, kuatkan hatimu, masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Tersisa sedikit usia untuk meninggalkan eloknya kenangan pada orang yang kau cinta. 

Bersambung...

Terima kasih sudah setia membaca. 

Salam sayang untuk keluarga di rumah. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!