andai saja

BAB 6 

Ayu mengulum senyum kala mengetahui Ninda menemuinya. Setidaknya, perempuan itu tak lagi mengigil karena digigit kesepian. 

"Gimana? Udah mendingan?" Ninda mengusap lengan Ayu. 

Kemarin, saat Yoga mengabarinya soal kondisi Ayu, perempuan itu tak dapat menahan diri lebih lama. Buru-buru ia menemui Ayu setelah sebelumnya menyiapkan kebutuhan pribadi sang sahabat. Ninda tak habis pikir, sahabat yang ia kira paling lurus rupanya telah salah jalur paling jauh. 

Ayu memaksakan senyum lalu mengangguk. "Lumayan."

Bagi Ayu, tak adil rasanya jika Ninda pun turut ia abaikan seperti mengabaikan Yoga, sang kekasih.

Kekasih? 

Ayu tersenyum kecut. Kekasih yang ia percayakan hati padanya, rupanya hanya seorang lelaki lemah, pengecut, juga brengsek. Bodohnya lagi, Ayu membiarkan Yoga menguasai hatinya sekuat itu.

"Sabar ya, Ay. Nanti aku pasti datang kalau kuliahku sudah beres. "

Omong kosong.

Atau,

"Kalau kita nikah sekarang, aku kasih makan kamu pake apa?"

Ayu semakin tak habis pikir. Yoga Bahkan telah berani mengambil bagian dari dirinya yang paling berharga. Lalu sekarang, lelaki itu menjadikan alasan "akan makan apa" sebagai tameng untuk menyelamatkan dirinya sendiri. 

"Tunggulah sedikit lagi. Sampai aku punya pekerjaan."

Penolakan demi penolakan Yoga bagai empedu yang membuat perasaan Ayu semakin pahit. Entah bualan apa lagi yang akan dijanjikan lelaki itu jika Ayu terus mendesak. Jadi, yang Ayu lakukan selanjutnya adalah diam dan menerima apa pun keputusan Yoga. Toh, semua tetap tak akan berubah. 

"Ng ... Ayu ...." Ninda menggaruk tengkuknya. 

Tatapan perempuan berkulit putih itu bergantian antara wajah Ayu dan daun pintu yang masih terbuka. 

Lamunan Ayu seketika buyar. Matanya mengikuti arah tatapan Ninda, lalu menyadari bahwa ada seseorang yang berdiri tepat di hadapan Yoga. 

Dibantu Ninda, Ayu turun dari ranjang, lalu melangkah pelan menuju pintu. Seraya berdentum hebat, dada perempuan itu juga menghimpun harap: semoga yang berdiri di sana bukanlah seseorang yang kehadirannya sama sekali tak Ayu harapkan. 

Berdiri di belakang Yoga, Ayu dapat mengenali peci yang melekat di atas kepala dengan rambut berwarna perak hampir seluruhnya itu.

Harapan Ayu tak terwujud. Lelaki itu berdiri di depan sana dengan kaki yang tak seimbang.

"Bapak .... "

Yoga berbalik, mencipta sekat yang mempertemukan mata Ayu dengan tatapan sang ayah. 

Tatapan yang ... entah. 

Ada rindu, luka dan kecewa di sana. Segala kegelisahan dalam raut wajah itu, menjelma embun yang memenuhi sepasang mata tuanya. Mata bapak Ayu memerah. 

Yoga merasakan atmosfer yang luar biasa di ruangan itu. Seandainya emosi dapat meluluh lantakkan bangunan, dipastikan kemarahan lelaki tua itu dapat meruntuhkan segala yang ada di sekitarnya.

Ayu lantas mendekat. Meraih tangan lelaki tua itu, lalu menciuminya lama. Tangis perempuan itu pecah saat tangan keriput sang ayah mengelus pucuk kepalanya.

“Maafkan Ayu, Bapak. Maafkan Ayu." Suara Ayu lindap ditelan getar tangisnya sendiri. 

Akan tetapi, senyalang apa pun amarah yang tersulut, kasih sayang orang tua selalu mampu memadamkan segala murka. 

"Sudah ... sudah." Sang ayah memaksa agar putrinya berhenti merunduk.

Hati-hati, anak dan bapak itu berjalan menuju ranjang pasien. 

Ruangan itu mendadak senyap. Hingga saat dokter memeriksa kondisi Ayu dan memesan agar perempuan itu menghabiskan obatnya.

Saat dokter berjalan menuju pintu, sang ayah ikut menyeret langkahnya. Punggung keduanya lantas menghilang di balik pintu.

.

Yoga memesan taksi online yang akan mengantar mereka pulang ke kontrakan Ayu. 

Saat tiba di halaman kontrakkan, Ninda berpamitan untuk membeli sesuatu. Sementara Yoga tanpa diminta, memasukkan semua barang Ayu ke dalam kamarnya. Kamar yang belum pernah lelaki itu masuki sekali pun. Berbeda dengan Ayu yang justru pernah menghabiskan banyak malam di kamar lelaki itu.

Ayu dituntun oleh bapaknya memasuki kamar, sementara Yoga menunggu di teras usai menyelesaikan tugasnya. Entah untuk apa, tetapi enggan juga rasanya bila ia pulang secepat itu. Meski Yoga tahu bahwa keberadaannya tak dianggap sama sekali oleh anak dan bapak di dalam sana.

.

.

"Bagaimana kondisimu?" 

Sang ayah menghela napas, lalu duduk di lantai dan menyandarkan punggungnya di tembok. Tatapan lelaki tua itu menerawang, memilih langit-langit kamar sebagai tumpuan. Seolah-olah tengah mencari sesuatu yang dapat melapangkan dadanya. 

"Ayu baik, Pak." Ayu menatap wajah bapaknya takut-takut.

"Bapak ke sini naik apa? Jam berapa dari kampung?" Anak perempuan itu berupaya mencairkan kebekuan sang ayah. 

"Numpang mobil Pak Roni. Pagi ini beliau ada urusan." Kali ini mata tua itu terpejam. 

Sang putri menatap wajah lelah ayahnya penuh rasa bersalah. Betapa telah ia hancurkan tidak hanya kepercayaan, tetapi juga harga diri sang ayah. 

Andai saja Ayu bisa kembali ke masa lalu, akan ia perbaiki segala kesalahan sebelum segalanya rusak sebegitu jauh. 

Andai saja.


Komentar

Login untuk melihat komentar!