Susahnya Move On


"Aku telah berbuka puasa, lapar dan dahaga hilang ... hanya saja kenapa cinta ini belum juga hilang. Menyedihkan."

***

Gadis itu melihatku dengan ekspresi tidak mengenakkan hingga aku meninggalkan mereka, 'Hilma, Hilma ... ck, anti nyaris sempurna jika saja memiliki sifat lembut,' tapi bukankah tidak ada manusia yang sempurna. Meski masih ada harapan bisa diluruskan, akan sangat sulit beradaptasi dengan watak seperti itu. Semoga kelak ia mendapatkan suami penyabar. Kasihan.

Paimo sigap mendahului memanggul dus air mineral di punggungnya, menuju dapur umum di ujung asrama putri.
"Ndang Kang."

"Ya, duluan saja. Kita 'kan beda arah to." Aku berjalan pelan dengan dus yang sama masuk ke dapur yai yang luas disesaki banyak santri putra yang membantu. Sama denganku mereka mengangkut keperluan acara di dua panggung malam ini, di asrama putra dan putri.

Kuletakkan dus di ujung, bersama tumpukan dus-dus lain yang lebih dulu ada di sana.

"Weh, luar biasa mantan pak lurah kita, kerja ndak ada matine ...." Ikhwan melontarkan pujian padaku.

"Nah, lurah yang ada sekarang harus lebih pakem. Jujur ikhlas melayani, jangan sampai korupsi apalagi memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan golongan, haram menindas yang di bawah dengan amanah yang sudah dipercayakan pada antum," ucapku setelah meletakkan barang.

Ah, bicara jabatan bawaannya ingin bahas politik saja, tapi mau bagaimana lagi dalam Islam semua hal diatur, termasuk juga politik. Jabatan yang seringkali disalahgunakan, tentu sebuah kedzoliman dan merugikan banyak pihak. Kasihan jika ada kaum lemah yang terus tertindas. Bukan aku sok tahu, atau lebih pintar, hanya saja ini amanah ... begitu posisiku digantikan Ikhwan, sudah menjadi tugas mantan lurah sepertiku mengawal hingga kakiku melangkah keluar dari pesantren ini.

"Leres Kang, leress ...." Ikhwan manggut-manggut.

"Araaaargh!!" Suara wanita menjerit mengagetkan kami, sontak kami menghambur ke arah suara, yang ternyata daru kamar Gus Hanan. 

Di depan kamar pangeran pesantren itu kami berkumpul, saling bertanya apa yang sedang terjadi di dalam. Ustazah Mirna yang juga datang mengetuk pintu kamar.
"Aish, Aish ... ada apa? Apa yang terjadi?"
Berarti Aish yang ada di dalam kamar itu.

Tidak lama setelahnya pintu dibuka, semua tersentak. 
"Hanan!" seru Ustazah Mirna.

Gus Hanan berdiri di depan pintu dengan canggung. Apa yang mereka lakukan? Bukankah akad baru diadakan besok, kami tidak menyangka Gus menjatuhkan harga dirinya dengan mengunci Aish dalam kamar. Jikapun itu bercanda dan sebatas keusilan, tetap saja tidak bisa dibenarkan. 

Duh, kenapa aku harus melihat pemandangan ini. Masih ada nyeri pada onggokan daging di dalam dada.

Ustazah Mirna masuk dan membawa Aish keluar, menuju kamar lain. Apa yang gadis itu lakukan, korban keusilan, apa latihan malam pertama kah dengan gaun yang ia kenakan? Ish, segera kutepis berbagai pikiran. Ini pasti kesalahpahaman.
Masih di tempat sama, umi datang dari arah depan, melihat Aish keluar dari kamar gus, wajahnya pun ikut berubah.
"Hanan, apa yang kamu lakukan?"

Umi meminta kami kembali ke dapur, sepertinya ibu dan anak itu ingin membahasnya tanpa kami ketahui. Tidak masalah, itu privasi mereka. Sudah seharusnya juga kami tidak ikut campur terlalu dalam urusan keluarga yai.

"Kenapa Kang wajahnya pucat begitu? Sakit?" Ikhwan bertanya.

"Ah, ndak." Bagaimana aku akan mengatakan, fisikku memang tidak sakit, tapi hatiku ... nyesek luar biasa. Dengan perasaan begini, mana bisa aku hadir di akad nikah gus besok, bisa-bisa sesuatu yang tdiam diinginkan terjadi. Biarlah nanti saat ada kesempatan aku akan mengatakan pada yai tidak bisa datang pada akad nikah Gus Hanan dan Aish besok.

"Ya, sudah ini minum dulu." Ikhwan menyodorkan minuman dalam gelas.

"Syukran Wan. Ana puasa." Puasa ini adalah caraku mengendalikan nafsu, selain nafsu melihat banyak makanan di rumah yai, aku juga sering bertemu gadis-gadis di sana.

"Oh, pantes. Dehidrasi mungkin Kang. Dibatalin saja kalau sudah ndak kuat. Toh puasa sunnah."

"Ndak, Wan. Ana ndak apa."

Melihat keadaan yang sudah tenang di dalam setelah beberapa kali memeriksa, di ruang tengah hanya terlihat kiyai dan gus. Kuberanikan diri menyampaikan maksudku.

Assalamualaikum," ucapku pada mereka.

"Waalaikumsalam." yai mempersilakanku duduk.

"Ada apa?" tanya yai.

"Em, saya mohon maaf Yai. Besok tidak bisa bantu-bantu di acaranya gus."

"Lho  emangnya sampean ndak hadir waktu akadku Kang? Katanya sohib, masa akad ndak hadir. Kalau ndak bantu-bantu juga ndak apa, yang penting Kang Abduh nemeni aku pas akad," ucap gus terlihat kecewa, 'maaf Gus, move on itu perlu waktu. Lagipula ana tidak ingin merusak suasana.'

"Njeh, Gus. Maaf ada keperluan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan," jawabku.

Yai tersenyum padaku, "Iya, tidak apa-apa. Nanti pas resepsi usahakan datang. Kamu dan Aish 'kan satu daerah."

"Njeh, insyaallah. Kalau begitu saya permisi Yai." Aku pun pamit.

Yai mengangguk.

Alhamdulillah, lega setelah kuungkapkan meski ada rona kecewa di wajah gus dan yai.

***

"Kang, ini. Tak bawain kue tadi dari rumah umi. Karena tau Akang puasa, umi menitipkan ini ke ana." Paimo menyerahkan sebuah kotak bekal milik umi padaku.

Hidup tanpa keluarga di pesantren, rupanya tidak membuatku haus kasih sayang keluarga, sebab mereka berlaku seperti keluarga kandungku sendiri. Ini satu hal yang membuatku berat meninggalkan pondok.

"Syukran Mo."

"Njeh Kang, sami-sami."

Alhamdulillah, adzan magrib terdengar segera kubatalkan puasa, sebelum ke masjid dan nanti malam acara haflah. Lapar dan dahaga sudah hilang ... tapi kenapa keinginan  memiliki Aish belum juga hilang. Huft.

B E R S A M B U N G


Komentar

Login untuk melihat komentar!