Dia yang Menawanku


"Saat jatuh cinta, tidak ada pemandangan lebih indah selain wajah sang kekasih."

***

Setelah selesai menulis surat dengan perasaan menggebu aku berjalan membawa nampan berisi kue dan dua cangkir teh di tangan. Semakin melangkah membuat debar-debar semakin kuat di dada.

"Semoga njenengan bahagia dengan anak Pak Benny Gus, dan aku akan membahagiakan Aish." 
Ada keyakinan gadis pemalu itu akan menjadi milikku.

Sampai di ruang tunggu asrama putri yang terletak sebelum pintu masuk, tanganku sudah siap mengetuk ... tapi terhenti mendengar isak gadis itu, isak tangisnya membuat hatiku seperti diiris-iris, rasa sakit yang sama ketika kudengar seseorang telah mengkhitbahnya. Sebesar itukah cintanya pada Gus Hanan? 
"Bersabarlah Aish ... tidak ada rasa sakit yang bertahan lama, setelah usai dengan semua ini aku janji akan membahagiakanmu jika antum menerima pinanganku."

"Aish, sebaiknya kamu kemasi barang, pulang bersama uma dan abah hari ini juga."
Kudengar ucapan itu dari ibunya.

"Tapi Uma ... bukannya Uma dan abah naik motor, bagaimana Aish bisa ikut? Dan ..."

"Kita bisa naik bis Aish, biar Abahmu yang naik motor sendiri."

"Uma ... imtihan tiga hari lagi, Aish ndak mau pulang sebelum kami benar-benar dilepas oleh pihak pondok. Bukannya sia-sia enam tahun Aish di sini tinggal menunggu Ustaz dan Ustazah dengan ridho melepas kami, keberkahan ilmu Aish saat ini ada dalam ridho mereka Uma." Aish meminta pengertian ibunya. Gadis itu tidak selemah yang kupikirkan, keluguan yang ia tampakkan ternyata berbeda dengan kekuatan hatinya, dia bukan gadis rapuh.

Aisha tidak ingin pergi dari pondok dengan cara tidak lazim kabur karena tidak betah atau kabur karena masalah. Inilah prinsip yang seharusnya dipegang setiap kami, para penuntut ilmu. 

Ibunya bergeming, rupanya wanita itu  memahami putrinya.

Sekitar sepuluh menit aku berdiri dibalik pintu, kuketuk pelan dan mengucap salam pada keduanya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Afwan, ini disuruh umi."  Kuletakkan dua gelas teh dan kue dalam piringan yang kubawa.

"Terimakasih, Nak. Apa mereka masih bicara serius di dalam sana?" Ibu Aish bertanya.

"Iya Bu." Aku jawab sembari menggendong nampan di dada. Sebenarnya aku berharap bahwa lamaran itu gagal dan Gus bahagia dengan Nissa, tapi apapun yang terjadi nanti itulah yang terbaik, karena Allah tahu mana yang terbaik untuk dijalani setiap hambaNya.

"Oh, begitu. Ya sudah terimakasih ya, Nak. Oya namanya siapa? Sedari saya datang tadi lihat sampean sibuk sekali di dapur umi."

"Saya Abduh Bu, dulu sempat satu kelas sama Aish."

"Dari mana Abduh?" 

"Saya dari Njombang."

"Walah, sama kalau begitu sama Aish."

Saat mengobrol, berkali-kali mataku tidak bisa ditahan untuk melihat ke arah gadis itu. Hati ini hanya bisa beristigfar merasai gemuruh di dada.

"Oh, nggeh Bu. Kalau begitu saya pamit dulu, takut umi perlu sesuatu. Oya, ini titip surat buat Aish, kasihkannya pas lepas imtihan saja Bu, maaf merepotkan."  Kuserahkan sebuah amplop pada ibunya.

Ini adalah taktik, jika amplop itu kuserahkan pada Aish, tentu akan jadi masalah untukku dan dia. Namun, karena kuserahkan pada ibunya dan memberikannya setelah haflah ikhtitam di rumah maka tidak melanggar aturan pondok.

Ibunya melihat keheranan, Aish sama sekali tidak menimpali obrolanku dengan ibunya, barangkali hatinya sangat hancur atau malu padaku, aku tidak tahu.

"Ohyaya." Wanita paruh baya itu meraih amplop tanpa berkata apa-apa.

Aku pun berpamitan, tapi masih penasaran dengan keadaan Aish dan beberapa saat berdiam di balik pintu.

"Tuh, Aish masih banyak pria sholeh dan ganteng. Ndak kalah sama anak Yai itu. Tapi kira-kira apa isi amplop ini? Apa surat cinta buat kamu Aish?" Ibunya terus menghibur. Bibirku bergerak membentuk senyuman, tanpa sadar, saat disebut pria sholeh dan ganteng, apalgi ibunya bilang tidak kalah dengan Gus Hanan, membuatku makin bersemangat.

Terdengar Aish mendesah.
"Iya Uma banyak, tapi apa iya mau sama Aish. Bisa saja isi surat itu tentang Gus dan Nissa soalnya tadi Abduh sempat bilang "Aish, sabar dan kuat ya!" 

"Iya ya, belum tentu dia mau. Apalagi kalau gadisnya cengeng begini, mana suka kentut lagi."

"Hahaha." Aish tertawa mendengar ucapan umanya. 

Pada akhirnya tangis Aisha reda diiringi nasehat menyejukkan hati dari sang bunda, lalu keduanya tertawa, tawa yang membuatku tersenyum karena ikut bahagia, 'pantaslah Engkau terlihat lembut Aish ... rupanya Engkau dibesarkan wanita yang ucapannya sesejuk embun.' 

***

"Ada apa Kang, cengar-cengir dewe koyo ...."
Paimo melihatku dengan aneh.

Terserah apa yang ia pikirkan, setidaknya aku tengah merasa bahagia, yang sedikit benihnya telah tersemai dan aku yakin akan memanen pada waktunya.

Kuletakkan nampan dan kembali meneruskan menjaga api tungku yang di atasnya ada lontong yang tengah direbus.

"Kenapa to Kang, aku terganggu lho karo esemanmu, duh ...."

"Wes, to Mo. Kalau orang bahagia antum juga kudu bahagia."

"Lha, gimana ana bahagia? Wong Kang Abduh kenapa aja ndak tau, malah serem lihatnya. Oooh, jadi Kang Abduh lagi bahagia?"

"Hu'um."

"Kalau begitu bilang apa yang buat Kang Abduh bahagia. Biar ndak aneh gitu, masa bahagia ndak ada sebabnya 'kan aneh."

"Nanti, kalau sudah jelas an ceritain Mo. Wong belum pasti, malah nggarai kecelek."

"Oh, wokeh, wokeh." Paimo tidak mau memaksa.
"Kang, Kang belum pasti ae bahagia, ckck, gimana kejadian beneran," ucapnya lagi sembari meninggalkanku keluar, mengambil lagi kayu bakar.

Tidak lama umi keluar dari ruang tengah. Wajahnya bahagia, semoga saja keputusan itu membahagiakan buat semua pada akhirnya termasuk aku.

***

"Afwan, ana akan masuk dan menggunakan telepon kantor." Seorang santriwati mengagetkanku yang kebetulan menjaga kantor kosong. Saat kutoleh ternyata dia santriwati populer di kalangan santriwan, Hilma. Setelah bertemu sedekat ini, benar jika dia memang cantik dan juga berprestasi, pantaslah jadi buah bibir.

"Oh, bukankah seharusnya santriwati bisa menelpon dari ponselnya Ustazah Mirna?"

"Benar, tapi beliau sedang ada kesibukan dan tidak terlihat di asrama putri sejak tadi pagi, tapi ... ana ke sini sudah dapat izin kok dari ustazah lain."

"Begitu? Baiklah, silakan." Aku keluar meninggalkan kantor agar tidak berduaan dengan gadis itu.

Setelah melihat Hilma keluar, aku kembali masuk, namun tak sengaja melihat sebuah kertas kecil di bawah meja telepon berada.
"Apa ini? Bukannya tadi semua sudut ruangan sudah kusapu?" Kuamati benda kecil itu, ternyata sebuah nomor telepon. kemungkinan milik gadis tadi. Mengejar dan memanggilnya tidak mungkin karena itu akan menjadi pusat perhatian semua orang di luar sana, akan memalukan. Akhirnya kusimpan dalam buku, lain waktu akan kuberikan padanya melalui mbak-mbak yang bantu di dapur umi.

***

"Kang apa sampean langsung pulang setelah puncak acara nanti?"  tanya Ikhwan, ia sedang duduk bersila di depan beberapa kitab yang sudah ia kemas.

"Belum tau ini, kalau ada yang perlu dibantu dari rumah Yai, ana akan tinggal dulu." 

"Oya, bener. Gus 'kan hari berikutnya akan akad."

"Ha? Akad? Secepat itu?"

"Lho, Akang ndak tau?"

Aku menggeleng.

"Tadi pagi kebetulan ana bicara panjang lebar dengan yai, minta wejangan untuk bekal waktu liburan di kampung. Tapi malah beliau cerita, gus akad setelah haflah."

"Wah, MaasyaAllah." Padahal semalam mereka terlihat alot saat bicara. Syukurlah, dengan begitu Aish akan cepat move on dari lamaran gus lalu bahagia denganku.

"Oya, kata yai ... calonnya itu sekampung sama sampean."

Deg. Aish?
Pupus sudah, hancur lebur dan tak bersisa lagi. Harapan yang baru tersemai sekejap hilang diterpa badai ... barang kali ini cara Allah, agar tak memegang harapan bahagia berlarut-larut hingga saat harapan itu kosong tidak terpuruk lebih dalam.

B E R S A M B U N G



Komentar

Login untuk melihat komentar!