BAB 6
ARDI EGOIS
Sebelum magrib, Ardi telah sampai di rumah. Intan yang sedang bersiap salat magrib. Ia duduk di atas sajadahnya. Ardi hanya melihat sambil berlalu, ia menghindari agar tak lagi gelap mata untuk menyakiti fisik Intan.
“Sudah pulang, Mas?” sapa Intan seperti biasanya. Seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
“Iya, sudah,” jawab Ardi cuek.
“Mandi, makan dulu. Sudah siap semua di atas meja,” ucap Intan lagi.
Dari wajahnya, Intan tak ada lagi menyimpan kesedihan. Ia kembali menjalani hidup seperti biasanya. Mungkin dia sudah iklas menjalani semua ini. Ia hanya mengadukan semua perihal kemelut hatinya pada Tuhan.
“Iya, Dik.” Ardi segera pergi ke kamar mandi.
Seperti biasa, selepas magrib Intan menemani suaminya makan malam. Ardi makan dengan lahap, karena ia membayangkan wajah Lisa. Kala ia menatap wajah Intan, kebencian itu pun kembali muncul. Kali ini, ia tak lagi mau memperlihatkan hal itu. Walau bagimanapun juga ia dulu pernah sangat mencintai Intan.
“Masakannya enak, Dik.” Ardi memuji istrinya.
Memang istrinya itu pandai dalam hal memasak, karena orang tuanya dulu membuka rumah makan. Namun, semua itu tinggal kenangan, karena orang tua Intan telah meninggal. Di kampungnya, hanya ada rumah kosong tak berpenghuni. Intan memiliki seorang kakak lelaki yang telah menetap tinggal di luar pulau.
Intan tak menjawab pujian suaminya, karena sudah sering sekali hal itu ia dengar. Ia menatap iba pada lelaki itu. Intan menghela napas, entah apa yang sekarang ada dalam pikirannya.
Ardi pun selesai makan, ia kekenyangan. Intan menuangkan air ke dalam gelas Ardi.
“Dik, mas ingin bilang sesuatu,” ucap Ardi, kemudian ia meletakkan gelas di atas meja.
“Ya, Mas. Katakan saja,” jawab Intan.
“Mulai besok Lisa akan bekerja menjaga toko. Mas akan lebih sering mengawas perkebunan sawit kita,” jelas Ardi.
“Mengapa tidak kompromi dulu, Mas. Kan bisa seharusnya aku saja yang jaga toko. Aku juga bosan di rumah terus.” Intan menolak secara halus.
Ekspresi wajah Intan jadi merah padam. Ia benci sifat suaminya yang selalu apa-apa mengambil keputusan sendiri tanpa kompromi. Ardi itu egois dalam bersikap.
“Terlambat, Lisa sudah aku pekerjakan. Kamu di rumah saja, urusan mencari nafkah biar urusanku. Toh, dirimu tak pernah kekurangan apa pun,” kata Ardi cuek. Ia membantah penolakan Intan.
“Tapi, Mas. Lisa itu orang baru, kita belum kenal dengan dia. Takutnya malah toko jadi berantakan,” sungut Intan lagi. Ia benar-benar sangat tidak setuju.
“Sudahlah, terima saja. Lisa itu baik.” Ardi terus saja membela Lisa, membuat Intan mulai muak.
“Jangan pekerjakan Lisa, Mas. Biarlah aku saja yang setiap hari menjaga toko,” pinta Intan lagi.
“Lisa itu perempuan, tidak pantas jika kalian sering bertemu nantinya.” Intan kembali bergargumen, kali ini dengan sumber agama.
“Apa urusannya?”
“Tidak boleh, Mas. Bukan muhrim. Pokoknya mulai besok, aku yang akan jaga toko, titik!” Suara Intan mulai meninggi. Menandakan ia sangat marah.
Ardi sedikit terkejut melihat sikap Intan yang berubah drastis. Selama ini Intan selalu lemah lembut, tak pernah membantah. Bahkan, pada saat terjadi keributan Intan selalu mengalah. Paling juga ia hanya menangis, tapi kali ini sangat beda.
“Kau mulai berani membantahku! Terserah aku! Lebih baik kau menurut saja,” Bentak Ardi pada Intan.
Ardi tidak suka jika keinginannya dibantah. Meskipun ia sadar, apa yang ia lakukan itu sebenarnya salah. Ardi butuh hiburan dalam penatnya, dan jawabannya adalah Lisa. Ya, dia butuh wanita itu untuk meredam semua emosinya pada Intan.
“Jika memang Mas butuh karyawan, carilah lelaki. Jangan wanita!” Intan mulai naik emosinya.
“Jangan mengaturku! Lisa mulai besok akan bekerja di toko atas izinku,” tegas Ardi sekali lagi.
Intan menatap nanar wajah suaminya, mengapa Ardi sangat membela Lisa? Pikir Intan.
“Mas lebih memilih Lisa atau aku? Biarkan aku saja yang menjaga toko!” bentak Intan lagi. Malam ini ia sangat berubah, ia mulai bosan diam terus dan dijajah sikap suaminya.
Melihat kondisi kurang baik, Ardi mencoba meredam emosinya yang memuncak. Ia menghela napas berkali-kali.
“Biarkan Lisa bekerja si toko, dan kau bebas mengawasinya kapan saja,” bujuk Ardi.
“Aku tidak ingin membuatmu lelah, makanya aku tak pernah menyuruhmu untuk bekerja. Tugasmu hanya di rumah saja, karena aku menyayangimu.” Ardi kembali mencoba merayu Intan agar mau mengizinkan Lisa bekerja di toko mereka.
Intan diam. Ia sedang berpikir sejenak. Suaminya memang benar, selama ini ia memang dilarang bekerja. Ia hanya duduk manis di rumah, masalah keuangan tak pernah jadi masalah. Semuanya tercukupi, bahkan berlebih.
Hanya saja entah mengapa Intan seperti punya firasat yang kurang baik tentang tetangga barunya itu. Wanita berhijab itu kemudian mengalah, toh dia bisa kapan pun ke toko sesukanya untuk mengawasi Lisa. Ia pun memilih mengalah.
“Baiklah, aku terima. Asal Mas benar-benar mengurus kebun,” ucap Intan menantang.
“Tentu saja.” Ardi tersenyum senang.
Rayuannya pada Intan pun terkena tepat sasaran. Karena ia yakin betul, Intan takkan mungkin seterusnya ada di toko, Intan akan merasa bosan. Saat itulah ia bisa bebas menemui Lisa.
“Lagian kita akan berbagi rezeki dengan Lisa. Aku hanya menggajinya satu juta per bulan.” Ardi menjelaskan perihal gaji yang akan diterima Lisa.
Padahal itu semua adalah kebohongan yang amat besar. Semua itu ia lakukan agar Intan tenang dan tak berpikir macam-macam. Ardi membebaskan Lisa mengambil apa saja dengan gratis barang-barang di toko mereka.
“Baiklah, Mas. Aku setuju, dengan begitu aku akan sering ke toko.”
Betapa girangnya hati Ardi mendengar itu semua. Sebentar lagi ia dan Lisa akan semakin dekat saja. Ia bisa kapan saja ke toko, toh dikebun sudah lengkap semua para pekerjanya. Ia hanya tinggal menunggu hasil kiriman sawitnya saja.
Intan tidak tahu rencana jahat suaminya itu berjalan mulus. Ia hanya mengikuti kemauan suaminya, ia selalu percaya pada lelaki itu. Tanpa tahu bahwa suaminya telah bermain serong dengan Lisa.
“Aku ngantuk, mau tidur,” ucap Ardi memecah lamunan Intan.
Lelaki itu berjalan menuju kamarnya, ia bisa tidur tenang malam ini. Ardi tidak sabar ingin kembali bertemu Lisa besok, ia terus saja melihat jam dinding di kamarnya, tersenyum senang. Lisa benar-benar pandai meracuni hatinya, sehingga ia tega membohongi Intan yang selama ini telah setia dan mengabdi hidup untuknya.
Intan masih duduk di meja makan, bola matanya memutar sekeliling ruangan. Ia memejamkan mata sejenak, mungkin ia sedang berdoa semoga semua baik-baik saja dan apa yang menjadi ganjalan hatinya hanyalah sebuah ilusi belaka.
***
Di dalam rumahnya, Lisa sedang bernyanyi seiring hatinya yang riang. Ia berhasil menggoda suami tetangganya, bahkan ia akan semakin dekat dan intens berhubungan dengan Ardi. Terlebih ia mulai besok menunggui toko mereka dan bebas mengambil barang apa saja dengan gratis. Lisa bertekad takkan mau melepaskan Ardi pergi dari pelukannya.
Bersambung...