TERGODA TETANGGA BARU


BAB 2
TERGODA TETANGGA BARU 


Hari telah pagi, Intan tersadar dari pingsannya. Ia bak sedang mimpi buruk semalam. Kepalanya menoleh pelan, ia menatap lemari bajunya. Ternyata itu bukan mimpi, kaca lemari itu benar-benar pecah. Intan segera bangkit dari ranjangnya. Ia kemudian tertegun sejenak. 

Matanya fokus memperhatikan lantai. Tak ada lagi serpihan kaca di sana, telah dibersihkan rupanya oleh Ardi. Intan menyentuh pipinya pelan, ia merasa sakit. Tamparan suaminya semalam itu memanglah keras. Ia berkaca pada meja riasnya, tampaklah lima jari membekas dikulit putihnya. Ia menghela napas panjang dan berat. 

Bekas tamparan itu akan sembuh dalam beberapa hari ke depan. Intan mendengar suara mobil truk di samping rumahnya. Ia tak begitu peduli, karena kondisi hatinya sedang tak baik. Ia tahu, itu adalah tetangga barunya, sebab kemarin Bu Neli yang mengatakan bahwa akan ada tetangga baru.

Intan ingin keluar rumah, tapi ia malu sebab pipinya yang memerah itu. Ia pun beraktivitas seperti biasa di dalam rumahnya. Intan tidak mencari Ardi, karena pasti lelaki itu ada di toko. 

***

Ardi yang sedari semalam belum makan, akhirnya memutuskan untuk pulang sebentar pagi ini untuk mengisi perut. Ia pun ingin tahu keadaan Intan, walaupun ia takkan ingin bertegur sapa dulu. 

Dari kejauhan Ardi melihat, di sebelah rumahnya ada truk besar membawa barang-barang rumah tangga. Ini pasti tetangga baru, pikirnya. Ia berjalan agak cepat, ingin membantu menurunkan barang-barang. 

Tak ada orang banyak di sana. Hanya sopir yang sibuk menurunkan barang. Ada seorang wanita muda berambut pirang yang menggandeng tangan seorang bocah lelaki yang lucu. 

“Biar aku bantu menurunkan barang-barang ini,” kata Ardi. 

Sopir itu mengangguk senang. Akhirnya ia tak sendirian lagi. Wanita itu juga membantu memindahkan barang yang tidak terlalu berat. Anak kecil itu ia suruh duduk di bangku yang ada di bawah pohon samping rumahnya. 

Setelah cukup lama, akhirnya selesai juga. Ardi juga telah berkeringat, ia cukup lelah. Sopir itu segera pergi. Yang tertinggal hanyalah wanita itu dan anak lelakinya. 

“Itu tadi hanya sopir?” Ardi terkejut, ia kira sopir tadi adalah suami wanita cantik itu. 

Wanita itu menggeleng. 

“Iya, hanya sopir saja. Suamiku belum bisa ikut ke sini. Karena ia sangat sibuk dengan pekerjaannya.” Wanita itu menjawab. 

“Memangnya apa pekerjaan suamimu?” tanya Ardi lagi. 

Ardi sedari tadi tak lepas matanya memandang wanita itu. Penampilannya sangat seksi, bajunya sangat pendek. Ia mengenakan kaus ketat dan celana jeans pendek selutut. Wangi parfumnya menguar ke semua penjuru. 

Wanita ini masih muda sekali. Umurnya sekitar 23 tahun. Rambutnya lurus berwarna pirang. Mata bulat, berhidung bangir, wajahnya oval, serta bibir mungil yang sangat merona. 

“Ia jarang pulang, pekerjaannya adalah sopir bus antar provinsi,” jawabnya pelan. 

“Siapa namamu? Aku Ardi, tetanggamu.” Ardi mulai memperkenalkan diri. 

“Namaku Lisa dan anakku itu Reno.” 

Lisa mengulurkan tangan untuk bersalaman, tentu saja disambut riang oleh Ardi. Mata mereka bertatapan, hingga tak terasa mereka terlalu lama bersalaman. 

Ardi merasakan betapa halusnya kulit Lisa ini. Wanita muda yang amat cantik, suaminya pun jarang pulang. 

“Jika Abang berkenan, bisakah menolong Lisa merapikan rumah? Meletakkan barang-barang ini semuanya?” pinta Lisa pada Ardi. 

Genit sekali rupanya si Lisa ini. Ia mengedipkan sebelah mata pada Ardi, yang entah apa maksudnya. Bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya, Ardi menurut saja pada wanita yang baru saja ia kenal itu. 

Sudah setengah hari Ardi membantu Lisa menata rumah, tanpa sepengetahuan Intan. Intan mengira suaminya makan pagi di warung lotek Bu Neli. Intan memang tak keluar rumah, sehingga tak melihat apa yang dilakukan suaminya. 

Ardi yang kelelahan, kini duduk di kursi sofa hijau milik Lisa. Lisa pun membuatkan minuman dan makanan untuk mereka makan bersama pertanda terima kasihnya. Bagaikan sebuah keluarga yang harmonis. 

“Ayo makan dulu, Bang. Makasih ya, tadi udah bantuin Lisa,” kata Lisa dengan manja. Ia sangat berani rupanya. 

Mereka kemudian makan bersama bertiga. Ardi, Lisa, dan Reno. Lisa duduk sangat dekat dengan Ardi. Tepat di sampingnya. Wangi rambut dan parfum Lisa kembali menguar. 

Ardi yany diperlakukan begitu jadi salah tingkah. Ia memang sudah menyukai Lisa sejak pertama kali bertemu, tapi ia tak menyangka Lisa juga secepatnya itu menyukainya. 

“Abang menyukai Lisa, tidak?” tanya Lisa sesudah selesai makan. 

Pertanyaan yang tak terduga ini membuat dada Ardi berdebar.  Ia tak menyangka bahwa Lisa sangat berani, padahal baru pertama kenal, Ardi pun merasa sangat senang. Ia pun sekarang tak tahu lagi apakah ia masih mencintai Intan atau tidak. Intan sudah membuatnya benar-benar muak. 

“Ya, abang suka Lisa. Tapi abang sudah punya istri, memangnya kamu mau?” Ardi bertanya sambil tertawa. 

Lisa pun ikut tertawa, entah apa maksudnya tertawa mereka itu. Anak kecil lelaki bernama Reno itu tidak mengerti apa yang terjadi, ia hanya diam. Lisa mengajarinya memanggil Ardi dengan sebutan om.

“Iya, Lisa mau. Kita bisa pacaran diam-diam.” Lisa tegas menjawabnya. 

Ardi terdiam sejenak, mencoba meyakinkan diri apakah ini benar atau hanya mimpi. 

“Benarkah itu, Lisa?” Mata Ardi berbinar. 

“Iya, Bang. Abang sering-sering main ke rumah, ya?”

“Baiklah, akan abang atur waktu agar tidak ketahuan Intan.” Ardi mantap menjalani hubungan terlarang ini. 

“Di depan SD itu toko abang, Lisa juga mampir ke sana jika ingin bertemu abang,” ujar Ardi. 

Lelaki itu kini sudah berani menggenggam tangan Lisa, yang statusnya istri orang lain. Begitupun dirinya yang berstatus suami Intan. 

“Baik, Abang,” ucap Lisa manja. Suaranya sengaja ia buat mendayu. 

“Kalau begitu abang pulang dulu, besok kita bisa bertemu lagi.” Ardi baru teringat kalau dia belum pulang ke rumahnya. 

Segera Ardi meninggalkan rumah Lisa dengan mengendap-endap. Takut ada yang melihatnya dari sana. Jarak antara rumahnya dan rumah Lisa ada sekitar lima meter, itu pun dibatasi oleh tanaman rumput pagar. Ada juga banyak batang tebu yang menjulang, rahasianya bisa aman. 

Rumahnya masih tertutup rapar, tandanya Intan ada di dalam dan tidak keluar rumah, pikir Ardi. 

Ardi pulang dengan senang. Ia bersiul di jalanan sampai di depan rumahnya. 

“Assalamualaikum, Intan. Buka pintu,” tegurnya. 

Intan tak menjawab. Ia hanya membuka pintu, lantas masuk lagi ke dalam kamar. Hatinya masih terasa sangat sakit sebab kejadian semalam. 

Ardi yang melihat Intan sudah sehat, ia merasa senang. Walaupun ia melihat ada bekas cap lima jari akibat tamparannya tadi malam di wajah Intan. Ardi berlalu begitu saja tanpa menanyakan keadaan Intan sedikitpun. 

Ia mandi dan makan seperti biasanya, tanpa ia tahu bahwa sekarang istrinya sedang menangis di dalam kamar. 

Bersambung... 

Komentar

Login untuk melihat komentar!