PART 6
Setelah kejadian tadi malam, arwah Via datang entah karena apalagi. Aku bingung dengan keadaan ini, sebegitu rumitnya jadi sopir pengantar jenazah. Sampai-sampai harus diteror arwah penasaran. Aku sampai tidak jadi salat isya karena ketakutan. Untung saja tidak pingsan tadi malam. Semalaman aku tak bisa tidur lagi sampai pagi, hanya berdiam diri dalam selimut. Penuh ketakutan.
Pagi ini aku ke kantor untuk kembali mengambil mobil yang jadi tanggung jawabku. Selama menjalani profesi ini, mobil 003 itu yang akan selalu menemami mengantarkan jenazah. Jujur, sejak tadi malam itu aku jadi takut untuk tinggal sendirian lagi. Kebetulan, ada Beni yang baru datang entah dari mana.
“Beni,” panggilku.
Ia mendekat.
“Ada apa?” tanyanya.
“Kamu tadi malam bisa tidur gak?”
“Ya, bisalah. Emang kenapa?”
“Aku dapat gangguan, Ben. Tadi malam jam dua belas, aku terbangun untuk salat isya. Di kamar mandi ada hantu wanita dengan wajah hancur. Firasatku mengatakan kalau itu adalah Via yang meninggal kemarin itu.” Aku bercerita serius.
“Bisa jadi juga itu dia. Tapi, enggak pa-pa. Biasanya dia tidak akan terus datang, atau mungkin juga itu hanya setan yang menyerupai saja untuk menakuti kamu.”
“Aku gak salah apa-apa sama Via. Mana aku tahu kalau jasadnya ada di semak sana, semoga dia bisa mengerti.”
“Kamu kemarin mandi apa enggak sepulang dari pemakaman?” tanya Beni sambil menaikkan salah satu alisnya.
Aku tersentak. Benar, aku tidak mandi sepulang dari pemakaman. Lelah membuatku langsung ke kamar untuk tidur. Sama sekali tiidak terlintas mandi. Apa itu yang jadi sebab kedatangan hantu wanita itu? Dia mengikutiku dari area pemakaman sampai rumah. Pamali memang jika pulang dari kuburan tidak mandi. Harus mandi dulu, tapi aku lupa. Saat itu otak sedang benar-benar buntu entah karena apa.
“Ditanyain malah melamun, udah ketebak kamu pasti enggak mandi.”
“Iya, Ben. Aku memang tidak mandi. Apakah itu sebabnya?” tanyaku penasaran.
Beni mengembuskan napas kasar.
“Iya, itu salah satu penyebabnya. Kamu diikuti salah satu penunggu kuburan sana. Makanya jangan lupa mandi untuk membuang hawa tanah kuburan.”
“Masalahnya sekarang adalah aku takut, tak ingin lagi tinggal sendirian. Gimana kalau aku menumpang tinggal di rumahmu saja, bisa? Biar enggak lagi kos sendirian. Lagian, rumah kamu dekat kantor mobil jenazah.”
Beni diam sejenak, aku tahu dia sedang berpikir. Semoga saja aku bisa menumpang di rumahnya.
“Aku janji gak bakal ngerepotin, kok. Anggap aja aku kos di rumah kamu, aku bisa bayar per bulan.”
“Hussst, ngomong apaan. Kalau mau tinggal sama aku boleh, kami di rumah hanya ada aku dan ibu. Enggak usah bayar, udah tinggal aja dan sekamar denganku. Untuk masalah mobil aman, garasi masih luas. Ya, kamu juga harus tetap kuat mental tapi, Vin,” ucapnya.
Kuat mental tentang apa? Ah, apa pun itu aku tak perduli, yang terpenting sekarang adalah harus punya teman sekamar. Aku takut, tapi entah mengapa sama sekali tak ada rasa ingin mundur dari profesi sopir pengantar jenazah.
“Apa itu?”
“Kita sebagai sopir pengantar jenazah, sudah pasti harus siap sedia dalam keadaan apa pun dan jam berapa pun. Masalahnya adalaha, kalau pulang malam jangan pernah kamu lihat ke arah pohon durian samping rumahku, pokoknya jangan. Kamu harus menunduk saja, apa pun itu jangan lihat ke atas.” Peringatan keras dari Beni ini tak masalah bagiku.
“Hanya itu saja? Aku sangguplah.” Aku menjawab tegas.
“Jangan meremehkan, Vin. Berat tantangannya,” tandas Beni cepat.
“Memangnya ada apa? Ceritain dulu, kamu jangan nakutin terus. Sejujurnya, aku ini sangat penakut sekali, tapi sangat tertantang menjalani profesi sopir ini.”
“Nanti kamu akan tahu juga, tidak sekarang. Kalau kamu mau pindah, bisa sore nanti bawa semua barangmu dari kos, daripada sendirian di kos itu tidak baik juga. Kamu orang baru di sini, tidak tahu dulunya pernah ditemukan tulang manusia yang terkubur tepat di bawah lantai kamar kos yang sekarang kamu tempati.”
Deg! Apa itu sebabnya hampir setiap malam selimutku selalu ada yang menariknya dari bawah? Untungnya gangguan-gangguan tersebut tidak sampai parah, karena masih dilindungi Allah. Kalau sekadar kejadian selimut yang ditarik tak masalah bagiku. Mengapa semua ini makin rumit saja. Semua serba misterius dan mistis.
“Mengapa kamu tidak bilang dari pertama kita kenal?” Aku merasa kesal.
“Tidak mudah untuk menceritakan hal-hal begituan. Kamu pasti juga pahamlah, Vin.”
Aku menghela napas panjang, tapi setidaknya ada rasa lega dalam dada. Beni mengizinkan aku untuk tinggal di rumahnya. Bagiku, sangat istimewa sekali ada yang baik pada anak rantau.
***
Malam hari, aku sudah berada di rumah Beni. Ibunya sangat baik dan sama sekali tidak merasa keberatan menerimaku. Aku pun sudah berjanji pada dir sendiri untuk tidak akan merepotkan orang rumah ini. Dapat perlindungan saja sudah sangat bersyukur. Ya, setidaknya sekarang tidak tinggal sendirian lagi.
Sehabis makan malam, ada pemberitahuan di grup WA. Ada instruksi dari Pak Agung agar kami menjemput korban pabrik korek yang terbakar sore jam tiga sore tadi. Memang ada berita tersebar kalau terjadi kebakaran di sebuah pabrik korek kayu yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan dari sini. Hanya saja, kebakarannya terlalu hebat. Kami tidak datang dulu, dikarenakan petugas pemadam kebakaran masih berjuang memadamkan api. Dari berita yang didapatkan, tidak ada satu pun yang selamat dikarenakan saat pergantian satpam, pintu terkunci rapat dari luar. Masih belum diketahui sebab kebakaran hebat itu dan bagaimana bisa pintu terkunci dari luar.
“Sudah kutebak, pengangkatan mayat malam hari ini. Kebakarannya memang sangat hebat sampai pemadam kewalahan,” ucap Vino sambil menatap layar gawai miliknya.
“Aku turut sedih dengan berita ini, belum lagi banyak korban covid-19 akhir-akhir ini.”
“Sudah, kalian itu hebat. Jangan pernah mengeluh, pekerjaan pengantar jenazah itu sangat mulia,” sambung ibunya Beni.
“Iya, Bu. Kira-kira apa penyebab kebakaran di sana, ya? Sampai masuk televisi, bahkan butuh sepuluh mobil pemadam untuk menuntaskan api. Lebih sedihnya lagi, tidak ada yang selamat di dalam sana,” sahut Beni sambil memakai jaket.
“Tapi, tidak semuanya meninggal. Yang meninggal hhanyalah para pekerja saja, sedangkan petinggi pabrik sedang tidak ada di lokasi kejadian.”
“Sudah, kita berangkat sekarang. Nanti kemalaman, satujam perjalanan cukup jauh. Pabrik itu banyak melewati hutan,” peringat Beni.
Aku langsung mengangguk paham. Kami segera pamit pada ibunya Beni dan langsung tancap gas ke lokasi.
Selama perjalanan tak ada yang aneh, sudah lima belas menit aku menyetir. Hanya ada gangguan dari keranda yang terus berderit di belakang. Sebuah pertanda kalau dia akan terisi oleh mayat. Aku tak sempat melirik dan merapikan penutup keranda tadi karena terburu-buru mengejar waktu. Bagian kanan keranda menampakkan tulang besinya yang tidak tertutupi kain.
Tubuhku bagaikan kena sengatan listrik manakala menatap dari kaca depan, ada tangan pucat keluar dari celah keranda. Tangan siapa?
Bersambung....
Yang belum sub silakan yaa. Jangan lupa kasih love dan komentar biar Author semangat nulisnya.