Selama sisa perjalanan, aku membawa mobil pelan. Mengikuti bisikan gaib yang entah datangnya dari mana, setelah menuruti permintaan suara itu, mobil langsung hening tanpa gangguan. Dengan ketakutan luar biasa untuk pertama kalinya kualami menyetir sambil gemetar. Untunglah semuanya sudah selesai. Aku sudah sampai di rumah sakit dan mayat sudah dibawa ke dalam oleh petugas medis.
Kebetulan ada Pak Agung yang sedang mengobrol penting, tentunya pasti membahas tragedi kecelakaan itu. Aku menunggunya selesai berbicara hingga temannya pergi. Aku ingin melaporkan kalau tugas sudah selesai dengan baik, walaupun sangat berat sekali karena ini pertama kalinya. Tangan ini masih bergetar karena takut. Manusiawi, bukan? Aku hanyalah seorang pemuda biasa.
“Pak, aku sudah menyelesaikan tugas membawa empat mayat sekaligus,” ucapku sambil membersihkan peluh.
“Empat? Banyak sekali, Vin.” Pak Agung tampak kaget dengan mata yang membesar.
“Iya, kan Bapak memintaku membawa empat mayat sekaligus.”
“Tidak, aku tidak pernah memintamu membawa empat mayat pas ditelepon, kan?” tanyanya penasaran.
“Loh, Bapak bilang saat aku baru sampai lokasi.”
“Kita tidak bertemu di lokasi, saat kamu setengah perjalanan aku sudah berangkat lagi ke rumah sakit bawa korban,” jelasnya.
“Terus yang kita ngobrol di lokasi itu?”
“Jadi, kamu beneran ketemu aku di sana?” Pak Agung berkata dengan tidak percaya.
“Beneran, Pak. Setelah Bapak perintahkan bawa empat mayat, aku dibantuin Beni buat ngangkat mayatnya ke dalam mobil.
“Hah? Astagfirullah! Kamu berarti dikerjain sama orang halus. Sudah, aku bangga karena kamu sudah mampu membawa empat mayat sampai sini.”
“Apakah Bapak pernah membawa atau memerintahkan orang lain membawa empat mayat sebelumnya?” tanyaku.
“Tidak, Vin. Belum pernah sekalipun. Sekarang, satu hal yang bisa kupahami. Kamu nantinya harus bisa memecahkan misteri mobil 003 itu.”
“Misteri apa, Pak?”
“Nanti kamu akan tahu sendiri. Sekarang, karena kamu sudah bawa empat mayat, silakan pulang. Sisanya biar yang lain saja nanti.”
“Kalau diizinkan, aku masih sanggup menjemput korban kecelakaan, Pak.” Aku masih sempat menawarkan diri, karena mengingat kondisi di sana begitu butuh pertolongan.
“Tidak perlu buat kali ini, Vin. Kamu harus istirahat, nanti akan tahu maksudnya bagaimana. Silakan pulang,” ucapnya sambil menepuk pundakku dan pergi.
Aku terduduk lemas di kursi rumah sakit. Terlalu banyak hal yang tidak bisa dijelaskan. Aku tahu maksud Pak Agung adalah memberi kesempatan untuk istirahat dulu. karena memang membawa empat mayat sekaligus itu tidaklah mudah. Sampai sekarang pun hidung ini masih mencium aroma darah pekat. Setelah dirasa cukup, aku segera pulang. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Selama itu juga tadi banyak mobil mengantar korban.
Dengan mata yang mengantuk, aku kembali melanjutkan perjalanan pulang ke kos. Ya, di daerah ini aku merantau sendirian. Rumah orang tuaku ada di kabupaten lain. Belajar hidup mandiri memang susah, itulah hal yang ingin ditanamkan orang tuaku agar masa depanku akan baik nantinya.
Mobil dalam kondisi kotor dan bau darah, tentunya ada tetesan darah korban tadi yang tertinggal. Mengingat di sana tadi stok kantong mayat sudah habis dan tidak mungkin menunggu lama untuk membawa jenazah ke rumah sakit. Namun, kali ini aku merasa lebih tenang, tidak sepanik tadi. Ya, setidaknya aku sendirian dalam mobil ini sekarang. Tanpa ditemani para jenazah. Diri ini harus membiasakan diri dengan hal di luar logika.
Sesampainya di Jalan Cempaka, perempatan jalan aku melihat ada seorang gadis yang melambaikan tangan pada mobil ini. Ada apa keperluan wanita jam segini? Tak tahukah kalau ini mobil pengantar jenazah? Tanpa pikir panjang, aku menghentikan laju mobil.
“Ada yang bisa aku bantu, Mbak?” sapaku.
“Mmmmmhmmhmmhmmm.” Dia menunjuk pohon randu di seberang sana. Pohon besar yang gelap.
Aku menggaruk kepala, mengapa wanita ini berbicara tidak jelas? Wanita cantik ini apakah dia bisu? Kuperhatikan detail tubuhnya yang semampai, membuat jiwa jomlo ini sedikit meronta-ronta. Kalau dia bukan istri orang, bisa kujadikan pacar. Namun, tidaklah sopan menanyai status wanita yang tidak dikenali.
“Maaf, Mbak. Aku gak paham apa yang dikatakan. Mbak mau ngajakin duet lagu Nissa Sabyan yang hmmhmm itu?” Aku menggodanya dengan niat agar ia mau berbicara. Masa iya dia bisu dan bisa bebas berkeliaran di malam hari.
Kali ini ia menunduk dan mungkin menyadari kalau aku memang tidak mengerti apa yang ia katakan. Namun, tangan kanannya terus menunjuk pohon randu gelap itu. Dari matanya terlihat sangat antusias ingin memberitahukan sesuatu padaku.
“Mbak mau ngajakin aku ke sana? Ke pohon randu itu?” Aku membesarkan bola mata.
Ia mengangguk. Aku langsung menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata wanita ini tidak benar, masa ngajak pemuda ke semak belukar yang ada pohon besar? Mau ngajak******kayaknya. Untunglah imanku masih kuat, tidak semudah itu diajak wikwik sembarangan. Walaupun cantik, tapi dia bukan wanita baik. Sungguh aku kecewa, langsung patah hati seketika. Kecantikannya hanyut di mataku. Bagaikan tai yang lewat di sungai.
“Maaf, Mbak. Aku memang punya nafsu, manusiawi. Tapi, maaf seribu kali maaf aku bukan lelaki hidung belang. Mbak wanita malam? Jangan pernah menghentikan mobil ini lagi. Bisa baca gak? Ini mobil jenazah, bukan mobil pribadi yang sedang cari bookingan cewek.”
Aku memaki-makinya penuh emosi. Ia hanya menatap dengan tatapan dingin dan kebencian. Tanpa permisi lagi, aku langsung pergi meninggalkannya seorang diri di tepian jalan. Memang sejak malam sampai subuh adalah jamnya para wanita malam. Mereka biasanya berdiam di depan hotel dan di bar. Namun, entah mengapa wanita itu tadi bisa berdiri di depan jalan. Mungkin, ia tak kebagian job malam ini, sampai nekat begitu.
***
Hari ini aku merasa tidak enak badan. Sepulang dari bertemu wanita aneh itu, aku langsung tidur. Ketika terbangun kepala sudah pusing sekali. Rasanya seperti mau demam. Mungkin Pak Agung tahu kalau aku akan sakit, makanya dia melarang untuk kembali menjemput mayat. Memang akan sakit kalau habis bertemu orang halus, kata orang sih begitu. Kecuali, bagi yang sudah terbiasa.
Setelah minum obat, aku kembali merebahkan tubuh. Semoga bisa segera sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa. Pekerja sosial seperti kami harus kuat fisik serta mental. Tidak boleh lemah dalam keadaan apa pun. Baru istirahat sejenak, jam sembilan pagi gawai berdering. Dengan rasa malas aku pun terpaksa bangkit.
“Selamat pagi. Ada kepentingan apa?” tanyaku langsung karena memang ini nomor asing yang belum jelas tujuannya apa.
“Mas, tolong datang ke perempatan Jalan Cempaka sekarang. Ada jenazah yang harus dibawa ke rumah sakit,” jawabnya dari seberang sana.
“Maaf sebelumnya, ini dengan siapa dan dapat nomor ini dari mana?” Tak etis sebenarnya pertanyaanku barusan, tapi aku hanya penasaran.
“Saya Edi, pemilik warung bakso perempatan jalan. Tadinya saya menelepon Beni, katanya dia sibuk. Dia memberikan nomor kamu.”
“Baik, Pak. Aku segera ke sana.”
Oh, ternyata Pak Edi itu sudah lama kenal Beni. Sepertinya juga mereka sering berkomunikasi, mungkin kalau ada apa-apa atau kecelakaan daerah sana, ia akan menghubungi Beni untuk mengambil mayat.
Aku segera berangkat, walaupun kondisi tubuh sedang tidak baik. Belum lagi ada rasa mual yang tak henti-hentinya bergejolak dalam lambung. Aku tak berani ngebut, takut membahayakan orang lain di jalanan. Ngebut itu butuh konsentrasi dan mata yang fokus. Tak berselang lama, aku pun sudah sampai lokasi. Memang sangat ramai sekali orang dan polisi. Beberapa wartawan juga tampak meliput berita.
“Akhirnya, Mas sampai juga. Saya Edi,” sapanya. Rupanya ia sengaja menungguku di depan sini. Kendaraan juga padat susah untuk dilewati.
“Baik, Pak. Namaku Vino, sopir pengantar jenazah yang baru.”
“Tunggu sini aja, Mas. Nanti lima menit lagi polisi yang akan membawa mayatnya ke dalam mobil jenazah. Soalnya pelaku pemerkosa korban belum ditemukan.”
“Memangnya ada apa kasusnya, Pak?”
“Tadi malam terjadi pemerkosaan dan pembunuhan gadis bernama Via. Mayatnya dibuang di bawah pohon randu sana dalam keadaan tel*njang bulat. Kondisinya sangat mengerikan, pemerkosa itu mematahkan rahangnya agar ia tidak bisa berontak dan bersuara, bibirnya hancur. Aku sudah melihat mayatnya tadi, kami yang menemukannya. Aku langsung menelepon adikku yang merupakan seorang polisi.”
Aku menelan ludah, sangat mengerikan sekali kejadiannya. Tak terbayang betapa tersiksanya ia sebelum meninggal dunia. Mengapa banyak wanita yang jadi korban kejahatan seksual? Si pemerkosa bukanlah manusia lagi. Jiwanya iblis.
“Gadis itu cantik dan baik. Langganan makan bakso di sini, saya ada fotonya. Kebetulan, saya punya album khusus untuk para pelanggan bakso. Mau lihat?” tawarnya.
“Boleh,” jawabku.
Pak Edi mengeluarkan album tebal yang banyak sekali berisi foto orang sedang duduk sambil makan bakso di warungnya. Aku baru tahu kalau ada penjual bakso yang mengabadikan wajah para pelanggannya.
“Ini fotonya, cantik,” tunjuk Pak Edi.
Aku mengusap mata berkali-kali agar tidak salah lihat. Hasilnya tetap sama, orang yang ada dalam foto itu adalah wanita yang tadi malam menghentikan laju mobil ini. Berarti aku salah sangka, dia bukan wanita malam. Arwah wanita itu datang untuk meminta bantuanku, ia terus menunjuk arah pohon randu tempat mayatnya ditemukan pagi ini. Tubuhku bergetar, rasa bersalah merambat hingga ujung kaki. Ya Allah! Dia tidak bisu, memang tidak bisa berbicara lagi karena rahangnya telah dipatahkan oleh si pemerkosa.
“Mas? Mas?” panggil Pak Edi.
Bersambung...
Jangan lupa subscribe biar dapat notifikasi. Minta komentar dan love juga yaa buat part2 cerbungnya. Makasih