Bagian 1
WANITA DALAM RENGKUHAN (SUAMIKU)
Oleh: d_g
Bagian 1
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂

"Sayang!" Panggilan dari arah kamar itu membuatku menoleh. Terdengar suara Mas Rozi, tapi belum terlihat batang hidungnya. Tanpa menjawab, aku kembali menekuri bumbu yang akan kuhaluskan. Biarlah, dia tahu ke mana harus mencariku.

"Ah, ternyata kamu di sini." Suaranya terdengar di ambang pintu.
Kemudian, dia mendekat, melingkarkan kedua tangganya di pinggang ini. Embusan napasnya hangat menerpa tengkuk.

"Masak, apa?" tanyanya kemudian. Disandarkannya kepala itu pada bahuku, sembari mengecup pipiku bertubi-tubi.

"Ih, Mas. Jangan kayak gitu, geli tau." Kupaksa kepalanya menjauh, sebab risi dengan sikapnya seperti itu.
"Duduk sana, aku bikinin kopi," perintahku yang dituruti olehnya.

Kuambil gelas, mengisinya dengan kopi dan gula sebelum menuang air panas. Kuicip terlebih dulu sebelum menyerahkan padanya.

"Makasih, Sayang," ucapnya saat segelas kopi itu sudah berpindah di depannya.

Pagi yang selalu di awali dengan pelukan darinya, membuatku dilingkupi rasa bahagia. Sebagai istri, tentu hal seperti itu pula yang selalu diharapkan, bukan? Bahagia dan menjadi wanita satu-satunya dalam biduk rumah tangga. Sayangnya, itu hanya berlaku saat pagi saja. 

Rumah menjadi sepi saat Mas Rozi berangkat kerja. Sementara aku hanya bersantai saja di rumah, tanpa teman juga aktivitas lainnya.

Bosan hanya diam saja, kukirim pesan untuknya.

[Nanti pulang nggak, Mas?]

Dua garis abu-abu terlihat di sana. Mas Rozi Online, tapi belum membukanya.

[Kalau pulang, bawain martabak, ya.]

Satu pesan lagi kukirimkan dan masih bernasib sama.

Kuletakkan ponsel di meja makan. Mencari bahan di kulkas untuk mempraktikkan resep yang kemarin sempat kusimpan dari IG. Beginilah keseharian yang berulang terus menerus setiap hari. Dari kasur, dapur dan kasur lagi. Bosan.

Aku rindu seperti dulu, kerja sebagai karyawan disalah satu pusat perbelanjaan. Namun, lagi-lagi Mas Rozi melarang. Dia lebih memilih menyembunyikan aku di sini.

Ponsel di meja bergetar, menandakan ada pesan masuk di sana. Segera kubersihkan tangan yang terkena adonan kue. Lalu, meraih benda pintar tersebut.

[Pagi, Sayang. Gimana hari ini? Bisa keluar?]

Senyumku mengembang kala membaca pesan darinya. Segera kuketik pesan balasan.

[Pagi juga. Seperti biasa membosankan. Jemput sekarang, ya.] 

Tak lama dia membalas dengan stiker berbentuk jempol. Aku pun segera berlari menuju kamar, berganti pakaian. Akhirnya, bisa bebas dari kebosanan ini.

Saat sudah selesai bersiap, kuraih ponsel dan menatap layarnya sekilas. Ada pesan dari Mas Rozi di sana.

[Nggak, Sayang. Malam mungkin pulangnya.] 

Tanpa mengirim balasan, kumasukkan benda pipih tersebut ke dalam tas. Kemudian, aku menuju teras untuk menanti jemputan. Tak lama yang ditunggu pun datang. Aku berdiri dan berjalan ke arahnya.

"Udah lama nunggu, ya?" tanyanya setelah aku masuk, duduk di sebelahnya.

"Baru beberapa menit aja, kok. Langsung jalan aja, ya," pintaku yang diangguki olehnya.

"Suami aman?" tanyanya sembari fokus ke depan. Kuacungkan jempol ke hadapannya. Lalu, kami tertawa bersama. Ah, indahnya jika ada yang bisa diajak bersenang-senang seperti ini.

Tiga puluh menit kemudian kami sudah sampai di tempat tujuan. Hari ini kami berencana makan dan menonton. Sebelum turun dari mobil, kumatikan ponsel terlebih dahulu, lalu menyimpannya. Aman.

Layaknya sepasang kekasih, kami bergandengan dengan saling mengumbar senyum. Sesekali kusandarkan kepala di bahunya. Menikmati kenyamanan yang bahkan jarang kudapat dari Mas Rozi.

"Mau makan dulu apa nonton?" tanyanya saat sudah sampai di tempat yang dituju. 

"Nonton dululah, Sayang. Abis itu baru makan. Ntar kalau abis makan terus nonton malah ngantuk lagi." Aku menatapnya dengan tersenyum, sedang dia yang terlihat gemas mengacak-ngacak rambutku.

"Yuk!" ajaknya setelah membeli tiket. Entah film apa yang dia pilih, aku hanya menurut saja.

Film yang diputar bergenre roman, menceritakan tentang cinta segitiga. Meski mencoba tak peduli, nyatanya adegan demi adegan itu begitu menyentilku. Ah, kenapa malah seperti melihat cerita sendiri.

Perlahan kualihkan pandangan dari layar ke arah Doni, orang yang selama ini menemaniku. Dia tersenyum, tanpa sedikit pun merasa tersindir. Dibelainya rambut ini dengan perlahan, membawaku dalam dekapan.

"Kita akhiri saja, Na. Mumpung belum jauh,” ucapnya di dekat telingaku.

“Nggak, Don. Aku nyaman sama kamu,” sanggahku.

Kami sama terdiam menatap layar besar di hadapan, sampai film itu selesai diputar. Perlahan mereka berbaris meninggalkan ruangan, sementara aku dan Doni masih terjebak di sini. Kami memilih keluar paling belakang.

Tak lagi seperti saat datang, aku dan Doni merasa canggung. Meski tangan tak lepas bertaut.

“Makan dulu apa langsung pulang?” tanyanya kemudian.

“Terserah kamu,” jawabku. Lalu, dia menarikku untuk masuk kesalah satu tempat makan. 

Masih dalam diam, kami menikmati makanan yang tersaji hingga tandas. Kemudian, Doni mengajakku pulang.

“Kita akhiri saja, Na. Aku nggak mau seperti ini terus,” ucapnya memecah keheningan dalam perjalanan pulang.

“Kita sudah terlanjur jauh Don. Aku nggak bisa,” sahutku. Bagaimana bisa mengakhiri, jika rasa nyaman itu sudah tumbuh di sini. Hati.

“Tapi, Na. Ak—“ Aku memotong ucapannya lebih dulu, sebelum Doni semakin jauh menasihatiku.

“Baru lihat gitu aja, udah mau nyerah. Dasar! Garangan lemah!” ketusku yang membuatnya menatap tajam.

“Ngomong sekali lagi. Aku culik kamu dari Rozi,” ancamnya. Membuat kami seketika tertawa.

Cinta pada dasarnya entah seperti apa? Bermula dari apa? Namun, menurutku cinta itu bermula dari perhatian, kemudian beralih pada rasa nyaman.

Aku merasa nyaman dengannya, meski dia hanya sebatas pacar gelap. Pada rasa nyaman inilah akhirnya aku mulai berani membohonginya, suamiku. Jika ditanya cinta, tentu aku sangat mencintai Mas Rozi. Namun, ada hal yang tak dia punya pada diri Doni.

Kami sampai rumah masih terbilang sore. Biasanya menjelang petang aku dan dia akan pulang. Sebab kejadian tadi membuat suasana hati kami menjadi buruk. Lalu, memutuskan untuk pulang.

Tanpa basa-basi, aku langsung keluar dari mobil dan masuk ke rumah. Doni bergegas pergi setelah membunyikan klakson beberapa kali.

Kulempar tas ke ranjang, lalu memutuskan untuk mandi. Bersiap menyambut lelakiku pulang.

Selesai mandi, aku menuju dapur. Melanjutkan adonan yang tadi sempat kubuat. Mencoba kembali fokus dengan resep semula.

Tepat saat Mas Rozi pulang, kue yang kubuat selesai dipanggang. Aku menyambutnya di depan pintu, dengan baju yang terlihat berantakan di sana-sini akibat terkena tepung.

“Wah, hari ini bikin apa lagi? Kayaknya seru banget, sampai belepotan gitu,” ucapnya sembari mengusap pelan puncak kepalaku.

“Biasa coba-coba resep baru,” jawabku. Lalu, kami berdua masuk menuju dapur.

Beginilah caraku menyambutnya ketika pulang kerja. Terlebih, jika aku dan Doni baru saja jalan. Mas Rozi tak akan curiga kenapa ponselku mati. Karena dia akan mengira aku sibuk bereksperimen dengan resep baruku.

“Mau makan atau mandi dulu, Mas?” tanyaku saat meletakkan segelas air di hadapannya.

“Mandi dululah, Sayang. Gerah banget.” Setelah menenggak minum tersebut, dia terlihat asyik dengan ponselnya. Aku melirik sekilas, kemudian berlalu membereskan cucian bekas membuat kue.

Terdengar langkah Mas Rozi menjauh. Kemudian, kuambil ponsel yang tersimpan di saku celana, mengecek percakapan mereka. Sebagai istri yang mulai curiga dengan suaminya, aku menyabotase WhatsAppnya. Dari situlah rahasia besarnya terungkap.

Tak salah bukan, jika dia bermain api, lalu kubalas juga. Biar tak hanya hangat, tapi panasnya merata.

Kehangatan rumah tangga yang dulu tercipta, kini tampak hancur di berbagai sisi. Bukan sebab tak lagi memiliki rasa cinta. Namun, karena salah satu pelakunya bermain api.

 Tetap rapi, tanpa memperlihatkan sisi yang retak. Sebab, pelakunya juga lihai menutup dengan kebohongan. Jika memang hangus, maka hancurlah bersama api kebohongan.

____


Komentar

Login untuk melihat komentar!