Malam Pertama
Rama melangkah pelan menaiki tangga menuju kamar pengantinnya. Dia  sedari tadi tersenyum-senyum sendiri tanda dia sangat bahagia dengan pernikahan ini. 
 
Ketika seorang pamannya menunjukkan foto gadis yang sedang tersenyum manis itu sebulan yang lalu Rama langsung mengiyakan untuk menerima perjodohannya. Tanpa basa basi dan bermodal keyakinan gadis itu dibesarkan dengan baik Rama langsung melamarnya dan menggelar pesta pernikahan yang sangat meriah.
 
Lalu di sini lah pria itu berada, di depan kamar pengantinnya untuk menghabiskan malam pertamanya sebagai suami, malam pertama di mana tanggung jawab dan kewajibannya untuk melindungi, mengayomi serta menyayangi gadis itu berpindah ke tangannya.
 
Jantung Rama berdetak tidak karuan, dia pun merasa seperti seorang gadis yang sangat gugup entah harus berkata apa dan bersikap bagaimana. Meski usia Rama lewat tiga puluh tahun dan bukan pernikahan pertamanya dia tetap gugup. Dia hanya sibuk dengan karirnya dan tidak ingin menjalin hubungan dengan wanita lain. Hanya dengan Ashiqa ia melabuhkan hatinya pun tanpa proses pacaran.
 
Rama mengetuk pintu lalu membukanya perlahan. Dia membayangkan sosok gadis yang tengah menunggunya di ujung tempat tidur dengan senyum malu-malu pula. Bibir Rama masih melengkungkan senyum itu namun berubah seketika saat ia melihat Ashiqa istrinya berdiri di sudut kamar masih dengan gaun pengantinnya dan menangis sesegukan. 
 
Rama menelan ludah sungguh ini di luar  dari bayangannya. Dia bingung tetapi  harus tetap menanyakan kepada istrinya apa yang terjadi.
 
 “Ashiqa, kamu menangis?” tanya Rama dengan lembut. Bayangan malam pertama semanis madu dipenuhi senyum bahagia memudar di kepalanya.
 
“Apa aku terlihat sedang tertawa?” jawab Ashiqa dengan ketus sambil mengusap air matanya. Rama memandangi istrinya dia tersenyum geli bahkan dengan wajah merengut dan mata sembab seperti itu istrinya terlihat cantik, imut dan menggemaskan.
 
“Ouh maaf … apa yang membuatmu menangis Sayang?”  Rama mendekat dan ingin melihat wajah Ashiqa lebih dekat.
 
“Pertama, jangan panggil aku Sayang. kedua, kau adalah orang yang paling kejam di muka bumi ini, kamu gak ubahnya Datuk Maringgih yang menawan Siti Nurbaya Karena hutang ayahnya. Ketiga, jangan mimpi bisa menyentuhku meski kau adalah suamiku!”
 
Mata Rama membulat ia terkejut dengan apa yang di dengarnya barusan lalu dia tertawa dengan keras, Datuk maringgih terdengar sangat lucu di telinganya. Ashiqa menggeram sambil memelototi suaminya, Rama yang merasa tawanya justru menambah kemarahan gadis itu akhirnya memelankan tawanya dan berdehem agar geli di dalam hatinya terhenti.
 
 “Ehheemm … begini Ashiqa Putri Rumaisha, yang pertama kau adalah istriku wanita pertama yang mampu merebut hatiku dan sanggup membuatku mengakhiri masa duda dengan perasaan bahagia, sehingga aku menyayangimu dan memanggilmu Sayang. kedua, ayo lah coba lihat aku, tinggiku 185 centimeter, kulitku tidak putih tapi tidak gelap juga, umurku baru  tiga puluh dua tahun, kata orang wajahku tampan menawan bahkan ada yang bilang aku mirip Evan Sanders  sama sekali tidak mirip dengan Datuk Maringgih. Kesepakatan bisnis antara aku dan ayahmu itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita. Aku menyukaimu dan orang tuamu merestui lamaranku. Yang ketiga, aku bukan tipe laki-laki pemaksa Ashiqa, aku menghormati dirimu dan percayalah aku adalah laki-laki yang sabar untuk bisa menunggu hatimu terbuka untukku.”
 
Kini gantian Ashiqa yang menelan ludahnya ia terkejut dengan respon Rama suaminya, ia mengira Rama adalah pria yang dingin, angkuh dan keras. Bahkan Ashiqa dalam waktu sebulan ini bukan mempersiapkan mentalnya sebagai istri tapi ingin berperang melawan Rama yang dianggapnya telah memperdayai ayahnya hingga dia bisa dinikahi Rama.
 
“Ganti bajumu aku melihat kau sudah kepayahan berjam-jam memakai gaun yang berat itu. Oh yaa maaf aku gak bisa tidur di sofa aku gak suka jika bangun pagi badanku sakit semua. Jadi aku akan tetap tidur bersamamu di tempat tidur tapi jangan khawatir aku tidak akan melakukan itu padamu sekarang. “ Rama tersenyum jahil ke arah Ashiqa yang masih tertegun dengan dandanan yang acak-acakan.