Ratu Drama
Kota kecil ini, meski telah ditelan malam, tetap saja terang. Sinar lampu benderang di sepanjang jalan. Kendaraan masih hilir mudik menciptakan keramaian. Mirip seperti ibu kota negara, yang konon katanya tak pernah tidur. 

Begitu kami memasuk komplek perumahan Winar, suasana ramai itu masih terasa. Tak jauh dari rumahnya, ada sebuah kedai kopi yang selalu ramai pengunjung. Tempat berkumpulnya para bapak-bapak yang kekurangan tempat hiburan, juga tempat melarikan diri dari kecerewetan para istri. Mereka masih asyik main domino hingga pukul tiga dini hari. 

Ema memarkirkan mobil di depan sebuah rumah kosong, yang hanya berjarak satu rumah saja dari istana adikku itu. Kami turun dan berjalan kaki ke sana. Mobil pajero putih sudah nangkring di depan garasinya. Pertanda dia sudah pulang dari jalan-jalan bersama anak menantunya.

Suara tawa dan cekikikan terdengar jelas. Winar sepertinya sedang berbahagia setelah beberapa hari kesepian ditinggal cucu. 

"Oi, Winaaaaar! Berderai-derai tawa kau di rumah, ya!" sorak Ema di teras. Suaranya yang besar, menggelegar bagai menggunakan toa mesjid.

"Senangnya hati kau, Winar! Sedang amak kau berderai-derai tangisnya di rumah sakit!" teriak Ema sekali lagi. Aku berdiri di dekat pagar, memerhatikan sekitar. Tetangga Winar yang tengah asyik ngobrol bersama keluarga di teras, menghampiri kami.

"Apa tu heboh-heboh, Uni?" tanya Wanita berdaster kupu-kupu itu. Aku membalasnya dengan senyuman. Ema datang menghampiri.

"Ini ha, Si Winar ...."

"Eh, Uni Ema, Uni Des, kapan datang?" Belum sempat Ema bercerita, wajah Winar muncul dari balik pintu rumahnya.

"Banyak basa basi kau, Winar!" sela Ema. Wajah sepupuku itu mirip artis-artis pemeran tokoh antagonis. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh ejekan. 

"Eh, kenapa pula Ema datang marah-marah ini. Udah malam. Masuklah," ajak Winar dengan tutur kata yang lembut gemulai. Aku serasa mual melihat gayanya. Coba kalau tidak ada tetangga yang melihat, keluar itu isi kebun binatang dari mulutnya karena diperlukan Ema seperti ini.

"Sudahlah. Ndak usah banyak cerita lagi, Nar." Giliran aku yang angkat bicara.

"Cepatlah kau datang ke rumah sakit. Dah penat aku menghibur Amai, tak juga berhenti tangisnya."

"Astaghfirullah. Amaaai. Kenapa Amai, Ni?" teriaknya histeris. Ya Ampun, pandai kali adikku ini mendramatisir keadaan. Kalau ada sutradara yang melihat aktingnya, bisa direkrut dia ini jadi artis.

Ema memandangnya dengan muka datar. Aku menonton dengan geli. Adikku itu meraung-raung saat kubilang Amai dirawat. Padahal dia sudah tau. 

"Ya Allah, gimana Amai sekarang keadaannya, Uni? Kenapa Ni Des ndak mengabari sejak tadi?" 

Aih. Dia melempar kesalahan padaku. Padahal sudah berkali-kali kuhubungi sejak tadi, tapi tak diangkatnya.

"Eh, jangan pura-pura ndak tau pulak kau, Winar. Kan aku sudah mengabari kau tadi sore!" bentak Ema kesal.

"Masak iya, Ema? Bohong kau, ndak?" balas Winar lugu. Darahku mendidih dibuatnya. Sedang Ema, mukanya merah macam kepiting rebus dipersalahkan begitu. 

"Coba kau dengar ini, kurekam suara kau waktu menjawab teleponku tadi!" 

Ema mengeluarkan ponselnya, lalu memutar suara percakapan yang disimpannya.

'Suruhlah Ni Des, Ma. Aku lagi makan sama Nilam di Mol. Besoklah aku ke sana.'

Mati kartu Winar dibuatnya. Aku tak menyangka kalau Ema sampai terniat membuat rekaman begini. Tetangga-tetangga makin ramai berdiri di depan rumah. Mungkin mereka pikir kehebohan ini karena ada maling yang tertangkap. Padahal ya si Winar maling juga. Me-maling-kan perhatian dari Amai yang menyayanginya.

Dengan muka tertekuk menahan malu. Winar masuk ke rumah. Lalu tak berapa lama, ia keluara lagi bersama suaminya. 

"Ayoklah kita ke rumah sakit sekarang," ucapnya dengan muka masam dan cemberut. Suaminya diam, tak menyapa kami sama sekali. Laki-laki satu itu memang dari dulu terkenal takut bini. Jika Ema melarangnya untuk menyapaku, maka itu benar-benar akan dilakukannya. Padahal dulu akulah yang membantunya supaya bisa membujuk Apak untuk menerimanya sebagai menantu.

Tetangga satu per satu meninggalkan halaman setelah kujelaskan bahwa tak ada peristiwa mendesak apa pun yang sedang terjadi. 

Ema tersenyum puas saat Winar akhirnya mau berangkat malam itu juga menjenguk Amai. Meski pelit, dia ternyata berguna untuk hal-hal seperti ini. Keberaniannya itu patut kuacungi jempol. Besok akan kubuatkan kalio jengkol kesukaan Ema, karena sudah membantuku memarahi adikku.

Winar dan suaminya naik ke mobil. Setelah menghidupkan mesin mobil, mereka pun pergi tanpa bertanya di rumah sakit mana Amai dirawat. Memang kemarahan mudah sekali menelan logika berpikir orang-orang. Dia malu  bertanya saking kesalnya, sebentar lagi dia akan kebingungan, karena lupa menanyakan keberadaan Amai.
***
Telepon ku berdering berkali-kali. Ema juga. Kami melihat nama pemanggil yang tertera di layar ponsel masing-masing. Winar dan Anwar ternyata. Ema menggeleng, mengisyaratkan agar aku tak mengangkat.

Nilam ke luar bersama suami dan bayinya.
"Etek, mama nanya di rumah sakit mana Amai dibawa?" tanya Nilam memecahkan keheningan di antara aku dan Ema.

"Bilang sama si Winar, suruh dia tanya sendiri ke sini." Betul-betullah si Ema ini, tak henti dia mengusili Winar.

"Tapi kan mama sudah jauh, tante," jawab menantu kesayangaan Winar.

"Jauh tu kalau jalan kaki, Nilam. Ini pakai mobil. Ber-AC pula. Tak akan terasa waktu lima belas menit untuk kembali ke mari," bantahku cepat. Wajah Nilam berubah tak senang, tapi cepat ia berhasil menguasai.

"Eh, Nilam, apa kabar duit akikah kemarin tu?" Kulik Ema. 

"Dah habis, Tente. Gak ada lagi," jawabnya dengan kepala tertunduk.

"Eh, kok bisa gitu?" suara aku dan Ema serentak menanggapi.

"Dipakai mama untuk bayar angsuran mobil."

Terkuak rahasia. Tega sekali Winar menggunakan uang hadiah cucunya itu untuk kepentingannya sendiri.

"Terus, kenapa balik lagi ke sini? Sementara katamu ndak bahagia tinggal serumah sama Winar," ucap Ema.

"Gimana lagi, Tante. Mama memohon-mohon minta Nilam pulang lagi ke sini. Ndak tega pula rasanya." Aih, tak kuduga. Bisa juga wanita itu memohon macam pembunuh yang sebentar lagi akan dieksekui mati. Besok, Winar pasti akan berbohong, bahwa Nilam lah yang menangis-nangis minta dijemput oleh Ical.

Mobil Winar berhenti di depan teras. Ia mendatangiku dan meminta tempat dirawatnya Amai. Kuberikan selembar kerta itu kepadanya. Sudah kusiapkan sejak dari rumah sakit tadi.

"Eh, Ni Des. Aku mau pulang lagi. Dah malam. Ni Des naik mobil Winar aja, ya." Ucapan Ema barusan merontokkan tulangku. Pulang bersama Winar akan memperpanjang ocehannya. Ia pasti akan menghakimiku di mobil sendirian.

"Eh, tak payahlah. Aku nanti naik ojek di depan sajalah," tolakku.

"Naiklah, Uni. Biar sekali jalan," tawar Winar kepadaku. Jarang-jarang dia membolehkan aku naik ke mobilnya. Aku berjalan dengan pasrah. Membuka pintu tengah dan duduk diam di sana hingga mobil berangkat.

Benar saja dugaanku. Winar langsung menoleh ke belakang dengan wajah tak senang.

"Hebat uni, ya! Sengaja mempermalukan aku dengan membawa Ema si gila itu!"


Komentar

Login untuk melihat komentar!