Durhaka


Habis sudah kesabaranku menghadapi saudara kandung yang satu ini. Bertahun-tahun aku memendam amarah, hanya karena tak ingin ibuku sedih melihat kami bertengkar.

Tapi malam ini rasanya ingin kumuntahkan semua kekesalan ini di hadapannya. Peduli setan dengan perasaannya. Toh, dia tak pernah memikirkan perasaanku dan Ibu.

Ibuku sudah renta, delapan puluh tahun umurnya. Sudah sakit-sakitan. Buang air besar saja di kasur karena sudah tak sanggup lagi bergerak. Karena itulah adikku itu mengantar Ibu ke sini. Padahal baru dua hari saja Ibu menginap di sana.

“Uni, titip Amai di sini sehari, ya. Besok pulang dari Padang, kujemput lagi.” 

Selalu begitu alasannya. Walaupun keesokan harinya sudah pulang, ia tak akan datang menjemput Ibu hingga hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Menampakan batang hidungnya untuk sekedar membawakan goreng pisang pun tidak. 

Dia tahu aku ini janda miskin. Untuk makan sehari-hari saja susah. Sehingga setiap harinya aku harus bekerja mencuci dan menggosok kain ke rumah-rumah tetangga. Dari pagi sampai sore. Apa tidak terpikirkan olehnya siapa yang akan menemani Amai selama aku tinggalkan di rumah? Sedangkan dia hanya IRT yang hanya fokus mengurus keluarga kayanya. Ya Allaah, nyeri hatiku mengingat kelakuannya.

Masih kuingat bagaimana dulu Ibu memperlakukan kami berbeda. Ya, kami hanya dua bersaudara. Jadi perlakuan berbeda itu sangat kentara. Begitu sakit terasa.

Ibu dulu tak pernah mau sekedar singgah ke rumahku. Padahal beliau tau, di sini juga ada cucu-cucu yang merindukan kasih sayang seorang nenek.

Saat datang dari kampung, beliau akan menginap di rumah Winar, adikku. Sebagai anak, tentu akulah yang wajib menyambangi beliau ke sana. Tapi sungguh perlakuan tak mengenakan yang kuterima.

Saat sampai di sana, adikku, suami dan anak-anaknya sedang tertawa sambil membuka bungkusan sate. Begitu juga dengan Ibuku. Kebetulan aku membawa si bungsu yang berusia enam tahun. Mereka membiarkan aku menunggu di luar tanpa menawarkan barang satu suap pun. Pun Ibu, tampak acuh, tak memedulikan anakku yang mulai merengek karena mencium aroma sate. Nyeri hati ini rasanya. Apalagi teringat waktu itu kami belum makan karena suamiku belum pulang dari bertukang.

Pernah juga semasa gadis dulu, Ibu memarahiku karena memakai baju Winar tanpa izin. Tapi saat aku memarahi Winar yang memakai bajuku diam-diam, Ibu malah balik memarahiku.

Banyak lagi perlakuan tak mengenakan lainnya yang beliau berikan kepadaku. Tapi di saat tua begini, aku berusaha ikhlas merawatnya. Walaupun susah untuk lupa kejadian demi kejadian di masa lalu.

“Kau jangan mengontrak terus. Malu aku. Cuma kau saja yang miskin di keluarga kita. Itu sepupu-sepupumu sudah punya rumah sendiri semuanya.

Kini justru si miskin inilah yang memandikan Ibu setiap hari, mencuci baju, menceboki dan menyuapi Ibu. Pontang panting banting tulang pagi petang sambil berusaha merawat Ibu tanpa menyakiti hatinya.

“Na, emas yang Amak simpan di bawah kasur yang di kampung itu, diambil Winar. Katanya untuk DP beli rumah anaknya,” ucap Ibu terbata.

Dadaku langsung menggelegak dibuatnya. Itu emas yang beliau tabung untuk pergi umrah. Tega sekali Winar mengambilnya. Walaupun dia bilang itu pinjaman, tapi takkan pernah dikembalikannya sampai kapan pun. Coba kalau Ibu memberiku sedikit saja emas itu, tentu bisa kami belikan beras beberapa karung. Kenapa adikku yang kaya itu tak berhenti serakah?
***

Ini sudah hari ke sembilan sejak ia menitip Ibu di sini. Jangankan wajahnya, baunya pun tak lewat di depan rumah ini. Ibu setiap hari bertanya, kenapa anak dan cucu kesayangannya itu lama tak singgah di sini?

Karena kasihan, berdua dengan si bungsu yang masih SMA, kubonceng Ibu ke rumah Winar. Ya Allah, sedang ada acara rupanya di sana. Jangankan mengundang, sekedar memberitahu pun tidak. Menggenang air mata di pelupuk mata Ibu. 

Kulihat  ada ucapan “selamat akikah” untuk cucunya yang baru lahir sebulan yang lalu.

Amarah rasanya sudah sampai di ubun-ubun. Ingin kumaki-maki ia di depan orang ramai. Mengutuknya jadi batu agar orang tahu betapa durhakanya si Winar yang pandai bermulut manis itu.

Aku menyuruh anakku memegang neneknya. Tepat beberapa meter di depanku, si Winar berdiri mematung dengan wajah pucat. Kepanikan jelas tercetak di mukanya. 
“Durhaka kau, Winar. Durhakaa...” Teriakku keras sambil menunjuk-nunjuk mukanya. Tak peduli lagi aku pada tatapan orang-orang.



Komentar

Login untuk melihat komentar!