Kemarahan yang Tertahan
Arman menelan ludah susah payah. Dia tahu istrinya sakit hati, dan itu karenanya. Dengan dada berdebar, ia menyaksikan video itu hingga selesai. Kedua tangannya terkepal di atas paha. Menahan gejolak emosi yang membara. Andai saja ia tak sedang dalam kesepakatan dengan sang istri, pasti ia segera menemui perempuan itu dan memarahinya. 

Cara perempuan itu sungguh tak elegan. Sangat jauh dengan istrinya yang kalem. Tapi dia sudah terjebak pada permainan wanita itu. Ia mencoba******hatinya. Benarkah masih ada cinta untuknya. Atau hanya perasaan sesaat karena nostalgia. Entahlah. Semuanya masih samar. Ia nggak paham dengan perasaannya sekarang. 

Mudah saja baginya untuk memutuskan hubungan dengan cinta pertamanya itu setelah kejadian ini. Namun ia tak bisa. Terlalu rumit dan beresiko. Karena bukan dirinya yang akan menanggung akibatnya. Nama keluarga dan perusahaan dipertaruhkan. 

Ia menggeram dalam hati. Menyesali pertemuannya dengan wanita itu. Menyesali telah menyetujui ajakannya untuk makan bersama waktu itu. Andai tahu akan seperti ini efeknya. 

Tanpa sadar ia memukul-mukul kepalanya. Ia lupa ada bidadari hati di sampingnya. 

"Apa kamu menyesal dengan keputusanmu, Mas?" 

Arman menoleh. "Tidak!" ucapnya tegas. Meski dalam hati ia mengatakan 'ya, aku sangat menyesal'. "Sudahlah, nggak usah dipikirkan. Bukankah kamu memberiku waktu sebulan? Kalau aku gagal, aku tidak akan jadi menikah lagi." 

"Kuharap dalam waktu sebulan ini kamu bisa berpikir jernih, Mas. Lakukan istikharah untuk memilih jalan terbaik." Amira menatap sendu suaminya. "Meski sebenarnya, aku tidak setuju dengan permintaanmu itu, aku tetap tidak akan menghalanginya."

"Amira, aku tidak bermaksud menyakitimu. Percayalah!" Arman menggenggam tangan Amira untuk meyakinkan. "Ini semua demi keselamatan keluarga kita."

"Apa maksudmu, Mas? Apa terjadi sesuatu yang aku tak tahu?" Amira berusaha untuk bangun. Memastikan apa yang didengarnya. Tapi tubuhnya masih lemah. Ia tak sanggup untuk melakukannya.

"Ti--tidak ada apa-apa, Sayang. Nggak dipikirkan." Arman gelagapan. Tak menyadari dengan ucapannya. 

"Mas, kamu menyembunyikan sesuatu dariku? Apa sekarang aku sudah tak berarti lagi bagimu?"

Arman menyugar rambutnya frustasi. Bukan begitu maksudnya. Ia hanya tak ingin membebani istri dan keluarganya. Ia ingin memastikan dulu semuanya. Masih ada waktu 28 hari ke depan untuk menyelesaikan. Ia juga bersyukur karena Amira meminta syarat waktu sebulan. Dan itu, bisa ia gunakan untuk menyelesaikan masalahnya. Semoga.

***

Arman tak bisa konsentrasi bekerja. Pikirannya bercabang kemana-mana. Ada beberapa berkas yang belum dia baca. Karena sebelum tanda tangan ia harus membaca dengan teliti berkas-berkas itu agar tidak ada kesalahan. 

Suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasinya. Ia tahu siapa yang mengetuk pintu. Pasti sahabat sekaligus asisten pribadinya. 

Benar saja. Bagas masuk membawa map yang disodorkan padanya. Arman menerimanya tanpa membuka lebih dulu. 

"Gimana, Bro, apa masalahnya sudah selesai? Sepertinya kusut banget kek baju nggak diseterika!" ucap Bagas sambil terkekeh.

Ketika hanya berdua begini, Bagas memang tidak berbicara formal dengan Arman yang merupakan bosnya. Itu atas permintaan Arman sendiri. 

"Amira sakit. Sekarang masih dirawat di rumah sakit," lirih Arman. Tatapannya kosong. 

Bagas menghembuskan napas lelah. Nggak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya ini. Bisa-bisanya ia termakan rayuan manis perempuan yang sudah menyakitinya itu. 

"Apa kamu tidak curiga dengan kedatangan mantanmu yang tiba-tiba itu? Dan ... " Bagas menggantungkan kalimatnya. Berpikir sejenak apakah ia harus mengatakannya atau tidak. 

"Dan apa? Kalau ngomong yang jelas, jangan membuatku penasaran!" 

"Yakin kamu mau dengar ini?"

Arman melempar Bagas dengan pulpen yang dipegangnya. Namun pria itu dengan gesit dapat menangkapnya. 

"Katakan! Jangan membuatku kesal!" 

"Iya, iya. Kemarin aku melihat Vender."

Arman melotot. Berarti penglihatannya kemarin di lampu merah benar. Itu adalah Vender. Lelaki yang kabur bersama Melly saat pernikahannya tinggal menghitung hari. Ia tak tahu, siapa yang harus dipercaya saat ini. Melly yang mengatakan sudah pisah dengan kelaki itu atau fakta bahwa lelaki itu tak mungkin kembali ke negara ini tanpa alasan yang jelas. 

"Kemarin aku juga melihatnya. Kupikir aku salah lihat."

Kini gantian Bagas yang terbelalak. Dia pikir sahabatnya belum tahu. Dia beringsut mendekati bosnya. Duduk di kursi tepat yang ada di hadapannya dengan mencondongkan tubuh ke depan. 

"Apa mungkin ini ada hubungannya dengan perempuan itu?"

Arman berpikir sejenak. Memijit kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. 

"Telepon Panji untuk menyelidiki masalah ini. Aku ingin semua informasi tentang kedua orang itu masuk dalam waktu satu minggu!" perintah Arman yang langsung diangguki Bagas. 

Dengan cekatan, Bagas menekan tombol telepon dan segera membicarakan perintah bosnya. 

"Beres!" ucapnya sambil mengacungkan jempol. 

Mereka akhirnya membicarakan proyek besar yang sedang ditanganinya saat ini. Melupakan masalah yang sedang dihadapi Arman untuk sementara waktu. Dua jam berlalu. Mereka menghabiskan waktu untuk berdiskusi masalah pengembangan perusahaan. 

Tepat pukul 11.30 saat diskusi selesai pintu terbuka tanpa diketuk. Suara ketukan high heels memenuhi ruangan berukuran 4x5 meter itu. Arman dan Bagas menoleh bersamaan. Keduanya memasang ekpresi dingin melihat siapa yang masuk tanpa izin. 

Arman tak menghiraukan kedatangan perempuan itu. Ia segera bangkit meraih gagang telepon. Memencet nomor 1 yang langsung terhubung pada sekretarisnya.

"Apa kamu lupa dengan pesanku?" ucap Arman dingin. Ia paling tak suka pesannya diabaikan. Apalagi oleh bawahannya.

[Maaf, Pak. Dia memaksa masuk. Saya sudah melarang tapi dia bilang sudah ada janji sama Bapak]. Suara di seberang sana terdengar ketakutan. 

Arman menghembuskan napas lelah. Tatapannya memicing tak suka melihat kedatangan Melly. Saat Bagas bangkit dan hendak keluar, ia mencegahnya. 

"Kamu tetap di sini, Gas. Jangan biarkan aku berbuat dosa karena hanya berduaan dengan perempuan yang bukan mahramku!" 

Melly mendelik kesal mendengar ucapan Arman. Namun hanya sesaat. Ia langsung mengubah ekspresinya menjadi semanis mungkin. Ekspresi yang tidak natural. Terlihat sekali dibuat-buat. 

Dengan gaya yang dibuat anggun, ia mendekati Arman dan duduk di sebelahnya. Spontan Arman menggeser tubuhnya hingga menempel pada Bagas yang hanya mengamati dua sosok itu sambil menahan tawanya. 

"Kenapa datang kemari? Apa belum jelas yang saya katakan waktu itu?"

"Kok gitu sih, Yang. Calon istri datang bukannya disambut dengan senyuman malah diketusin. Aku kan kangen," ucap perempuan itu berusaha meraih tangan Arman. Tapi pria itu menghindar. 

Bagas menatap jijik perempuan itu. Caranya merayu sahabatnya membuat perutnya mual. Sangat murahan. Entah apa yang merasuki sahabatnya hingga bisa terjebak oleh perempuan ular ini. Dia saja yang lelaki normal, merasa jijik melihat kelakuan perempuan ini. Sama sekali tak menggambarkan akhlak seorang perempuan muslim yang harus menjaga kehormatannya. 

"Bukankah aku sudah bilang, jangan menemui atau menghubungiku selama sebulan ini kalau mau dapat izin dari Amira, kenapa kamu nggak bisa ngerti, sih?" Arman sudah tak sanggup lagi menahan emosi. Suaranya naik satu oktaf hingga membuat perempuan ini terlonjak dari duduknya.

"Aku nggak butuh izin perempuan itu, Mas! Aku nggak peduli dengannya. Kalau kamu nggak mau menikahiku, jangan salahkan aku kalau keluargamu hancur!" teriak wanita itu. Rencananya untuk merayu Arman kandas sudah. 

Mendapat penolakan di depan pria lain membuat egonya terluka. 

"Kamu lupa aku punya sesuatu yang bisa menghancurkan keluarga dan perusahaanmu ini, Mas?" bisik perempuan dengan make up tebal ini di telinga Arman. Lalu bangkit dan pergi meninggalkan Arman dengan muka merah padam.



Komentar

Login untuk melihat komentar!