Keluarga Bahagia?

Pukul tiga dini hari, Orly keluar dari kamarnya. Ia melangkah menuruni tangga, mengambil gelas dan botol air mineral dari dalam lemari es kemudian duduk di ruang tamu.
Orly termenung. Ia menatap bingkai foto yang terdapat di dinding rumahnya. Sebuah foto keluarga. Dirinya, Bastian, Angel dan juga Angela. 
Sebagai wanita, ia dapat terlihat nyaris sempurna. Karir yang ia jalani sebagai seorang presenter di sebuah televisi swasta sedang berada di puncak-puncaknya. 
Pernikahan yang ia miliki tentu saja membuat orang mengira ia penuh kebahagiaan. Hal itu sering membuatnya tertawa sendiri. Kebahagiaan? Apa benar ia memilikinya?
Di mata orang, menikah dengan salah seorang aktor ternama tentu merupakan keberuntungan yang luar biasa.
Namun, di sinilah ia sekarang. Berada di rumah, ditemani oleh para asisten rumah tangga. 
Sudah hampir satu minggu ia tidur sendiri. Bastian entah tidur di mana. Tanpa kabar. Ia hanya melihat suaminya dari sinetron layar kaca. 
Dua orang putri kembarnya, ia masukan ke asrama putri bergengsi. Orly tak tahu, apakah ia harus bersyukur bahwa anak-anaknya berada jauh dari rumah atau tidak. Karena jika dilihat dari usia, mereka masih sangat kecil untuk jauh dari orang tua.
Orly sengaja tidak beranjak dari ruang tamu. Ia berharap hari ini Bastian pulang dan mereka dapat bertemu. Berbagai acara di teve kabel, ia putar untuk mengusir rasa kantuk. 
Tak lama, suara pintu gerbang berderik sampai ke telinganya. Sebuah mobil masuk ke dalam garasi. Orly segera membukakan pintu. Ia yakin yang datang itu adalah suaminya. 
Namun, ia tak pernah tau apa yang akan ia terima. Setelah sekian lama tidak pulang, Bastian datang dalam keadaan mabuk. 
"Istri nggak tau diri!!!" maki Bastian saat melihat Orly dari balik pintu.
Berbagai kata-kata kasar terus terdengar mengiringi pukulan keras mendarat di pipi kiri Orly yang tak sempat menghindar. Rasa panas menjalar ke seluruh bagian wajahnya. Pipinya terasa berdenyut dan perih. Pandangannya berkunang dan kepalanya pening. Konsentrasinya terhisap. Tubuhnya limbung. Orly jatuh terduduk.
"Skandal apa lagi yang kau buat, HAH??? Kau pikir aku nggak akan tau kelakuanmu di luar sana???" bentak Bastian yang sibuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
Wajah Bastian memerah. Pengaruh alkohol membuat emosinya berlipat ganda. Ia menyambar gelas beling yang berada di atas meja kemudian melemparkannya ke arah istrinya. Orly berusaha bangkit dan menghindar. Namun, kembali ia kalah cepat. Gelas itu mendarat tepat di keningnya.
Orly menyapu cairan merah yang mulai mengalir agar tidak menghalangi penglihatannya. Ia berusaha bangkit saat melihat Bastian mendekatinya. Orly berusaha berjalan secepat mungkin hingga ia tak peduli dengan pecahan gelas yang terinjak olehnya.
Bastian tak tinggal diam. Tangannya menyambar tubuh Orly dengan cepat dan membuat wanita itu kembali terjatuh. Bastian menghampiri Orly. Ia membuat wanita itu merangkak mundur hingga tersudut di tembok. Bastian berjongkok di depan Orly kemudian mencengkeram erat kedua pipi Orly dengan tangan kanannya dan memaksa Orly menatap wajahnya.
"Pejabat mana lagi yang menjadikanmu wanita simpanannya saat ini? HAH???" hardik Bastian lagi.
"JAWAB!!!"
Orly menatap tajam ke arah Bastian. Darahnya bergolak, akibat tercampurnya rasa marah dan benci. 
"Bicaramu ngaco, Bastian!" jawab Orly dengan suara pelan, tetapi penuh penekanan. Tak terdengar rasa takut sama sekali di sana.
"Apa??? Ngaco katamu?" ucap Bastian sambil mencengkeram wajah Orly lebih kuat.
"Denger ya, Orly. Tanpa kamu menikah denganku, kamu hanya akan menjadi pembaca berita tengah malam yang cuma ditonton oleh dedemit dan sebangsanya!"
Orly tetap menatap Bastian. Dalam hatinya berkata bahwa dirinya tak boleh menjadi wanita lemah di hadapan siapa pun. Satu yang pasti, saat ini ia harus menyelamatkan diri. Namun, kemana perginya semua tenaga yang ia miliki?
"Sekarang, sudah punya program televisi sendiri, dan masih merasa kurang? Masih cari laki-laki lain yang lebih tajir? Kau benar-benar wanita serakah, Orly," lanjut Bastian dengan nada penuh ejekan.
"Lepas, Bastian!"
Orly memegang pergelangan tangan Bastian yang mencengkeram dengan kedua tangannya. Ia mencoba berontak.
"Kau memang cantik tapi ada yang perlu kamu tau, Orly. Kecantikanmu nggak cukup untuk mempermainkanku," ejek Bastian yang makin kuat mencengkeram wajah Orly.
Bastian melihat ke lantai, ada tetesan darah yang mengalir dari telapak kaki Orly. Ia tahu pecahan gelas yang menancap di kaki sebagai penyebabnya. Bastian mencabut pecahan gelas itu dengan tangan kiri, membuat Orly meringis. Lalu Bastian memperlihatkan pecahan gelas itu di depan wajah Orly.
"Mungkin tak cukup hanya kakimu saja yang terluka. Bagaimana dengan wajahmu? Akan kubuat luka yang panjang dan lebar di pipi kanan dan juga pipi kirimu. Kita lihat, apakah kamu masih laku menjadi wanita simpanan sana sini?"
"Kau sudah gila, Bastian!!! LEPAS!!!" 
Bastian menatap Orly sambil tersenyum sinis. Ia sangat menikmati suasana seperti ini. Tak ada lagi istri angkuh yang menghantui harga dirinya. Saat ini, Orly takluk tak berdaya di hadapannya.
"KAU GILA, BASTIAN!!! Kau sudah melampaui batas!!!" maki Orly sambil menendang perut Bastian dengan kencang.
Bastian terjatuh. 
Orly sekuat tenaga bangkit. Orly menjauh dari Bastian secepat mungkin dengan menahan rasa sakit pada kakinya.
"Perempuan SIAL!!! Mau ke mana kau???"
Bastian bangkit dengan tubuh terhuyung. Saat ini, Orly terlihat lebih dari satu di matanya. Bastian kembali melempari Orly dengan benda-benda yang ada di dekatnya.
"Bu. Ayo cepat, Bu," ucap Bik Mar bergantian dengan Bik Sum.
Dua asisten rumah tangganya yang tertidur pulas di kamar masing-masing terbangun, mereka sedari tadi menyaksikan dari bawah tangga. Tanpa diminta, mereka segera membantu Orly berjalan menuju kamar atas.
Sopir yang dari tadi terdiam di depan pintu, menghampiri Bastian. Mencegah Bastian yang ingin mengejar Orly.
"Lepaaaas, Jun. Biar aku habisi perempuan yang telah mencoreng wajahku itu!" bentak Bastian pada sopirnya yang bernama Jun.
"Pak. Sadar, Pak. Istirahat aja dulu, Pak," ucap Jun.
"Heh, Orly!" panggil Bastian sambil berkecak pinggang.
"Lebih baik kita buat masalah kita menjadi lebih sederhana. Kau cukup menandatangani surat cerai yang sudah aku berikan. Jadi aku tak perlu menanggung malu lagi atas segala perbuatanmu di luar sana," teriak Bastian. 
Kemudian tak ada suara lagi dari Bastian yang terdengar. Karena tubuh sempoyongannya kini rebah di atas sofa. Bastian telah menyerah pada pengaruh alkohol yang ada di tubuhnya.
Orly menghentikan langkahnya yang dipapah oleh kedua asisten rumah tangganya. Ia menoleh ke arah Bastian yang telah tertidur.
'Bercerai? Silakan bermimpi tentang itu, Bastian. Aku nggak akan pernah menandatangani surat itu. Karena aku nggak sudi kamu berbahagia dengan wanita selingkuhan yang telah mengubahmu jadi sekasar ini padaku. Aku akan mencari tau siapa dia, dan membuatnya mendapat perlakuan yang sama, seperti semua perlakuan yang telah kau berikan padaku,'  batin Orly berucap.
Orly kembali berjalan menuju kamar sambil menahan rasa sakit yang kerap berulang. Namun, rasa sakit itu tak lagi mampu membuat air matanya berlinang.
******

Jangan lupa love, komen & berlangganan ya.

Komentar

Login untuk melihat komentar!