Sebelum lanjut baca mohon subscribe author, ya. Jangan lupa like dan komen juga.
***
Hari nyaris petang, tetapi suamiku belum juga pulang. Berkali-kali kutelepon tidak dijawab. Selang beberapa menit, suara motor memasuki teras. Gegas kubukakan pintu. Namun, setelah melihat suamiku membuka helm, raut wajahnya masam. Perlahan ia masuk rumah dan langsung membanting tas di kursi.
"Kenapa, Mas?" tanyaku sambil mengambil tas.
"Itu Yanti minta kiriman uang, katanya TV-nya Bapak di kampung rusak. Minta dikirim uang buat perbaiki. Nggak tau apa kalau kita di sini lagi susah. Uang, uang, terus!" jawabnya penuh emosi.
"Ya, kalau gitu jelasin aja keadaan kita di sini. Toh, kita juga nggak mengada-ada, kok. Emang beneran keuangan kita lagi nggak stabil. Bukannya bulan kemarin juga baru minta kiriman?"
Suamiku berdecak dan makin kesal. "Ya, udah, kamu aja yang kasih tau."
"Lah, kok aku Mas? Nggak enak, kamu aja yang kasih tau."
Aku mengambil segelas air putih dan menyodorkan pada Mas Hakim. Setelah ia meneguk hingga tandas, mulai kubahas tentang adiknya di kampung. Adik iparku itu memang selalu begitu. Setiap bulan ada saja alasannya agar kami mengirimi uang. Apalagi bila sudah mengatasnamakan orang tua, suamiku tak bisa menolak.
Karena merasa risi dengan sikap suamiku yang uring-uringan, kuberanikan menelepon Yanti untuk memberi tahu keadaan kami yang sebenarnya.
"Halo, Mas Hakim. Gimana, Mas? Kapan uangnya dikirim?" tanyanya di seberang mengira kalau yang menelepon adalah kakaknya.
"Ini aku, Susi. Maaf, cuma mau kasih tau aja kalau Mas Hakim belum bisa kirim uang karena belum gajian. Di sini juga lagi banyak kebutuhan."
"Oh, Mbak Susi. Aku kira Mas Hakim. Ya ampun, Mbak. Masa minta uang lima ratus ribu aja nggak bisa? Ini bukan buat aku, lho. Ini mau perbaiki TV yang rusak, kasian Bapak nggak bisa nonton," jawabnya sewot.
"Iya, Dek. Aku ngerti, tapi tolong kamu juga ngertiin keadaan kami di sini."
"Ah, dasar pelit! Aku minta kiriman uang sama Mas Hakim, kok. Bukan sama kamu. Kalau sama Mas Hakim pasti dikasih. Dasar ipar pelit! Mau kuasai uang kakakku, ya!" bentaknya emosi.
Seketika aku diam sambil menelan ludah. Berkali-kali kuhela napas panjang seraya menenangkan diri. Kemudian, kuserahkan ponsel ke arah Mas Hakim. Setelah ia berbicara, yang kudengar hanya kata iya. Seolah-olah suamiku mengiakan permintaan adiknya.
Aku sudah paham betul sifatnya, pasti ia tak bisa menolak kemauan adiknya dan memilih untuk berjanji manis. Lagi-lagi aku yang jadi sasarannya. Harus mengorbankan sebagian jatah bulananku untuk dikirim ke kampung.
"Pasti kamu iyakan. Terus kita mau dapat uang dari mana, Mas? Kita ini baru nikah juga butuh beli perabotan. Mana rumah juga masih nyewa. Kalau gini terus kapan kita mau punya barang? Dikit-dikit adikmu!" rutukku kesal.
"Udahlah, diam aja. Jangan bikin aku tambah pusing. Lagian juga aku yang cari uang, kok."
"Aku tau kamu yang cari uang, tapi tiap kali kirimin adikmu juga ngurangi jatah belanjaku. Ujung-ujungnya aku bon di warung Bik Sami. Malu, Mas, bon terus," tandasku.
"Ah, aku pusing!" Mas Hakim berteriak sambil meremas rambutnya.
Secara diam-diam kukirim pesan singkat pada adik iparku. Memberi tahu jika butuh sesuatu minta saja padaku karena hanya diriku yang tahu kondisi keuangan. Namun, Yanti justru memakiku. Ia terus-terusan mengatakan bahwa aku ini istri pelit, tak mau berbagi pada keluarga suami. Astaga!
Usai salat Magrib, Mas Hakim memanggil dan mendudukkanku di kursi. Wajahnya seketika merah. Dadanya pun tampak naik turun.
"Kamu SMS apa sama Yanti?" bentaknya.
"Aku nggak SMS apa-apa, kok, Mas."
"Jangan bohong kamu. Ini buktinya!" Mas Hakim menjambak rambutku lalu menunjukkan ponselnya tepat di depan wajahku.
Tampak SMS yang kukirim pada Yanti dikirim ulang ke suamiku. Sungguh pengadu domba.
"Maksudmu apa?" Mas Hakim masih menjambak rambutku sambil memperlihatkan isi pesan dariku.
"Sakit, Mas," rintihku.
Mas Hakim tetap enggan melepaskan jambakannya. Ia semakin marah dan menarik rambutku lalu mendorong kepalaku ke tembok dengan sangat keras.
Hatiku sangat sakit. Lelehan di sudut mata pun mengalir deras. Baru dua bulan mengarungi bahtera rumah tangga sudah dihadapkan dengan persoalan seperti itu. Bagi pengantin baru pada umumnya mungkin sedang menghabiskan waktu bersama suami tercinta untuk membangun istana kecilnya.
Namun, tidak bagiku. Usia rumah tangga yang seumur jagung harus rela berbagi dengan keluarga suami. Bukannya pelit, jika ada uang lebih pasti ingat mereka. Tidak harus setiap bulan memeras bak sapi perah. Kami juga butuh dana untuk menyicil perabotan.
Lagi pula mertuaku pensiunan pegawai negeri, pastinya mempunyai gaji. Yang lebih anehnya, beliau jika butuh sesuatu tidak pernah meminta secara lagsung pada Mas Hakim. Selalu saja melalui perantara Yanti. Itu yang membuatku semakin kesal. Saking jengkelnya aku menjuluki iparku itu si Juru Bicara.
Terkadang hatiku sangat dongkol jika nomor Yanti menghubungi Mas Hakim. Tiada yang lain selain minta kiriman uang. Tak pernah sekali pun menelepon untuk menanyakan kabar. Pasti selalu uang, uang, uang, dan uang.
Namun, tak bisa sepenuhnya Yanti disalahkan, tetap suamiku juga yang salah. Mas Hakim tak pernah tegas dalam menyikapi adiknya. Selalu menuruti segala permintaan tanpa melihat keadaan keuangan keluarganya. Jadi, menurut iparku kami memiliki banyak uang.
Setelah mengiakan permintaan Yanti, iparku itu selalu menelepon untuk memastikan kapan uang dikirim. Meski Mas Hakim berkali-kali mengatakan menunggu gajian, iparku tetap saja menanyakan hal yang sama. Karena merasa seperti diteror, suamiku pun langsung mencari pinjaman.
"Mas, pinjam berapa?" tanyaku sembari melirik amplop putih yang berada di tangan suamiku.
"Tujuh ratus."
"Kok, banyak sekali, Mas. Yanti, kan, mintanya lima ratus," protesku.
"Biar nggak minta uang lagi." Mas Hakim mengambil kunci motor lalu bergegas keluar. Sepertinya akan mengirimkan uang pada adiknya.
Setelah Mas Hakim pergi, ponselku tiba-tiba berdering. Saat kucek ternyata telepon dari Yanti.
"Mbak, ada Mas Hakim? Aku telepon, tapi nggak diangkat."
"Mas Hakim barusan keluar. Emang ada apa?" tanyaku malas.
"Kapan mau kirim uangnya? Bapak udah nanya-nanya terus."
"Tunggu aja, Mas Hakim lagi pergi kirimkan uangnya," jawabku.
Tanpa menyahut ucapanku, Yanti langsung mematikan sambungan telepon. Ah, dasar! Ipar menyebalkan.