Tiga puluh menit kemudian, Mas Hakim datang. Wajahnya seperti orang yang kelelahan. Ia menaruh topi ke kursi kayu panjang dengan helaan napas berat.
"Udah dikirim, Mas? Barusan Yanti telepon nanyain terus."
"Udah," jawab Mas Hakim lesu.
"Aku minta maaf, ya, atas perlakuanku tadi sama kamu. Soalnya aku pusing banget. Orang di kampung juga nggak ada pengertiannya. Dikira kita di sini enak-enakan," lanjutnya seraya duduk.
"Iya, Mas, nggak apa-apa. Coba Mas sekali-sekali ngomong sama Bapak atau Yanti, jangan keseringan minta. Kalau ada lebih pasti aku ingat mereka, kok," sahutku dengan nada berhati-hati. Tak ingin menyinggung perasaan suamiku.
"Tapi aku susah banget ngomongnya. Apalagi kalau udah dibilang Bapak yang minta. Aku serasa hutang budi sama beliau. Bapak yang urus anak-anaknya sendirian. Setelah Mamak meninggal pas aku kelas tiga SMA, keadaan ekonomi keluargaku morat-marit," jelas Mas Hakim.
Seketika aku terdiam. Tak tahu harus berbicara apa lagi pada suamiku. Ya, aku bisa merasakan betapa berat berada di posisinya. Sebagai anak sulung yang harus menanggung ketiga adiknya.
"Dulu perjuangan Bapak bukan main sampai aku bisa jadi pegawai seperti ini. Pinjam uang kanan-kiri demi bisa lolos pegawai. Tes berkali-kali di kampung nggak lolos, akhirnya aku ikut ke sini sama Om Anwar. Alhamdulillah nasibku tembus pegawai di sini." Terdengar suara Mas Hakim menarik napas panjang lalu mengembuskan secara kasar.
Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Mas Hakim. Yang bisa kulakukan hanyalah menenangkannya. Tak ingin membuat pikirannya semakin kalut.
***
Hari Minggu telah tiba, Mas Hakim berencana mengajakku pergi ke pantai. Ya, lumayan untuk menghilangkan rasa penat selama seminggu mengurus pekerjaan rumah.Apalagi belum memiliki momongan, rasa bosan di rumah semakin terasa. Tak ada hiburan.
Saat sedang bersiap-siap pergi, tiba-tiba ponsel Mas Hakim berdering. Tak tahu telepon dari siapa. Setelah mengecek HP-nya, suamiku segera keluar. Tampak ia menerima telepon di bawah pohon jambu mete yang berada di seberang jalan depan rumah. Sepertinya suamiku sedang serius berbicara dengan seseorang. Ah, mungkin teman kantornya.
Setelah semua beres, Mas Hakim tak kunjung datang. Kulihat ia masih menerima telepon di bawah pohon jambu mete. Lama kelamaan suamiku itu bergeser tempat. Semakin menjauh dari rumah. Perasaanku sudah tak keruan. Sempat rasa cemburu menghinggapi pikiran. Astaga! Segera kutepis rasa curigaku. Aku tak boleh posesif.
Cukup lama menunggu, suamiku akhirnya datang. Wajahnya seketika berubah drastis. Tak semringah seperti awal menerima telepon.
"Kenapa, Mas? Tadi telepon dari siapa?" tanyaku penasaran.
"Yanti." Mas Hakim menghela napas dalam-dalam.
Aku pun mendadak lemas jika mendengar nama Yanti. Tak ada yang lain pasti minta kiriman uang lagi. Aku sampai tak habis pikir, mengapa adik iparku itu seperti tak pernah mengerti keadaan kakaknya? Bukankah kemarin sudah dikirimkan uang tujuh ratus ribu? Ke mana uang sebanyak itu? Masa baru beberapa hari sudah habis? Ah, menyebalkan.
"Kok bisa, Mas? Uang yang kemarin masa sudah habis? Mungkin dikira uang kita banyak kali, ya. Mentang-mentang ini awal bulan. Minta jatahnya."
"Katanya buat beli obatnya Bapak. Kemarin uang tujuh ratus itu buat check up sama rontgen. Katanya Bapak kena bronkitis. Batuknya nggak mau sembuh. Makanya minta kiriman uang lagi buat beli obat," jawab Mas Hakim seraya menjelaskan.
Aku hanya diam sambil mencebikkan bibir. Adik iparku itu pintar sekali. Ada saja alasannya untuk meminta uang pada kakaknya. Pasti selalu mengatasnamakan Bapak. Seleraku untuk piknik ke pantai mendadak hilang.
"Tapi, Bapak itu, kan, pensiunan, Mas. Pasti punya BPJS. Belum ada seminggu, lho, Mas, kita kirim uang. Masa iya mau minta kiriman lagi. Mau makan apa kita di sini?"
"Iya, aku tahu, tapi tolong kamu ngerti keadaan keluargaku. Meskipun Bapak pensiunan pegawai negeri, utangnya banyak. Berkali-kali kredit bank buat Tono daftar polisi, tapi gagal. Belum lagi habis bangun rumah yang baru karena rumah lamanya dijual murah." Mas Hakim berusaha memberi pengertian padaku.
Aku tak menyahut sama sekali ucapannya. Percuma. Selalu saja aku yang disuruh mengerti, sementara keluarganya di kampung tak pernah mengerti keadaanku. Dikiranya aku tinggal ongkang-ongkang kaki menikmati gaji kakaknya. Padahal, jungkir balik cari pinjaman demi mengirimi uang pada keluarganya.
Awal nikah juga gajinya tidak utuh alias sudah dipotong angsuran bank untuk dikirimkan pada orang tuanya. Resepsi pernikahan pun seluruhnya biaya dari keluargaku. Uang hasil amplop tamu juga masih dikirim ke adiknya. Kurang apa lagi aku? Kurang mengerti yang seperti bagaimana? Kalau terus-terusan seperti ini bisa mati berdiri.
Bukannya tak mendukung suami yang ingin membalas budi pada orang tuanya, tetapi kalau seperti ini caranya namanya ATM berjalan. Ah, kenapa aku harus ditakdirkan berjodoh dengan Mas Hakim? Jika tahu akan seperti ini keadaan rumah tanggaku, aku tak akan mau menikah dengannya. Ya, penyesalan memang selalu di belakang.
Kalau saja hubungan keluarga suami denganku baik-baik, mungkin rasa kecewaku tak separah ini. Jangankan menelepon yang membutuhkan pulsa banyak, SMS sekadar menanyakan kabar pun tak pernah. Sekalinya telepon pasti ada maunya. Dasar, parasit!
Sudah sering aku protes pada Mas Hakim, tetapi suamiku malah terkesan membela keluarganya. Akhirnya, aku hanya memilih diam demi menghindari pertengkaran, malu didengar tetangga. Apalagi jika diketahui hanya gara-gara uang. Payah.
"Ayo, kita pergi. Urusan Yanti kita pikir nanti aja." Mas Hakim mengulurkan tangan mengajakku segera pergi.
"Ah, males. Udah nggak selera." Aku langsung masuk ke kamar. Di pantai pun pasti tidak nyaman. Rasa-rasanya ingin sekali kubuang kartu suamiku agar adiknya tak bisa lagi menghubungi.
Belum kering mulutku, ponsel suamiku kembali berdering. Pasti dari si Juru Bicara, tak ada yang lain. Uang, uang, uang, dan uang. Dari dalam kamar terdengar suara Mas Hakim mengangkat telepon. Dugaanku benar, ternyata dari Yanti si biang kerok itu.
"Iya, sabar, Mas pasti usahakan. Kalau udah ada nanti langsung dikirim." Lagi-lagi Mas Hakim memberi janji manis pada adiknya.
Aku di dalam kamar hanya menggumam, tak bisa berkata-kata lagi. Semangatku sekejap sirna. Rongga dadaku serasa kehabisan oksigen. Kepalaku terasa telah dipenuhi dengan kepulan asap.
Selesai berbicara dengan adiknya, aku segera keluar kamar. "Emang minta uang berapa lagi, sih?"
Mas Hakim terkejut mendengar suaraku yang tiba-tiba telah berada di sampingnya.
"Tiga ratus," jawabnya lesu sembari menunduk.
"Kalau kita kirim lagi, apa selanjutnya nggak bakal minta lagi? Jangan sampe sudah dikirim, seminggu lagi telepon butuh uang lagi. Kalau gitu sekalian aja suruh pegang gajimu!"
Sontak Mas Hakim menoleh ke arahku. "Aku ini sudah pusing. Jangan tambah bikin pusing lagi."
"Habisnya gitu, sih. Coba kalau mengerti keadaan kita, tanpa mengemis minta-minta pun aku kasih. Kalau caranya seperti ini, kan, kayak pemerasan. Neleponnya juga ke kamu, bukan ke aku. Berarti selama ini nggak menghargai aku, dong," cerocosku sangat kesal.
Bersambung ....
Jangan lupa like dan komennya, ya