Part 3 : Modus


POV Tayo

Kata orang, cinta ada karena terbiasa. Witing tresna jalaran saka kulina.

Entah perasaan apa dari hatiku yang ada untuknya. Yang jelas, aku ingin selalu bertemu, melihat dan memastikan dia baik-baik saja. Itu sudah cukup. Kadang ada rasa sekedar ingin menemani. 

Ada rasa tidak tega jika melihat Arlani berjalan sendiri dan terlihat selalu sendiri. Padahal aku tahu, dia seorang karateka bersabuk hitam. Untuk melawan preman saja mungkin dia lebih jago dariku. Tapi ada insting diri yang muncul, membuatku merasa butuh untuk menemaninya.

Sepertinya dia masih kesal karena komik yang akan dia pinjam sudah kurebut. Mungkin aku sudah cukup keterlaluan. Mengerjainya memang menjadi hobi baruku yang mengasyikan. Aku suka melihat dia menahan marah dan sedikit memajukan bibirnya. Menggemaskan.

Hari sudah mulai sore. Lani masih asyik menikmati es susu coklatnya sambil membaca sebuah komik. Mungkin hari ini dia tidak ada jadwal berlatih karate. 

Aku juga masih betah di sini. Konyol juga menunggu dia sampai pulang. Hanya agar tahu dia baik-baik saja.

Aku masih berpura-pura membaca. Padahal sebenarnya aku sudah mulai bosan dan bingung mau membaca komik apa lagi di sini. Hufft.

Setelah es coklatnya habis dan selesai membayar, Lani mengambil beberapa komik yang akan dipinjam untuk dibawa pulang. Kemudian mengambil sepeda yang di parkir di sebelah taman bacaan.

"Bareng aja yuk, kebetulan aku juga udah mau pulang," ajakku.

"Sepedaku udah bisa jalan kok, Yo. Gak pa pa aku pulang sendiri aja,” sahutnya sambil tersenyum kecil. 

"Kalau gitu, aku dorong ya sepedanya. Kuantar sampai kosan,” tawarku lagi.

Dia tampak berfikir dahulu sebelum menjawab.

"Oke deh, lumayan ngirit tenaga gak perlu gowes." Dia tersenyum kecil. Sungguh manis.  

Aku bersiap menaiki motor Tigger-ku. Sepeda Lani sudah melaju di depanku. Begitu kecepatannya berkurang, aku dorong sepeda dengan kakiku. Tentu saja aku tidak bisa ngebut untuk mengimbangi kecepatan sepeda Lani. 

Setelah kurang lebih sepuluh menit perjalanan, akhirnya kami tiba di depan rumah kos Lani. Lani langsung turun dari sepeda dan membuka gerbang rumah kos.

"Terimakasih, hati-hati di jalan," ucapnya sambil tersenyum.

"Iya, jangan lupa mandi. Udah sore," ucapku asal. 

"Palingan kamu yang lupa nanti ga mandi," candanya sambil sedikit menjulurkan lidah.

"Hahahaa … “ Tawaku pun terlepas. "Udah ya, pamit pulang dulu. Ingat besok Minggu aku ke sini jam delapan pagi, oke?"

"Eh, tunggu. Ada acara apa ya? Perasaan tadi aku belum janji, deh,” tanya Lani sambil mengerutkan alis.

"Ke tempat mantan pacarku. Mau ngenalin kamu ke mantan pacarku." 

"Haa? Ngenalin sebagai apa? Tunggu, tunggu, sepertinya ada yang aneh disini. Jadi maksudmu apa?" 

Duhh mrepet deh. Bakal kena omel mamih nih, kalau aku pulang kesorean. 

"Boleh aku duduk dulu?" Aku meminta izin untuk duduk di kursi tamu depan kosan. Aku harus menjelaskan sesuatu biar Lani tidak salah paham.

POV Arlani

Menemani menemui mantan pacarnya dan mengenalkanku padanya? Maksudnya apa, coba. 

Aku kemudian membuka gerbang kosan dan menyilakan Tyo untuk duduk di kursi depan rumah kos. Depan rumah kos memang ada beberapa kursi dan dua buah meja. Meja dan kursi tamu itu memang di sediakan untuk tamu baik keluarga atau teman-teman anak kos.

"Mau aku ambilin minum apa?" tanyaku.

"Ga usah, Lan. Tadi juga udah minum jus kok. Masih belum haus lagi," jawabnya.

Aku kemudian duduk bersebrangan dengan Tayo. Aku menunggu penjelasan tentang acara hari Minggu besok. Acara yang menurutku cukup aneh. Seaneh laki-laki yang duduk di seberangku ini.

"Aku kemarin di telpon sama mantan pacarku. Tiba-tiba dia ngajak balikan," ucapnya serius. Kemudian Tayo kembali terdiam. Seolah malas untuk melanjutkan.

"Terus? Apa hubungannya denganku?" tanyaku tak sabar.

"Aku udah males. Maksudku, aku mau ngajak kamu ketemu dia biar dia tahu aku udah punya pacar lagi."

Aku mengerutkan dahi dan menautkan alis tanda masih bingung.

"Maksudku, kamu jadi pacarku sehari aja hari Minggu besok. Nanti aku bayari deh. Mau mie ayam, bakso, atau es campur," lanjutnya terkekeh enteng.

Bukan masalah Tayo mau traktir aku atau gak sebenarnya. Sebagai anak kos, traktiran memang suatu kesempatan untuk menekan pengeluaran keuangan yang cukup mepet. Tapi aku merasa malas berurusan dengan hal yang seperti ini. 

"Kenapa ga ngomong baik-baik aja kalau kamu ga mau balikan?" tanyaku.

"Males aja,” ucapnya sambil menunjukkan ekspresi bete. 

"Udah cari cewek lain selain aku?”

"Ga ada yang mau." 

Pfftt.. Ingin kutertawa tapi takut dosa. Aku langsung menahan tawa geli. Hihihi.

"Apa kamu senyum-senyum?" protesnya sambil ikut menunjukkan eskpresi menahan tawa dan kesal. 

"Gak, gak pa pa. Hahaha … " tawaku. Kemudian menutup mulutku dengan tangan. Sungguh geli waktu dia bilang ga ada yang mau. Menggelitik sekali.

"Udahh diem, donk! Jadi gimana kamu mau kan?" tanya Tyo memastikan.

"Aku ada jadwal latihan, Yo. Maaf ya," jawabku. "Sebenernya aku mau aja sih bantu kamu kalau memang kamu butuh. Tapi maaf ya. Aku hari Sabtu pulang sekolah langsung ke Cilacap, ke tempat sensei-ku buat latihan rutin,” lanjutku menjelaskan.

"Oh, ya udah deh,” ucapnya dengan ekspresi sedikit kecewa. Kemudian Tayo pamit pulang. Dasar laki-laki aneh.

Sampai di kamar kos, aku langsung mengambil baju ganti, handuk dan keperluan mandi lain. Ternyata hatiku sudah lebih bisa tertata dan debaran di dadaku sudah sedikit berkurang dibanding awal-awal bertemu Tayo. Ajaib, semudah itu Tuhan mengurangi rasa dan desir aneh ini. Mungkin karena rasa penasaranku pada Tayo sudah sedikit berkurang.