Aku Arlani, usia tujuh belas tahun. Duduk di kelas XII di salah satu SMA Negeri di kota Purwokerto.
Hobiku berlatih olahraga beladiri karate. Target mengumpulkan piagam juara di kejuaraan karate sudah kudapatkan. Piagam tersebut dipakai untuk mendaftar ke perguruan tinggi negeri, melalui jalur seleksi bibit atlet daerah.
Setiap hari aku harus berlatih mandiri. Seminggu sekali latihan di rumah sensei karate di kota Cilacap. Kadang di hari Senin, aku harus mengejar waktu dari kota Cilacap ke Purwokerto untuk belajar di sekolah.
Kesibukan inilah yang menjadikanku berbeda dengan gadis yang lain. Aku sudah terbiasa bepergian sendiri. Dari Cilacap ke Purwokerto pulang pergi adalah hal biasa. Kadang kalau mudik ke Banyumas, hanya sebentar saja di rumah. Kemudian harus langsung berangkat ke Cilacap lagi. Padahal paginya sudah harus sampai sekolah di Purwokerto. Tentu saja aku tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk bersenang-senang, tertawa dan nongkrong bersama teman-teman.
Atas izin Alloh, jasa pelatih dan sensei, juga doa kedua orang tua, perjuanganku selama kelas XI membuahkan hasil. Aku bisa mendapatkan beberapa sertifikat juara dan predikat karateka terbaik di event kejuaraan tingkat provinsi.
Setelah naik ke kelas XII, aku mulai mengurangi latihan dan kegiatan di karate. Mulai menjalani kehidupan normal seperti anak-anak seusiaku. Bergaul dengan teman-teman, bercanda, jalan-jalan juga berkumpul bersama di tempat nongrong.
Aku kembali datang ke taman bacaan dan warung es campur. Di mana dulu aku sering main setelah pulang dari sekolah.
Suasana di sini sudah sedikit berubah. Koleksi komik di taman bacaan semakin banyak. Warung es campur bertambah luas juga ada menu-menu baru yang disediakan. Anak nongrong semakin ramai dan kompak. Bahkan sebagian dari mereka berasal dari SMA yang sama denganku. Ternyata tempat ini sudah berubah menjadi sejenis 'base camp' mereka.
Aku dengan mudah langsung bisa bergaul dan bergabung bersama mereka. Sebagian dari mereka sudah mengenalku. Termasuk seorang teman lama yang dulu hatiku selaku berdebar jika bertemu dengannya.
Ya, aku lupa atau berusaha melupakan rasa itu selama ini karena fokus dengan latihanku. Dia masih ramai dan heboh jika berkumpul dengan teman-teman. Motor Tigger yang sama miliknya masih diparkir di tempatnya seperti dulu. Senyum dengan gigi gingsul taring Drakula masih menjadi ciri khasnya.
"Hai, apa kabar? Lani Tomboy," sapanya.
"Kabar baik, Tayo Drakula,” jawabku asal.
"Tayo Drakula? Namaku Tyo, Mba,” protesnya.
"Tayo ajalah. Tuh, gigi taringmu masih keliatan mirip Drakula,” seringaiku.
"Hahahaa, dasar Lampir!" Ucapnya enteng disertai tawa khasnya.
"Hei. Baru ketemu udah ngajak gelut,” aku menanggapinya.
"Ampuunnn, Non. Aku gak berani deh sama juara karate," ledeknya. Kemudian dia memanggil salah satu teman, "Gi, Egi ... Serang dia!"
"Apa Yo, Manggil manggil?" teman kami si Egi - seangkatan dan satu sekolah denganku menyahut. Dia yang sedang sibuk dengan bacaannya langsung berdiri dan mendekat.
"Tuh. Serang dia! Sengatan listrik!" Tayo menunjuk ke arahku. Bergaya seperti Satoshi, pemilik pokemon tikus listrik bernama Pikachu.
"Elah, emang aku apaan. Pokemon-mu apah?" Egi menimpali. Menolak untuk berperan sebagai Pikachu.
"Hahhaaa … " kamipun tertawa bersama.
Tingkah aneh mereka memang cukup menghibur. Aku merasa nyaman dengan kekonyolan dan keakraban mereka.
Aku yang sekarang sudah sedikit bisa menata perasaan. Hanya ingin berteman dan menjalani kebersamaan dengan mereka. Dalam hati aku berjanji tidak akan membuka hati dulu untuk hubungan yang lebih khusus. Sampai pada saat yang tepat suatu hari nanti. Entah kapan.
POV Tayo
Entah bagaimna awalnya. Kami jadi sering berkumpul di taman bacaan. Tak jarang kami jalan beramai-ramai di hari Sabtu setelah pulang sekolah.
Lani kabarnya sekarang sudah mengurangi kegiatan karate-nya. Dia jadi sering datang ke taman bacaan lagi. Rasa yang dulu sempat hilang, sekarang kembali muncul.
Gadis bermata sayu itu sedikit berbeda sekarang. Rambutnya sudah terlihat memanjang dan kadang sebagian diikat ke belakang. Dia mulai kelilingi teman-teman dan terlihat akrab dengan mereka. Bukan Lani yang terlihat selalu sendiri lagi. Ada rasa lega di satu sisi hati. Tetapi di dadaku selalu muncul rasa perih jika dia terlihat akrab dengan teman laki-laki lain.
Hari ini Shella - salah satu teman nongrong kami, berulang tahun. Kebiasaan kami anak ABG kalau salah satu teman berulang tahun pasti ada acara makan-makan. Kami diundang ke rumah Shella untuk merayakan ulang tahunnya secara sederhana.
Jarak rumah Shella dengan taman bacaan cukup jauh. Sebagian teman yang membawa motor, sudah memiliki pasangan masing-masing untuk diboncengkan. Entah itu sahabat dekat, gebetan, atau yang sudah berstatus pacaran. Sedangkan aku, nasib jomlo nggak ada yang mau ya gini. Seringnya sendiri.
"Aku pakai sepeda sendiri? Nanti kalau tertinggal jauh gimana, aku ga tahu jalan ke rumah Shella." Lani terlihat sedikit bingung karena pemakai sepeda lain sudah membonceng ke teman yang membawa motor.
"Tuh, Lan. Motor Tyo masih kosong belum ada yang boceng,” kata Egi.
Lani menoleh ke arahku. Rasa berdesir itu datang saat sorot matanya melihatku. Oh, Tuhan kenapa dia sekarang terlihat semakin manis. Dibanding beberapa bulan yang lalu.
"Mboncengin Lampir? Ogaaahh!" Selorohku. Aku hanya menyembunyikan perasaan. Padahal aslinya hati ini susah untuk dikodisikan.
"Ehh, aku juga males kali. Nebeng sama Drakula,” Lani menjawab dengan kilatan kekesalan. Lagi-lagi bibirnya sedikit dimajukan dengan lucu.
"Lampir sama Drakula, cocoklah," komentar Egi asal. Semprul memang tuh anak.
"Hahhahaha … " Sontak teman-teman yang lain terbahak. Sial.
Ah, terpaksa aku harus menahan debaran sepanjang perjalanan menuju ke rumah Shella.
POV Arlani
Akhirnya aku membonceng Tayo sampai ke rumah Shella. Sepanjang jalan aku hanya diam sembari sibuk membaca komik untuk menghilangkan rasa gugup. Juga untuk menjaga jarak tentunya.
Jujur saja setelah lama tidak bertemu dengan Tayo, rasa untuknya belum sepenuhnya hilang.
"Lan?" Tayo memanggil.
"Ya?" Jawabku sambil menutup komik yang aku pinjam di taman bacaan siang ini.
"Lam, Lampir ... Hahahhaa … “ Tawanya renyah.
"Sial!" Makiku kesal sambil memukulkan helmku ke bagian belakang helm Tayo.
"Aduh! Hahaha, bercanda Non!"
"Ga lucu!" Kesalku sambil membuka lagi komik di tanganku.
"Hahhaa," situ, tertawa terus sampai puas. Dasar ngeselin.
"Lan," panggilnya lagi. Kali ini tawanya sudah berhenti.
"Selamat ya, sudah jadi Karateka Terbaik se-Jateng,” lanjutnya.
Aku melirik ke kaca spion. Tanpa sengaja tatapan mata kami bertemu. Aku kembali menunduk dan menyembunyikan desiran aneh yang datang kembali.
"Thank's," Jawabku pelan.
"Gak kerasa kita udah kelas XII ya, bentar lagi lulus," ucapnya. Tumben ngajak ngobrol.
"Iyaa, padahal baru sekarang aku bisa menikmati kebersamaanku bersama teman-teman,” komentarku.
Akhir-akhir ini setelah naik kelas XII memang aku baru sempat bergaul dan menikmati waktu bersama teman-teman. Baru sekarang merasakan asyiknya berteman dan bergembira bersama mereka.
"Sudah saatnya persiapan lanjut kuliah atau kerja," lanjutnya.
"Iya, coba kita kuliahnya masih di kota yang sama kayak sekarang ya. Pasti bakal asyik,” ucapku asal. Sedikit berharap juga kalau kami masih suka berkumpul seperti sekarang kedepannya.
“Udah ada rencana kamu mau ke mana, Yo?" Tanyaku.
"Belum. Kata Mamih, aku disuruh di sini saja. Kuliah yang dekat sama ortu jadi masih bisa bantu-bantu,” jawabnya. “Kalau kamu?"
"Mungkin ke Universitas di Yogyakarta. Mau melanjutkan cita-cita jadi guru aja. Jika Tuhan berkehendak," jawabku riang.
"Senangnya punya cita-cita," ucapnya lirih, dengan ekspresi yang entah. Mungkin dia masih ragu dengan rencananya ke depan.
"Semangat donk!" Kupukulkan tangan ke punggungnya.
"Adoohhh!" Pekiknya.
"Eh, maaf. Kirain gak terlalu keras," seringaiku.
Kami akhirnya tiba di rumah Shella. Disambut riuh ramai teman-teman yang sudah sampai duluan.
"Apaan sih, kok pada ramai?" Tanyaku ke teman-teman.
"Pasangan baru, silakan masuk,” kata Egi mempersilakan kami masuk ke rumah Shella.
Semua mata memandang ke arah kami. Ah, kenapa tadi Tayo menjalankan motornya terlalu santai. Kami sampainya terakhiran dan jadi bahan ledekan teman-teman.
"Apaan sih!" Tayo langsung memukul lengan Egi.
"Hahhaa, aduuh!" Egi mengaduh. Ia mengusap lengannya sambil nyengir.
Aku berusaha cuek dan langsung bergabung dengan teman-teman perempuan. Dasar anak-anak cowok, bercandanya gak lucu banget.