Part 6 : Berharap

POV Tayo

Selesainya dari acara di rumah Shella, kami kembali ke rumah masing-masing. Lani masih memboncengku pulang. Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Memikirkan nantinya jika Lani jadi kuliah di Jogja, sedangkan aku tetap di sini. Teman yang lain juga akan melanjutkan perjalanan hidup masing-masing. 

Hidup memang akan terus berjalan. Mungkin juga nanti Lani akan menemukan laki-laki yang disukainya. Kemudian menjalin hubungan khusus di sana. Huffft. Aku membuang nafas kasar. Mungkinkah aku diizinkan Mamih untuk mendaftar kuliah di Jogja juga? Paling tidak aku bisa merasa dekat dengan Lani. Tapi ada rasa tidak tega untuk meninggalkan Mamih dan adik-adikku di sini. Ah, biarlah Tuhan yang memberi jalan.

Akhirnya kami sampai juga di kosan Lani. Sepeda Lani sebelum berangkat ke rumah Shella dititipkan ke om penjaga taman bacaan. Mungkin besok baru Lani ambil. Sekarang sudah cukup sore, kemungkinan taman bacaan sudah tutup. 

"Makasih ya, Yo,” ucap Lani setelah turun dari boncengan motorku. "Besok ke taman bacaan lagi?"

"Iya. Emm, besok kamu jalan dari sekolah ke taman bacaan?" Tanyaku.

"Iya. Kan sepedaku ditinggal di sana.” 

"Emm, kalau misal pulang sekolah besok aku jemput di depan sekolahmu, gimana?" tawarku. Duh, ini mulut kok ga bisa dikontrol. Asal banget ngomongnya. 
"Maksudku, sekarang kalau siang kan panas banget. Biar kamu gak terlalu kepanasan. Kebetulan aku besok siang pulang sekolahnya kayaknya lebih cepat,” ucapku mencari alasan.

Sedetik, dua detik, tiga detik. Belum ada jawaban yang keluar dari bibir Lani. Mungkin dia sedang memikirkan gimana nantinya jika dia dijemput laki-laki beda sekolah. Padahal suasana sekolah pasti sedang ramai-ramainya setelah bel pulang sekolah. 

"Ga usah repot-repot, Yo. Aku bisa kok besok bareng sama Egi atau Tika,” jawabnya sembari tersenyum.

Egi? Kenapa harus ada nama Egi. Ya, walaupun dia satu sekolah dengan Lani dan satu arah juga kalau ke taman bacaan. Tapi ada rasa nyeri di sisi hati saat gadis itu menyebut namanya. Tidak bisa kubayangkan jika Lani berboncengan dengan laki-laki lain.

"Oh, oke. Sampai ketemu besok ya.” Kupaksakan untuk tersenyum.  

"Iya, jangan lupa belajar. Ganbatte!"
Riangnya sambil tersenyum sangat manis. Tangannya mengepal ke depan memberiku semangat.

"Ossu!" Jawabku sambil menutup kaca helmku. Berharap semoga dia tidak melihat ekspresi saltingku. 
"Masuklah, aku pergi setelah kamu udah masuk,” ucapku lagi.

Lani hanya tersenyum dan mengangguk. Ah, dia memang manis.

"Jangan lupa mandi, tuh udah asem banget badanmu!" teriakku sewaktu Lani masuk ke pintu rumah kos.

"Wek! Kamu tuh yang asem!" Lani mengeluarkan kepala dari pintu dan menjulurkan lidahnya ke arahku.

"Hahhaa! Bye …." Salamku sambil menarik gas motor.

Aku menjadi cukup bersemangat dengan dukungan Lani. Sampai di rumah aku akan mandi yang bersih dan lanjut untuk belajar. 

"Thank's Lani,” gumamku.

POV Author

Lani segera memasuki kamar. Ia langsung membaui baju dan ketiaknya.
"Apa beneran aku bau asem? Perasaan udah pake deodoran deh," gumamnya. 

Di kamarnya, Tyo juga mengendus-endus seluruh badannya. Memastikan apakah badannya asem beneran atau tidak. Kemudian dia langsung masuk ke kamar mandi.

“Mas Tyo ngapain sih senyum-senyum sendiri?” ucap Toni – adik laki-laki Tyo sewaktu mereka menikmati makan malam di meja yang sama. 

“Ah, nggak. Tadi aku inget aja baca komik adegannnya ada yang lucu,” kilah Tyo.

“Bilang aja mas lagi seneng, punya pacar baru. Ya kan, Mas?” komentar Tina – adik perempuan Tyo.

“Hah, gosip dari mana tuh?” 

“Tadi sore pas aku main di tempat Cristy, aku liat mas Tyo mboncengin cewek dari arah rumah mba Shella,” 

“Memang kalau boncengan, mesti pacaran?”

“Ya kan siapa tahu. Mas Tyo kan playboy. Suka gonta ganti pacar.” 

“Kata siapa?”

“Itu dulu mas kan jalan sama Tyas. Terus ganti sama Melly teman sekelasku. Ya kan? Terus tadi mboncengin cewek lain lagi. Yang aku belum kenal.”

“Kapan-kapan aku kenalin,” ucap Tyo datar.

“Nah, kan tuh Mah. Mas Tyo kerjaannya pacaran terus padahal udah kelas XII, bukannya belajar. Ish,” kata Tina sok bijak.

Bu Asty – ibu mereka hanya memperhatikan ocehan anak-anaknya sambil mengukir senyum di bibirnya. Ia sangat bersyukur, ujian keluarga atas meninggalnya sang suami di tahun kemarin telah terlewati. Anak-anak semua bisa terlihat ceria kembali. 

“Kapan-kapan ajak main ke sini, Mas. Kenalin sama mamah,” Bu Asty berkomentar lembut.

“Iya Mih, masih sekedar dekat kok. Tadi siang juga pas main tempat Shella, ramai-ramai sama teman yang lain.”

“Sekali-kali pada diajak main ke sini, Mas. Nanti mamah siapin makanannya biar mamah masakin.”

“Iya, Mih,” jawab Tyo.

Selanjutnya mereka menyelesaikan makan malam dengan kebersamaan yang hangat. Tony yang lebih pendiam lebih banyak mendengarkan keseruan dua saudaranya. Sesekali ia tersenyum menanggapi. 

Setelah membereskan meja makan, mereka kembali ke kamar masing-masing. Kecuali bu Asty yang duduk sofa ruang tengah untuk menonton tayangan sinetron televisi kesukaannya. Tyo duduk disebelah mamahnya yang tetap cantik di usia kepala empatnya. 

Tyo mendekati sang mamih dan memijit bahunya.
“Mamih pasti capek seharian,” ucap Tyo.

“Tumben Mas, mau mijitin mamah. Pasti ada maunya nih.”

“Emm, gak kok Mih. Lagi pengen ngobrol sama mamih aja,” kilah Tyo.

“Ngobrol apa? Masalah cewek?” tebak bu Asty.
Tyo hanya menjawab dengan tawanya. 
“Boleh pacaran, yang penting tahu batasan. Anggap saja proses saling mengenal. Biar faham sifat masing-masing. Apa lagi kalian masih sekolah, harus ngejar cita-cita dulu. Biar gak susah nanti masa depannya,” nasihat bu Asty. 
“Terus inget, Mas. Pacaran itu tidak pasti berjodoh,” lanjut ibu tiga anak itu.

Tyo mendengarkan nasihat ibunya tanpa berkomentar. Dia sedikit merenung, membenarkan nasihat orang tua tunggalnya. Laki-laki itu berharap bisa berjodoh dengan gadis yang disukainya. Saat ini, dia hanya tertarik pada Arlani. Gadis yang selalu membuat dadanya berdebar. Perempuan yang menarik dan membuatnya cukup penasaran untuk mengenalnya lebih dekat. Ditambah ledekan teman-temannya, yang seolah-olah sengaja menjodohkan mereka berdua. Kadang membuat Tyo semakin salah tingkah. Mungkin suatu hari pemuda itu akan mengungkapkan perasaannya pada sang gadis. Entah diterima atau tidak nantinya, Tyo harus bersiap-siap menerima semua kemungkinan jawaban dari Arlani.