Part 4 : Haruskah Menjaga Jarak?

POV Tayo si Tyo

Akhirnya aku sampai juga di rumah. Di depan pintu, Mamih sudah berdiri dengan melipat tangan di depan dada. Ekspresinya menunjukkan kemarahan. Mampus, bakalan kena omel lagi nih. 

"Ga kurang sore Mas, pulangnya?" Ketus Mamih. 

"Iya, maaf Mih. Tadi Tyo ada urusan sama teman sebentar." Kilahku sambil meraih tangan ke tangan kanan Mamih dan menciumnya.

"Teman apa temenan? Besok lagi sampai malam sekalian ya, biar Mamih ga usah bukan pintu buat Mas Tyo," tegas Mamih.

"Maaf ya Mih. Tyo janji deh, ga pulang kesorean lagi,” kilahku.

Sebenarnya gak masalah kalau memang aku ada urusan mendadak. Tapi Mamih harus dikabari dulu kalau pulangnya agak kesorean. Ya namanya orang lupa gak ngabarin, gimana lagi. 

Mamih adalah sosok yang sangat aku hormati dan sayangi. Beliau single parent yang berjuang mengurusku dan adik-adik. Sebagai anak tertua, kadang akulah yang diminta tolong untuk sekedar mengambil stok barang warung kelontong kami yang mulai kosong. Karena hobi suka main, otak jadi sering lupa membawa ponsel sewaktu keluar rumah. Padahal Mamih sewaktu-waktu butuh ambil stok barang untuk warung. Itu yang membuat beliau suka marah-marah. 

Aku masuk ke kamar dan langsung merbahkan diri. 

"Paling kamu yang nanti lupa ga mandi," tiba-tiba bayangan Lani terlintas. Iihh, ngapain sih tuh cewek seenaknya mampir di pikiranku. 

Aku membuang nafas kasar. Sebenarnya alasan ketemu mantan pacar hanya akal-akalan saja. Aku memang sedang mencari kesempatan untuk jalan bareng Lani. Walau memang benar, kemarin Tyas – mantan pacar menelepon dan minta kami balikan. 

Tyas sangat berbeda dengan Lani. Dia memiliki ciri perempuan secara umum. Punya teman-teman geng perempuan, modis, kulit putih cerah dan cantik. Sedangkan Lani ...

Lho, koq aku jadi mikirin Lani lagi sih. Ahh, sebaiknya aku mandi saja. Mungkin dengan diguyur air, kepalaku bisa lebih dingin.

POV Lani

Aku baru selesai mengerjakan tugas sekolahku.

"Akhirnya selesai juga, komik time," dendangku sambil mengambil komik yang masih di dalam tas. Kemudian merebahkan diri di ranjang kamar kos.

Telepon rumah kos tiba-tiba berbunyi. Kemudian terdengar suara ibu kos memanggil namaku. Katanya ada telepon untukku. Aku langsung menuju ruang depan. Kemudian mengangkat gagang telepon.

“Halo, assalamu'alaikum,” 

“Wa'alaikummusalam, Dek,” terdengar suara perempuan di seberang sana. Suara yang kata orang-orang mirip dengan suaraku. Pemilik suara itu adalah mba Rani, sang kakak perempuan, saudara kandungku satu-satunya. Selisih umurnya denganku hanya tiga tahun. Dia sedang menempuh kuliah kedokteraan gigi di salah satu universitas terkenal di provinsi Yogyakarta. 

Sebenarnya, aku memiliki dua sodara kandung. Tapi Alloh lebih menyayangi kakak pertamaku yang laki-laki. Diusianya yang ke 22 tahun, kakak laki-lakiku sudah diambil kembali oleh Alloh. Saat itu dia sedang melanjutkan kuliah di Solo. Sudah nyelesaikan kuliah D-3 Sastra Inggrisnya dengan predikat lulusan termuda. Oleh orang tuaku, disarankan untuk melanjutkan ke jenjang S-1. Ternyata baru sebulan kuliah, Alloh memanggilnya. 

Mungkin karena itu, mba Rani menjadi lebih perhatian dan sering meneleponku. Karena kami sekarang hanya dua bersaudara.

“Ya, mba. Gimana kabar?” tanyaku.

“Alhamdulillah baik, gimana sekolah dan latihanmu?”

“InsyaaAlloh lancar. Aku tiap hari Minggu rutin ke Cilacap latihan di sana. Kalau latihan di sekolah dan mandiri saja, rasanya kurang maksimal,” curhatku.

“Iya, yang penting selalu hati-hati dan banyak berdoa,” nasihatnya.

“Iya Mba. Eh, Mba. Kalau aku dekat sama cowok, menurut mba gimana?” sepertinya, aku harus jujur terbuka pada kakakku satu-satunya ini. Tentu dia lebih berpengalaman tentang masalah ini dibanding aku.

“Dekat? Maksudnya pacaran?” tanyanya. 

“Emm, bukan. Maksudku, menurutku dia menarik aja sih. Masih biasa aja teman biasa,” jawabku bingung menjelaskan.

“Ohh, suka ya sama cowok?” terdengar suara mba Rani yang terkekeh. Ah, sebegitu lucunyakah jika aku suka sama laki-laki. Padahal dari kelas tiga SD saja aku sudah pernah tertarik dengan kakak kelas yang terlihat ganteng. Waktu SMP malah ngefans sama bapak guru biologi yang ganteng dan masih single. 

“Normal kan? Hahhaa,” tanyaku bodoh.

“Iya, gak pa pa sih. Tandanya kamu udah mulai gede,” apaan, orang sekarang aja secara fisik aku lebih gede dari mba kok. Hadeh.

“Aku harus gimana ya mba?”

“Ya terserah sih. Liat-liat juga cowoknya kayak apa. Dia baik gak. Terus, menganggu belajar sama urusanmu yang lain gak. Kalau kira-kira jadi gak baik buatmu, ya lebih baik menjauh.”

“Iya, biasanya aku juga gitu. Kalau menjauh juga nanti lupa sendiri.”

“Iya, yang penting belajar, latihan sama urusanmu yang lain gak keganggu aja. Udah ya. Ini telponnya di wartel udah habis banyak. Aku harus berhemat buat keperluan yang lain. Baik-baik sekolahnya. Salam buat bapak ibu kalau pulang.”

“Iya, Mba.” 

Aku menutup telepon setelah mengucapkan salam. Kemudian kembali menuju kamarku.

Aku kembali merebahkan diri di ranjang kamar. Pikiranku seketika melayang. Teringat Tyo yang mengaku sudah memiliki mantan pacar. Berarti sudah pernah pacaran donk. Pacarannya gimana, ngapain aja?

"Duhh, ngapain mikirin ke situ,” gumamku lirih. Aku berbicara sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kututup muka memakai buku komik yang belum sempat kubaca.

Aku tiba-tiba teringat teman sekelasku yang dikeluarkan dari sekolah karena kasus hamil di luar pernikahan. 

"Bukankah itu salah satu akibat berpacaran?" gumamku.

Belum kalau putus dan membuat frustasi. Seperti salah satu teman sekolahku yang kabarnya mengancam bunuh diri karena putus dari pacarnya.

Sepertinya berpacaran tetap ada risikonya. Aku berjanji pada diri sendiri, untuk tidak mau berpacaran seperti teman-temanku. Menolak mentah-mentah jika ada teman laki-laki yang menyatakan rasa sukanya. Seperti biasanya, menolak dan menjauhi.

Mungkin sekarang saatnya lebih menjaga jarak, juga menjauh. Sebelum desir aneh itu kembali datang dan kedekatanku dengan Tayo semakin erat.