“Jangan mudah terpesona akan kesenangan dunia, dan jangan terlalu berbangga akan penghargaan yang engkau terima. Semua hal yang berkaitan dengan dunia hakikatnya hanya sementara, dan akan berakhir sia-sia jikalau tanpa melibatkan Keridhoan-Nya“ *** Hilman pov Hari yang begitu cerah, matahari berulang kali memantulkan cahaya indahnya ke dalam jendela ruangan kelasku. Tampak suasana begitu gaduh karena ibu guru pada jam pelajaran kali ini tidak masuk. Terlihat para sisiwi yang sedang sibuk mengobrol, dan beberapa siswa lainnya tengah ribut dalam bermain game. Aku memilih mengerjakan soal matematika yang diberikan ibu guru untuk persiapan UN nanti. Mungkin beberapa orang lain merasa malas, merasa jenuh dengan matematika. Tapi tidak denganku, berhitung dan bergelut dengan rumus merupakan salah satu hobiku. Kuncinya hanya satu, aku menyukai pelajaran tersebut. Lambat laun apa pun yang menjadi kesukaan, pasti akan lebih berusaha mencerna, mengasah dan berusaha sekeras mungkin hingga mendapatkan hasilnya.
“Hilman, kamu ditunggu pak Dadi di kantor. Kata beliau ada hal yang ingin dibicarakan,” tiba-tiba temanku Ryan menyampaikan pesan dari pak guru. Seketika aku memberhentikan kegiatanku dan langsung bergegas pergi ke kantor. Dalam hati bertanya, ada apa gerangan pak Dadi memanggilku.
“Assalamu'alaikum,” sambil membuka pintu dan langsung mengarah kepada meja pak dadi. “Wa'alaikumussalam, sini Hilman masuk.” “Ada apa ya pa?” tanyaku heran “Berhubung satu minggu lagi sekolah kita akan mengadakan ulang tahun yang ke-42, kami para guru memutuskan akan mengadakan beberapa perlombaan. Bapa boleh minta bantuan sama kamu,?” pinta pa Dadi dengan menatap wajahku penuh dengan keseriusan. “Boleh pak, apa yang bisa saya bantu?” tanyaku balik, “Kamu tolong data siswa siswi yang akan ikut memeriahkan perlombaan,” sambil menunjukan lembaran kertas yang telah di catat beberapa perlombaan. Aku pun mengangguk meng-iyakan. Lalu beranjak pergi untuk berpamitan. *** Aku berjalan berdua ditemani sahabatku Ryan menelusuri setiap penjuru ruangan kelas. Sesaat setelah itu, telah nampak dihadapanku seorang wanita yang namanya sering ku panjatkan dalam do'a. Siapa lagi kalo bukan Nasya. Dia kini telah berdiri menyampingiku menatap pemandangan gedung sekolah sambil ditangannya di pegang sebuah mushaf Al-Qur'an. Terbukti mulutnya yang berkomat kamit menunjukan bahwa ia sedang muroja'ah hafalan. Aku melirik kelasnya, ternyata sedang ada jam kosong. Aku berjalan mendekati Nasya, merasa terpaksa karena harus memberhentikan muroja'ah nya.
“Bismillah, assalamu'alaikum Nasya,” tanyaku dengan penuh kehati-hatian. Tak lama dia pun menoleh ke arahku “Wa'alaikumussalam kaak? Hilman? Iya ada apa kak?” tanyanya sedikit gugup sambil menundukan pandangan.
“Mohon ma'af sebelumnya mengganggu. Nasya masuk ke kelas dulu sebentar ya, ada pemberitahuan yang ingin kakak bicarakan,” ucapku “Baik kak,” ujarnya mengangguk meng-iyakan.