Jalan Lain ke Hatimu.
“Kamu tadi dari mana saja? Ayah cemas mencari ke sana ke mari bersama Mang Darman,” kata Danupraja kepada Mentari. Si gadis tetap diam dan cuek sambil memainkan hairdryer mengeringkan rambutnya yang basah.

“Nak,” sapa lelaki itu lembut, mencoba mencairkan suasana beku yang terjadi di antara mereka.

“Mentari gak suka, ayah egois. Hanya mementingkan kepentingan ayah sendiri, tidak memikirkan masa depan Mentari.”

Danupraja sedikit merenggangkan pelukan. Dalam hati dia mengeluh.

“Pernikahan itu untuk selamanya, ayah. Bukan untuk satu atau dua hari. Mentari yang akan hidup bersama orang yang ayah pilihkan. Bagaimana caranya bisa hidup dengan orang yang tidak Mentari cinta bahkan tidak dikenal.” Gadis itu mulai tergugu. Danupraja jadi salah tingkah.

“Maafkan ayah, Nak,” lirih Danupraja berucap.

Sambil tetap tergugu Mentari menjawab, “enggak!”

Danupraja menelan saliva.

“Jadi, apa yang ayah harus lakukan demi mendapat maaf darimu?”

Mentari tampak berpikir sejenak.

“Beri Mentari pilihan lain. Tidak harus dengan anak teman ayah. Biarkan Mentari memilih, lelaki mana yang akan bersanding dan hidup bersama Mentari,” tegas si gadis berucap sambil berbalik dan menatap netra sang ayah dengan berani.

Danupraja yang kini harus berpikir keras. Namun, dia tidak menemukan solusi lain. Sementara itu, Mentari menunggu keputusan yang akan ayahnya buat.

“Oke, baiklah kalo begitu.”

Mentari menarik napas, lega. Setidaknya dia melihat settitik celah untuk menghindar dari perjodohan yang tidak dia suka.

“Ayah persilahkan kau bawa teman dekat lelakimu,-“

“Teman dekat lelaki?” sambar Mentari.

“Pacar!” Menegaskan Danupraja kepada putrinya. “Lelaki yang bisa ayah percaya untuk menitipkan engkau selama ayah berbisnis di Korea.” Kali ini lelaki berumur itu balas menatap wajah sang gadis. Dalam hati dia merasa menang, karena sepengetahuannya anak gadis semata wayangnya ini tidak mempunyai teman lelaki yang dekat, apa lagi seorang pacar. Dia tersenyum samar.

“Baiklah!” Spontan Mentari menyanggupi perkataan sang ayah. 

Danupraja membelalakkan mata, sama sekali tak menyangka perkataannya barusan akan di sanggupi anaknya.

“Oke, kalo begitu … bawa teman lelakimu menemui ayah di Selebriti kafe, resto dan hotel. Besok lusa pukul delapan malam.”

“Hah? Secepat itu, ayah?” kaget Mentari mendengar ucapan ayahnya.

Danupraja mengangguk.

‘Kamu tidak ada pilihan, kan, Mentari?’ sesungging senyum menghias di sudut bibirnya, ia merasa telah menang saat ini. “Kenapa? Apa kamu … belum ada calon yang akan dikenalkan dengan ayah?” katanya menggoda sang anak.

“Baiklah, ayah. Lusa aku akan bawa lelaki itu,” ucap Mentari, namun sedikit terdengar ragu.

“Jangan tidak, ya. Soalnya lusa ayah juga akan memperkenalkanmu dengan keluarga Sugandi. Jadi, biarkan ayah yang akan memilih, lelaki mana yang pantas untuk bersanding denganmu. Semoga saja lelaki yang kau bawa bisa memikat hati ayahmu ini. Karena, jika tidak … kamu harus menerima calon yang ayah pilihkan sebagai suamimu,” ucap Danupraja sambil mengecup pucuk kepala Mentari, kemudian berjalan keluar meninggalkan si gadis yang masih termangu membelakangi meja rias.

Sepeninggal Danupraja, Mentari mengempaskan tubuhnya ke kasur. Pikirannya kacau. Siapa lelaki yang akan dibawanya ke kafe, untuk diperkenalkan kepada sang ayah sebagai kekasihnya.

“Mentari, aku suka padamu sejak kita sama-sama mendaftar di kampus ini.” 

Si gadis tiba-tiba saja meloncat dari rebahnya. Gegas dia mengambil HP yang ada di atas nakas. Dia teringat pada Rigel, lelaki tinggi kurus berkacamata teman satu kampusnya yang pernah menyatakan perasaan suka padanya.

Haruskah dia menghubungi pemuda itu untuk meminta tolong? Pasti dengan senang hati dia bersedia untuk berpura-pura menjadi pacarnya. Tangannya terhenti di nama Rigel pada daftar nama yang tersimpan di kontak HP nya.

Sesaat dia menjadi ragu.

“Haruskah menghubungi Rigel?” 

Sekejap bayangan lelaki itu hadir di pelupuk matanya. Bagaimana selama ini si pemuda itu berusaha memikat hatinya. Namun, selama itu pula Mentari bergeming, tidak membalas apa-apa, karena memang tidak ada perasaan yang tumbuh untuk Rigel.

Mentari menjadi bingung. Diurungkannya niat untuk menghubungi Rigel. Gawai pun dia lempar sembarang di atas kasur, dan kembali ke posisi merebahkan diri.

Nanar, dia menatap langit-langit kamar. Dalam hati resah bertalu, apa yang harus di lakukannya untuk menghindar dari perjodohan yang hendak ayahnya lakukan.

Lelah, karena tidak menemukan solusi. Mentari akhirnya beranjak dengan malas menuju dapur. Sedikit air mungkin bisa membantunya untuk berpikir.

Kita masih bersama, wujudkan mimpi
Lakukan yang kita bisa
Yakini … ini akan berakhir indah 
(Lyrik lagu 'Tentang Kita' Taman Band Indie Palembang)

Lamat dia mendengar lagu itu dari arah dapur. Lagu berirama campuran antara folks dan blues dengan cabikan gitar bernuansa rock n roll itu dengan cepat menyesaki telinganya. Itu … lagu ‘Tentang Kita’ dari StarLight bandnya Langit.

Gegas dia mempercepat langkah kakinya menuruni anak tangga menuju bagian belakang rumahnya yang besar.

Sesampainya di dapur, dia melihat Mbok Siti tengah asyik mencuci piring dan peralatan makan yang lain, sambil mendengarkan alunan musik dari radio cawang kesayangannya. Gaya sekali Mbok Siti. Sesekali pantatnya di goyang ke kiri dan kanan. Mentari terkekeh menyaksikan tingkah laku pembantunya itu.

“Mbok!” panggilnya.

“Eh, copot, copot,” seru Mbok Siti, latah. Kaget dia mendengar panggilan dari tuan putrinya yang secara tiba-tiba itu.

“Kenapa pake joget segala, Mbok. Kan lagunya bukan dangdut,” ucap Mentari pada wanita yang telah mengasuhnya sejak kecil tersebut.

Mbok Siti yang kini berbalik menghadap ke arah si gadis, tersipu. 

“Habisnya … lagunya enak buat goyang, Non,” ucap wanita itu sambil kembali menggoyangkan tubuh mengikuti irama lagu. Mentari hanya tersenyum melihat Mbok Siti.

Lagu dengan irama mayor tersebut memang membangkitkan semangat dan mengajak yang mendengar untuk bergoyang, serta optimis dalam memandang hidup.

Tiba-tiba Mentari teringat sesuatu. Gegas dengan setengah berlari dia kembali menaiki tangga menuju kamarnya.

Dicarinya sesuatu dari atas meja kamarnya. Kartu nama yang tadi diberikan oleh Langit. Ketemu!

Namun, ragu kembali selimuti hati si gadis. Bisakah lelaki yang baru saja dikenalnya itu membantu memecahkan masalahnya.

“Kalo ada yang bisa gue lakuin untuk membantu menyelesaikan masalah yang tengah elu hadapi. Jangan segan buat bilang. Gue, akan ada buat elu. Selama di butuhkan.”

Tiba-tiba, Mentari teringat kata-kata yang pernah Langit ucapkan, tadi.

Diambilnya HP dari atas kasur yang tadi dibuangnya. Segera dibukanya aplikasi berwarna hijau, setelah sebelumnya menyimpan nomor Langit di phonebook gawainya.

Dengan pasti namun setengah gugup, dia mengetik beberapa kata, menghubungi Langit. Diketik, dihapus. Ketik lagi, hapus lagi, begitu beberapa kali. Keringat dingin membanjiri keningnya yang mulus.

[Permisi, numpang lewat.] Akhirnya hanya kata konyol itu yang malah dia ketikkan dan dikirim pada lelaki yang tadi siang menemani harinya. 

Mentari tampak memukul kepalanya, pelan. Apa yang telah dia lakukan, malah mengetik kata-kata konyol tersebut. Dilihatnya sekilas aplikasi hijau yang masih terbuka seutuhnya itu, bermaksud untuk menghapus kata-kata yang sudah terlanjur terkirim.

Belum sempat niatnya terlaksana, saat pesan yang terkirim sudah berubah menjadi centang dua berwarna biru. Pesan sudah dibaca oleh Langit.

“Mati, gue,” ucap Mentari menyesali kebodohannya.

[Siapa, ini?] jawaban yang dibalas dengan cepat.

Mentari menggigit bibir bawahnya. Kebiasaan sedari kecil yang ia lakukan jika dalam keadaan bingung.

[Ini, Mentari.] Akhirnya dibalasnya pesan yang tadi barusan Langit kirim. [Apakah lu punya waktu? Gue mau bicara.] Send.

Semenit, dua menit. Keheningan menyergap si gadis.

“Ah, sudahlah. Mungkin dia tengah sibuk dan tak mau diganggu,” lirih Mentari berkata, sambil akan meletakkan HP nya kembali ke atas nakas.

Tiba-tiba gawainya bergetar mendendangkan lagu a thousand years miliknya Christinna Perri . Mentari nyaris menjerit saking kagenya, Langit menghubunginya. Angkat, tidak?

Dengan ragu akhinya digesernya ke atas logo telepon berwarna hijau, dan mendekatkan gawai tersebut ke telinganya.

“Ha—halo,” ucapnya gugup. Ah, kenapa dia jadi se-nervous itu.

[Bersambung] 

Komentar

Login untuk melihat komentar!