Jati Diri Langit.
Suasana di dalam kafe dan resto menjadi gaduh.
Namun, tidak mereka sadari bahwa suhu ruangan tetap sejuk. Itu tandanya AC tetap menyala dengan baik, hanya lampu saja yang padam. Banyak dari tamu yang mengeluhkan kenapa harus gelap gulita seperti sekarang.
Mendadak, lampu sorot di panggung hiburan menyala.
Seorang wanita maju ke tengah panggung dan meraih mikrofon. Tampaknya dia adalah karyawan di kafe dan resto Selebriti. Terlihat dari seragam yang ia kenakan, dengan logo Selebriti di dada kanan.
“Selamat malam, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Tuan dan Nyonya Pengunjung Selebriti kafe dan resto. Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang tengah terjadi saat ini. Dikarenakan, akan ada penampilan spesial guna menghibur dan menyemarakkan makan malam kita semua. Kita kedatangan musisi yang nama bandnya kini tengah jadi buah bibir di kancah musik tanah air. Please welcome, gitaris StarLight.”
Wanita tersebut sedikit menepi. Dari balik layar muncullah Langit, mengenakan setelah jas biru laut, dengan kemeja dalaman putih. Dia menenteng gitar akustik Yamaha yang sudah ter-stem dengan baik juga sudah ter-plug di mixer sound belakang panggung, siap untuk dimainkan.
“Terima kasih, Nani,” ucap Langit kepada wanita yang tadi bicara.
“Sama-sama, Tu--.” Belum selesai Nani bicara, saat Langit memberinya isyarat untuk tidak meneruskan ucapannya.
Wanita itu mengerti, menyerahkan mikrofon kepada Langit, kemudian menepi ke pinggir panggung.
Lampu sorot mengikuti arah Langit yang kini telah duduk di sebuah kursi dan siap memainkan gitarnya. Tak lupa mikrofon telah dipasangnya di stand mic.
“Terima kasih, maaf mengganggu waktunya sebentar. Izinkan saya memainkan sebuah lagu untuk menghibur malam yang spesial ini.”
‘Apa-apa an sih, Langit. Bukannya ke sini malah mau perform,’ gerutu Mentari dalam hati.
“Cucok ya, Dek. Semakin romantis dengan kedatangan musisi yang mau menghibur kita yang akan segera menuju ke babak baru kehidupan. Auw romantisnya, padahal bukan Mas, lo, yang ngundang. Tapi, kok yo bisa tepat, waktune,” kata Sugandi, sambil tetap mengedipkan sebelah matanya pada Mentari.
Mentari melengos, kemudian mengalihkan perhatiannya sama seperti pengunjung kafe yang lain. Sekarang, perhatian mereka terfokus di satu titik, Langit.
‘Bukan elu emang yang ngundang. Tapi, gue,’ kata Mentari dalam hati. Matanya tetap fokus di Langit.
Alat musik berdawai enam itu mulai dimainkan oleh Langit menggunakan tekhnik finger style. Membawakan lagu yang populer di tahun 1990, Beautiful Girlnya Jose Mari Chan mengalir mulus dari permainan gitar lelaki tampan tersebut. Tangan kirinya menekan grip gitar, sementara tangan kanannya mengetuk, menggerus, dan memetik. Sungguh, permainan gitar yang indah. Bahkan suara yang dihasilkan laksana suara harpa yang tengah dipetik oleh dewi di surga.
Semua penonton terbuai dengan permainan gitar yang tengah dilakukan oleh Langit.
Tak terasa 2 menit 26 detik berlalu. Langit pun mengakhiri permainannya. Suara riuh rendah tepuk tangan dari pengunjung yang hadir membahana memenuhi ruangan.
“Wih, permainannya keren, Mas Bro,” seru seorang pengunjung sambil bertepuk tangan.
“Belajar dari mana?” Salah satu pengunjung yang lain bertanya.
Sambil masih mendekap gitar, Langit tersenyum.
“Alif Ba Ta ,” ucapnya ngasal, diikuti tertawa dari pengunjung yang bertanya.
(YouTuber gitaris fingerstyle)
“We wan’t more,” kata Nani di sudut panggung menggunakan mic yang biasa dipakai oleh backing vocal, dan perbuatannya berhasil memprovokasi para pengunjung yang lain.
Mereka memberikan standing applause untuk Langit, sambil sama berseru, “we wan’t more, we wan’t more.”
Langit menatap sekeliling, semua orang menginginkannya untuk memainkan sebuah lagu kembali. Diangkatnya tangan kanannya ke udara, memberi isyarat pada semua orang. Serentak suara riuh rendah di dalam ruangan menjadi berhenti.
Langit meraih mic yang ada di hadapan.
“Baiklah, saya akan membawakan sebuah lagu kembali. Kali ini, saya akan mebawakannya dengan memainkan, itu,” tunjuknya pada sebuah piano klasik yang terletak di sudut panggung, tepat di hadapan Nani.
Dengan perlahan dia bangkit, kemudian meletakkan gitar akustiknya pada stand gitar berkaki tiga, sehingga gitar tersebut bisa berdiri dengan sempurna. Setelah itu dia membawa mic beserta stand¬nya mendekati piano klasik tersebut.
Setelah memasang mic sesuai dengan posisi duduknya di depan piano. Kembali, Langit berkata, “saya akan membawakan sebuah lagu, yang kebetulan baru saya buat saat akan ke sini. Lagu ini saya persembahkan khusus buat gadis cantik yang tengah duduk di meja nomor dua lima.”
Sontak semua mata tertuju pada meja yang disebut.
“Ciye!” koor itu terdengar riuh rendah menggoda Langit.
“Ci--.” Nani juga akan ikut menggoda. Namun tidak jadi, kala Langit membalikkan badan dari pianonya dan menatap ke arahnya tajam. Gadis itu mengkeret, takut.
Sementara itu, Mentari tertunduk malu dengan rona merah membias jelas pada pipinya. Gadis yang di maksud Langit adalah dia. Dia yang duduk di meja nomor dua puluh lima.
“Apa dia kenalanmu, Dek?” tanya Sugandi seperti tidak senang, dia merasa mendapat rival. Mentari tidak menunjukkan reaksi apa-apa atas pertanyaan yang diajukan Sugandi.
Sementara Pak Bowo ayahnya tampak diam saja mencoba memperhatikan Langit dengan seksama. Bathinnya mencoba mengingat dan menebak di mana dia pernah kenal dengan sosok yang tengah bermain musik di atas panggung.
Danupraja memperhatikan sikap dan tingkah dari putrinya yang tampak tertunduk malu. Dari situ dia bisa menarik kesimpulan bahwa lelaki yang tengah perform di atas panggung adalah lelaki yang tengah di tunggu oleh anaknya.
Nada mulai terdengar dari tuts piano yang ditekan oleh Langit, pelan. Nada minor nan merdu mengalun.
Angin berhembuslah, bawa pesanku ini
Katakan pada bidadariku
Aku rindu
Untuk siang nan terang, tolong bawa cintaku
Letakkan asaku di hatinya
Biar kami bersama
Izinkan oh, Tuhan
Izinkan kami bersama
Dalam mahligaimu
Untuk selamanya (Lyrik lagu 'Pelabuhan Hati' Taman Band Indie Palembang)
Langit menghentikan permainannya.
“Yah, kok sudahan, Mas. Lagi enak bener ini dengernya. Kayak ditinggal lagi sayang-sayangnya,” seru seorang wanita yang duduk di meja dekat panggung.
Langit menjawabnya dengan senyuman. Kemudian, bangkit berdiri dari duduknya, menjauhi piano. Dia memberi isyarat pada Nani untuk menghidupkan kembali lampu yang tadi padam. Suasana ruang kafe dan resto pun menjadi terang benderang, dan suasana kembali menjadi normal.
“Terima kasih atas waktunya, maaf jika mengganggu. Sekian dulu persembahan dari saya,” kata lelaki itu berpamitan pada seluruh pengunjung kafe. Beberapa pengunjung tak lupa memberinya applause.
Langit perlahan turun dari panggung kemudian berjalan menuju ke meja tempat Mentari. Tanpa tedeng aling-aling, begitu sampai dia langsung memeluk pinggang ramping si gadis dan menghadiahinya sebuah kecupan mesra di dahi.
Sekujur tubuh Mentari bergetar. Ini, untuk pertama kali dalam seumur hidupnya disentuh lelaki lain selain ayahnya.
“Apa-apaan, sih? Pake nyium segala?” tanyanya berbisik di telinga Langit setelah sebelumnya berdiri untuk mengimbangi lelaki yang masih berdiri itu.
Mentari berbisik, namun di mata Sugandi seolah gadis itu tengah mencium pipi Langit. Membuatnya mendengkus, marah.
“Kalo mau sandiwara, harus totalitas, dong,” balas Langit juga sambil berbisik.
“Alasan. Cari kesempatan lu, ye?” sewot Mentari masih berbisik. Langit memberinya isyarat untuk diam, karena dari sudut matanya dia bisa melihat kini Danupraja berdiri dari duduknya.
“Siapa, kamu?” hardiknya pada Langit. “Langsung main peluk dan cium anak orang,” tambahnya lagi.
“Selamat malam, Om. Om pasti ayahnya Mentari. Perkenalkan, saya pacarnya Mentari, anak Om,” jelas Langit sambil megulurkan tangan.
Danupraja menerima uluran tangan tersebut dengan sedikit rasa sungkan, sementara Mentari mendelik mendengar pengakuan Langit, hampir saja dia protes, kalau tidak ingat, bahwa lelaki ini memang tengah berpura-pura menjadi kekasihnya.
“Bukan, bukan itu …,” sanggah Danupraja kembali, sambil kini mengerenyitkan dahi. “Siapa, kamu? Kenapa rasanya wajahmu, kok, familiar.”
“Dia adlah Langit Paripurna Jaya, pewaris tahta utama Megah Jaya Corporation.” Yang menjawab malah Pak Bowo. Akhirnya dia ingat pernah melihat Langit di mana.
“Dia, Putra pertama Prana Jaya, pengusaha property tersohor tanah air. Tapi, dikabarkan anak ini enggan menerima kekayaan sang ayah, dan sedari tamat sekolah membuka bisnis sendiri. Terakhir, dia dinobatkan sebagai salah satu dari 100 pengusaha muda terkaya di Indonesia oleh majalah Forbes. Bahkan, Selebriti Park ini adalah salah satu dari usaha milik ayahnya,” sambung Pak Bowo lagi.
Langit tersenyum, dan menatap ke arah lelaki yang tadi membuka jati dirinya.
“Ah, Om terlalu melebihkan,” katanya sopan dan ramah.
Mentari melongo saking tidak percayanya dengan info yang tadi baru saja disebutkan oleh Pak Bowo. Karena, yang dia tau, Langit hanyalah seorang pemuda biasa, anak band yang tengah menaikkan populeritas grupnya, itu saja.
Semantara itu, Danupraja juga ikut melongo sama seperti putrinya, menyadari tengah berhadapan dengan siapa. ‘Wah, tajir melintir, nih, anak muda’. Dalam hati dia berkata seperti itu, dasar bapak-bapak matre.
[Bersambung]
Login untuk melihat komentar!