Kita Bertemu di Pengadilan (6)

Part 6

#Kita bertemu di pengadilan

Aku terperanjak, ternyata ini obat penenang depresi!

Sejak kapan Aisyah meminum obat ini?


Apakah ia benar-benar depresi?


Pantas saja belakangan ini kelakuannya aneh.

'Rasakan kau punya istri gila!'

'Ini semua salahmu, kamu yang sudah membuatnya menjadi gila!

'Dasar suami dzolim!'

Cacian itu terus saja terngiang ditelingaku. Mengapa selalu suami yang disalahkan karena ulah sang istri?

Dia yang menyiksa dirinya sendiri, bukan salahku. Salahnya sendiri mengapa tak patuh kepada suami.

Telepon kembali berdering, memecah semua lamunanku. Ternyata itu telepon dari Bapaknya Aisyah, mertuaku. Mau apa beliau menghubungiku malam-malam. Tumben sekali.

"Hallo, Assalamualaikum Nak Akmal. Lagi di mana? Bapak sudah di depan rumahmu nih. Kok sepi ya? Kalian semua pergi ke mana?" ucap Mertuaku di seberang telepon sana.

Ya Allah, masalah yang satu belum selesai, kini ada masalah baru lagi. Mertuaku datang dari kampung secara tiba-tiba tanpa memberi kabar terlebih dahulu kepadaku.

Apa yang harus kukatakan jika Bapak menanyai Aisyah? Bapak pasti marah besar jika tau anaknya kabur dari rumah dan aku pasti dicap sebagai suami yang tak becus menjaga istri.

"Eh, Waalaikum salam Pak. Hmmm, iya ini Akmal sedang di luar. Sebentar lagi pulang. Tunggu ya Pak. Duduk santai saja dulu di teras rumah," ucapku agak sedikit gugup.

Aisyah, kamu dimana sayang? Apa yang harus aku katakan kepada Bapakmu nanti?

"Iya cepat pulang ya, Bapak tak sabar ingin menggendong cucu Bapak. Entah mengapa tiba-tiba rindu sekali dengan kalian,"

Deg! Firasat orang tua memang tidak pernah salah ya. Tau saja kalau anaknya sedang tidak baik-baik saja.

"I,iya Pak. Ini Akmal sedang di jalan pulang,"

"Ok, hati-hati di jalan Nak. Pelan-pelan saja bawa mobilnya. Alon-alon asal klakon,"

"Iya Pak. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam,"

Selesai obrolan dengan Bapak, aku semakin tambah kalut. Kuhempaskan ponselku ke belakang jok mobil untuk meluapkan kekesalanku dan kubenturkan beberapa kali keningku pada setir mobil.

Kutenangkan diri dengan menarik napas panjang, lalu membuangnya kasar. Setelah merasa lega barulah aku melajukan mobil untuk segera pulang ke rumah.

Selama dalam perjalanan pulang, aku mencari akal untuk mengelabui Bapak. Aku susun kata-kata agar ia mempercayaiku.

Mobil melaju perlahan membelah jalan di waktu malam, pikiranku melayang ada perasaan takut saat nanti sampai di rumah saat menemui Bapak.

Mobil memasuki halaman rumah, terlihat Bapak sudah berdiri di depan pintu rumah dengan raut wajah bahagia. Saat pintu mobil kubuka, Bapak terlihat bingung mengetahui aku pulang sendiri tanpa anak dan istri.

Bapak seperti mencari-cari sambil menajamkan pengelihatannya ke arah sekeliling mobil.

"Loh, kamu sendiri? Mana Istri dan Anakmu?" tanya Bapak heran.

"Eh, itu Pak, hmmm ... anu ... " jawabku gugup. Padahal tadi aku sudah berlatih agar tidak gugup saat bertemu Bapak. Namun, kenyataan tak sesuai ekspetasi, pada akhirnya nyaliku ciut saat menatap wajah Bapak yang sangar.

"Ada apa sebenarnya? Pasti ada yang tak beres! Jawab!" Bapak menginggikan suaranya.

"A, Aisyah ... hmm .. Aisyah sedang pergi berlibur Pak bersama anak-anak,"

Aku tak berani berkata jujur, bisa-bisa aku di pukuli Bapak.

"Yang benar kamu? Pergi berlibur sama siapa? Mengapa kamu tak ikut? Apa tak repot pergi berlibur tanpa suami? Sedangkan anak kalian masih kecil-kecil,"

Runtunan pertanyaan Bapak mebuatku semakin salah tingkah. Keringat dingin sebesar biji jagung keluar dari setiap pori tubuhku.

"Eh, Iya Pak benar. Aisyah pergi berlibur bersama Kakakku. Kakakku yang membantu jaga anak-anak di sana, Akmal tak bisa ikut karena besok masih harus bekerja," ucapku sembarang.

Ekspresi wajah Bapak seperti tak percaya. Aku tak berani menatap matanya. Kutundukan pandanganku agar Bapak tak melihat kalau aku sedang berbohong.

"Oh, seperti itu. Kamu memang suami yang baik Mal, terimakasih sudah menjaga Aisyahku dengan baik. Berati Bapak tak salah memilihmu sebagai menantu. Karena Bapak sudah memberikan Aisyah kepada orang yang tepat.

Kamu tau sendiri kan, semenjak bayi, Aisyah sudah tak punya Ibu, ibunya meninggal saat melahirkannya. Jadi Bapak yang merawat dan membesarkannya tanpa kasih sayang seorang Ibu. Bapak harap kamu bisa menjadi sosok Suami, Ayah, sekaligus Ibu untuk Aisyah ya dan jaga anak-anak kalian dengan penuh kasih sayang seperti Bapak merawat Aisyah dahulu,"

Jleb!

Ucapan Bapak bagai mata pisau yang menancap di jantung ini. Sakit tapi tak berdarah. Seketika jantungku berhenti berdetak mendengar ucapan Bapak itu.

Aku berbohong! Aku bukan menantu yang baik! Aku bukan suami yang baik! Aku bukan ayah yang baik!

Haruskah aku jujur bahwa anaknya telah kabur dari rumah. Tapi, apakah ini merupakan sebuah kebohongan? Memang kenyataannya Aisyah sedang berlibur kan. Walaupun aku tak tau dengan siapa ia pergi dan tak tau lokasi keberadaannya sekarang.

"Mari masuk, Pak,"

Kuajak Bapak untuk masuk kedalam rumah.

"Ya Allah, ini rumah berantakan sekli. Baru ditinggal istri sehari aja rumah sudah kaya kapal pecah begini. Bagaimana Bapak yang sudah ditinggal Istri bertahun-tahun lamanya. Jadi suami itu juga harus bisa mengerjai pekerjaan rumah, bukan taunya hanya bekerja mencari nafkah saja sama bikin anak,"

Perkataan Bapak seperti sedang menyindirku. Aku semakin tak enak hati dibuatnya.

Terpaksa malam ini juga aku membersihkan rumah yang seperti kapal pecah itu. Rasanya lelah sekali, selesai merapihkan semua, tanpa izin pada Bapak, aku langsung saja masuk ke kamar meluruskan tulang-tulang persendianku ini. 'Berbaring sebentar saja lah, setelah itu baru membelikan Bapak makan malam.' Monologku saat itu.

Tanpa sadar aku terus saja menguap dan seketika mata ini mulai terpejam.

**

"Akmal! Bangun kamu!"

Bughk!

Aku yang baru saja memejamkan mata, tiba-tiba dikagetkan oleh Bapak yang dengan garang memukulku dan menyeretku ke luar kamar.

Aku yang masih dalam keadaan tidak sadar hanya bisa pasrah mendapat pukulan bertubi-tubi dari Bapak.

"Mantu kurang ajar! Pembohong! Berani-beraninya kau menyakiti anakku!"

Bapak terus saja menghujaniku dengan bogem mentahnya.

"Ampun Pak! Apa salahku?! Mengapa Bapak tiba-tiba memukuliku!"

Aku memohon, agar Bapak berhenti memukuliku.

"Pakai nanya apa salahmu! Masih tak sadar juga kau, Hah!"

Bughk!

Pukulan itu mendarat lagi di wajahku.

Kulihat Aisyah sudah berdiri di samping Bapaknya. Sejak kapan ia pulang? Apakah ia mengadu yang tidak-tidak kepada Bapak?!

"Kau pikir anakku mesin pencetak anak! Yang bisa kau suruh untuk hamil dan melahirkan kapan saja sesuka hatimu! Pakai melarangnya KB segala! Kau pikir mengurus anak banyak itu mudah tanpa adanya bantuan dari suami! Kau rampas kebebasan anakku! Kau kekang ia, tak boleh begini dan begitu. Kau tak hargai ia sebagai istri, kau hanya melihatnya sebagai alat untuk berreproduksi! Sinting kau ya!"

Pukulan demi pukulan Bapak berikan kepadaku. Aku tak berdaya. Tenaga Bapak sangat kuat diusianya yang sudah tak lagi muda.

"Maafkan Aku Pak! Aku tak bermaksud begitu! Aku hanya ... "

Belum selesai aku berucap, bogem mentah itu sudah mendarat di dadaku. Aku seketika muntah darah. Namun, meraka tak ada rasa belas kasihannya kepadaku.

Istriku sendiri hanya berdiri diam melihatku dipukuli orang tuanya. Sepintas kulihat ia tersenyum menyeringai ke arahku. Bahagia sekali sepertinya ia melihatku kesakitan seperti ini.

"Sudah! Tak perlu kau jelaskan apa pun kepada Bapak. Bapak sudah muak melihat wajahmu!"

Bapak menghentikan pukulannya. Ia menghempaskanku ke lantai. Hingga aku terjungkal ke belakang.

"Ayo, Nak, kita pergi dari rumah neraka ini! Tinggalkan dia! Biarkan anak-anak dia yang mengasuhnya! Biar dia merasakan apa yang selama ini kau rasakan! Biar tau rasa Dia!" ucap Bapak mempengaruhi Aisyah.

"Oya, satu lagi! Ingat! Setelah ini kita bertemu di pengadilan! Bapak akan urus surat perpisahan kalian!"

Setelah berucap seperti itu, Bapak segera menarik tangan Aisyah dan pergi meninggalkanku yang terluka parah.

"AISYAH! JANGAN PERGI! JANGAN TINGGALKAN AKU DAN ANAK-ANAK! MAAFKAN KESALAHANKU SELAMA INI! AKU JANJI AKAN MEMPERBAIKINYA! AKU TAK INGIN BERPISAH! AKU TAK BISA HIDUP TANPAMU SAYANG!"

Aku berteriak sejadi-jadinya. Aku berharap Aisyah akan berbalik badan dan kembali kepadaku.

Langkah Aisyah terhenti, benar saja ia berbalik badan dan melangkah mendekatiku. Seperti yang kuduga, dia takkan mungkin tega meninggalkanku dan anak-anak. Aku tau dia masih mencintaiku.

Kini, dia berdiri tepat dihadapanku. Aku berusaha merangkak dan memegang pergelangan kakinya untuk minta maaf. Namun, aku salah. Dia bukan ingin kembali kepadaku, melainkan untuk mengembalikan cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya.

Aisyah melepaskan cincin itu, kemudian melemparkannya tepat di hadapanku. Setelah itu ia berlari mengejar Bapaknya.

"Bagus Aisyah, kau sudah membuat keputusan yang benar."

Sayup terdengar ucapan Bapak yang meyakini Aisyah.

'Tega sekali kau Aisyah, kau lebih memilih Bapakmu, dibandingkan Aku suamimu!' lirihku dalam hati.


Bersambung ...

Minta dukunganya teman-teman. Jangan lupa follow dan subcribe ceritaku ya agaar kalian dapat notifikasi setiap otor up bab berikutnya.

Komentar

Login untuk melihat komentar!