Menantu Dari Desa
Part 4
Padahal niatku hanya menguji, akan tetapi dia menyanggupi dan akan mengusahakan dalam satu minggu. Tentu saja hal ini membuat aku makin terkejut. Ayah dan Ibu kembali berkumpul.
"Maaf, Torkis, ini terlalu mendadak bagi kami, jadi kami belum bisa memberikan jawaban," kata Ayah seraya menyeruput kopi yang kuhidangkan.
"Tapi, Pak, anak bapak sudah setuju, dia minta panjar, aku kasih, panjar itu tanda jadi, Pak," kata Bang Torkis.
"Benar sekali, maafkan putri kami, otaknya lagi miring," kata Ibu seraya menempelkan jari di kening.
Ah, malah aku yang dibilang otak miring, padahal jelas sekali Bang Torkis yang terlalu lugu, masa dia kasih panjar.
"Biarpun otaknya miring, saya bersedia mengimaminya, menuntunnya menuju keluarga sakinah," kata Bang Torkis
Duh, aku jadi meleleh, ini jenis gombalan yang tak biasa, apakah Bang Torkis ini tidak tahu kalimat perumpamaan, ibuku bilang otakku miring bukan berarti betulan. Dan perkataan Bang Torkis itu sangat romantis bagiku. Lah, kurasa memang otakku sudah miring.
Akhirnya Bang Torkis permisi pergi, katanya dia mau ke rumah orang tua angkatnya, katanya lagi, orang tua angkatnya punya rumah di kota kami. Akan tetapi orang tua angkatnya itu sekarang tinggal di desa.
Setelah Bang Torkis pergi, kami mulai berunding lagi, kali ini ada dua kakak iparku ikut musyawarah membahas lamaran ini.
"Dipikir pakai logika akal sehat, tidak mungkin seorang laki-laki memberikan panjar mahar sama orang yang baru kenal, lagi pula bagaimana bisa kau minta panjar?" kata Kak Lana, istri dari Bang Wisnu.
"Awalnya aku cuma bercanda, Kak, masa dia komentar gini "Maukah jadi istriku?" gitu, padahal tak berteman, ya aku mau tapi mahar seratus juta, emas dua puluh gram, eh, dia iyakan, aku gak mau kalah, aku minta panjar, niatku cuma mau gertak, eh dia tranfer, aku harus bagaimana lagi?"
"Menurutku penampilannya menipu, sebenarnya dia itu seorang germo, kau sudah dia beli sepuluh juta, mau dia jual delapan puluh juta, kek artis itu," kata Kak Yanti, istrinya Bang Bayu.
"Kalau menurutku dia orang gila yang baru menjual warisannya di desa," Bang Bayu ikutan beri pendapat.
"Kalau aku kurasa dia itu petani ganja, makanya dia gak berani bilang apa pekerjaannya," giliran Bang Wisnu beri pendapat.
Semua pendapat saudaraku tak ada yang positif, semuanya negatif, aku menunggu pendapat ayah dan Ibu.
"Sebenarnya ini susah, bagaimana kita bisa mempercayai orang yang baru kenal? Apalagi diserahkan kepada Ayu, dia gak berbakat memilih laki-laki, lihat itu si Doli, sudah akrab, sudah kenal orang tuanya, eh, tiba-tiba nikahnya sama orang lain." kata ibuku.
"Jadi bagaimana menurutmu, Ayu, semua saudaramu sudah memberikan pendapat, intinya semua tidak setuju, jadi kau bagaimana?" tanya Ayah.
"Tunggu dulu seminggu ini, Yah,"
"Tunggu apa lagi, tunggu si Doli pesta ya?" ibuku yang menjawab. Ibuku memang ikut kecewa pada Doli, sudah sempat Ibu bilang-bilang ke temen arisannya kalau saja aku akan nikah sama Doli, anak orang kaya, setelah begini Ibu sangat malu, bahkan sudah dua kali Ibu tak pergi ke pengajian rutin.
"Iya, Ayu, apa yang kau tunggu seminggu ini?" tanya Kak Lana.
Aku menunggu janji Bang Torkis berikan mobil dan rumah sebagai Mas kawin," kataku.
Brukkkk, kali ini kakak iparku jatuh pingsan, lah, kenapa semua orang tiba-tiba mudah pingsan, apa iya gak masuk akal aku minta mobil dan rumah?
"Kurasa memang sudah rusak otakmu, Ayu, sebaiknya kau dirukiyah dulu," kata Bang Wisnu.
"Iya, kau pikir kau artis terkenal, mau nyaingi Lesti Kejora kau?" kata Bang Bayu.
"Kita tunggu saja," kataku kemudian, seraya berdiri dan masuk kamar.
Mungkin ibuku benar, otakku sudah rusak, masa aku minta panjar, kini minta mobil dan rumah? Ah, aku masih waras.
Terdengar suara motor besar, aku kenal suara motor tersebut, itu motor Doli, mau ngapain dia kemari, aku keluar dari kamar, dan mengintip lewat jendela, benar Doli, dia datang bersama Naomi, teman akrabku yang kini jadi calon istrinya.
"Mau ngantar undangan, Pak, Bu, datang ya, hari minggu ini," kata Naomi. Dia memang sudah akrab dengan kedua orang tuaku, dulu dia sering nginep di rumahku.
Tiba-tiba rasa benciku memuncak, mulut manis itu masih seperti itu.
"Jodoh itu memang rahasia Tuhan, ya, Bu, kita hanya menjalani," kata Naomi lagi.
"Iya, benar sekali," kata Ibu.
"Sebaiknya si Ayu gak usah ajak, Bu, khawatir juga mentalnya gak kuat," kata Naomi
"Aku akan datang, mentalku kuat, aku mau lihat bagaimana nanti mentalmu jika sudah diduakan Doli, percaya saja kau sama buaya," aku akhirnya tak dapat menahan emosi.
Setelah mereka pergi, aku jadi uring-uringan, ternyata mungkin aku sudah gila karena ditinggal pacar. Kuhubungi Bang Torkis.
"Bang, hari minggu datang ke mari ya, bawa mobil, kalau bisa Pajero," kataku.
Ayahku yang melihat tingkahku jadi geleng-geleng kepala.
"Istigfar, Ayu, jangan turuti emosi," kata Ibu.
Sementara itu Bang Torkis masih dalam telepon, dia tak bicara, mungkin dia mulai pusing melihat tingkahku, masa minta Pajero.
"Maaf, Ayu, aku sudah konsultasi dengan ayah angkatku, katanya wanita yang meminta mahar mobil dan rumah itu wanita matre, tidak cocok untuk dijadikan istri, jadi maaf, Ayu, batal saja," kata Bang Torkis dari seberang.
"Lah, aku bisa benar-benar gila ini, Bang Torkis,"
"Kok gila?"
"Ya, gila, pacarku menikah, yang mau lamar sudah panjar, tapi batal,"
"Udah, panjarnya ambil saja, gak apa-apa,"
"Bang Torkis, kalau kau suka padaku, cinta padaku, datang ke mari hari minggu, bawa Pajero, aku ingin tunjukkan Abang lebih hebat dari pada Doli, ini bukan matre, hanya,... duh, bagaimana bilangnya ya,"
"Aku tanya ayahku dulu ya,"
Sial, ternyata Bang Torkis anak Ayah, apa-apa minta nasehat ayah angkatnya.