Wawancara Calon Mantu
Menantu Dari Desa

Karya: Bintang Kejora

Part 3

Ayah jatuh pingsan demi mendengar perkataanku, ini memang diluar nalar, masa ada cewek terima panjar mahar untuk dirinya sendiri, orang yang tak kenal lagi. Akan tetapi Torkis ini lebih aneh masa ada orang yang begitu mudahnya transfer uang sepuluh juta untuk panjar mahar, jika aku mau berbuat jahat, tinggal blokir, selesai. Akan tetapi entah kenapa ada rasa lain di hati ini, mungkin rasa kasihan melihat keluguan Torkis. 

"Kamu terima panjar mahar tanpa bicara dengan ayah?" tanya ayah setelah beliau siuman. 

"Iya, Ayah," jawabku seraya menundukkan wajah. 

"Kamu itu melangkahi wewenang Ayah, yang terima lamaran untuk kamu seharusnya ayah, ini kamu terlalu laju, bukan hanya terima lamaran, bahkan terima panjar," kata Bang Wisnu-abangku yang tertua. 

"Maaf, Bang, tadinya aku hanya bercanda, ternyata dia serius," jawabku. 

"Apa pernah kau dengar orang bercanda tentang lamaran?" kata Bang Bayu-abangku yang nomor dua. 

"Ada, itu si Doli sudah berapa kali dia bilang akan lamar aku, bulan depan ke bulan depan, sampai sekarang akhirnya dia lamar orang," kataku. 

"Ini dia masalahnya, Ayu, kamu itu sakit hati sama Doli, jadi kamu ingin membalas gitu, emak sudah lihat komentar kalian di Facebook, untuk apa bicarakan lamaran di tempat umum? Niatmu sudah jelas mau balas dendam kan?" kata ibuku seraya melihat HP-nya. Dari tadi ibuku ini main HP, ternyata beliau periksa komentar kami.

"Bukan begitu, Mak, dia gak mau inbox karena kuancam blokir jika dia inbox sekali lagi," kataku kemudian. 

"Hahaha," kedua abangku malah tertawa ngakak, entah apa yang lucu. 

"Udahlah, aku pulang dulu, kau melucu saja," kata Bang Bayu seraya berdiri dan salim kepada kedua orang tua kami, Bang Wisnu juga ikut berdiri. 

"Udah, pulangkan saja uang panjar itu, si Torkis ini pasti kurang waras, gak ada orang begitu," kata Bang Wisnu seraya pergi. 

"Abangmu betul, Ayu, kembalikan saja uang panjar itu, masa mahar dipanjar," sambung ibuku. 

"Tapi, Mak, aku ingin beli iPhone," 

"Ya, Allah ya Tuhanku," kata ayah seraya tepok jidat. 

"Udah, besok saja dihadapi," kata Ibu, beliau lalu masuk kamar, ayah juga masuk kamar sambil geleng-geleng. Tinggal aku duduk sendirian, merenungi nasib. 

Aku belum bisa melupakan sakitnya dikhianati teman sendiri, dia sahabatku, tempat curhat dan berkeluh kesah, tak kusangka dia akan setega itu. Doli, orang yang dulu kucintai kini sangat kubenci, dia campakkan aku dengan sadis, tanpa ada masalah, dia tiba-tiba bilang putus, alasannya tak ada kecocokan. Padahal aku tahu bukan karena tak ada kecocokan akan tetapi karena dia jatuh cinta pada sahabatku. 

HP-ku bergetar, ada pesan WA dari Doli. 

(Ayu, maaf ya) 

Setelah sekian lama dia baru minta maaf, tak kubalas, terlalu malas rasanya balas chatnya. 

(Aku yang salah bukan kamu, jadi jangan hukum dirimu begini) pesannya lagi. 

Hanya kebaca, tak sudi juga untuk membalas, dia masih mengirim pesan. 

(Kamu wanita berkelas, Ayu, berpendidikan, cantik, minimal kau dapat jodoh setengah dariku, jangan kayak gini, sudah orang desa, kolot kuno, hitam legam, harga diriku sebagai mantan terasa tercoreng) 

(Hei, sok kali gayamu, setengah dariku? Puih, kau itu belum sujung kuku Bang Torkis, dia orang kaya yang sebenarnya, gak kayak kau andalkan harta orang tua, puih, jijik) balasku akhirnya. 

Dia masih mengirim pesan, tak******lagi, rasa benci dan sakit hati makin menjadi. Dalam hati aku berdoa, semoga Bang Torkis ini lebih segalanya dibanding Doli.

Pagi harinya aku sudah bersiap menyambut Bang Torkis, orang yang baru kukenal beberapa hari itu akan datang melamar. Ayah dan Ibu juga sudah bersiap, Bang Bayu dan Bang Wisnu juga sudah datang. Deg-degan rasanya, seperti apa kira-kira Bang Torkis ini? 

Ada betor masuk pekarangan rumah, seorang pria turun dari betor tersebut. Matanya melihat ke arah pintu rumah kami seraya memegang kertas. Inikah Bang Torkis? Aku bersembunyi di balik gorden, ingin kuperhatikan dulu calon suamiku ini. 

Penampilannya sungguh diluar perkiraanku, dia cukup tampan juga, kulitnya hitam manis, sepintas mirip Arya Saloka. Pakaiannya seperti dari jaman dahulu. Dia memakai celana keeper dan kamera tangan panjang. Tak ada kelihatan aura orang kaya. Bahkan penampilannya mirip tukang kredit. 

"Assalamu'alaikum," dia mengucap salam, aku masih mengintip dari balik gorden, ayahku yang menjawab salam. 

"Apa benar ini rumahnya Rahayu Putri?" tanyanya kemudian. Wah, dia bahkan tahu nama lengkapku. 

"Benar, Anda Torkis ya?" tanya Ayah. 

"Benar, Pak,"jawab Torkis seraya menyalami orang tua dan dua saudaraku. 

Aku lalu keluar dari persembunyian, dia menatapku, aku jadi grogi, padahal biasanya aku orangnya agresif, berhadapan dengan Bang Torkis ini aku seperti mati gaya. 

" Si Ayu sudah cerita tentang kamu, jadi kami ingin melakukan sedikit interview," kata abangku. 

"Interview itu apa, Pak?" tanya Bang Torkis. 

Wah, benar-benar kuno apa bodohi ini, masalah interview saja dia gak tahu. 

"Sedikit wawancara,"

"Oh, silakan, Pak,"

"Kamu itu orang mana?" tanya Ayah. 

"Mandailing, Pak,"

"Oh, orang tuamu tinggal di mana?"

"Saya sudah tak punya orang tua, Pak, yang ada orang tua angkat,"

"Oh, ya, umurmu berapa, pekerjaan apa?"

"Umur saya dua sembilan, Pak, pekerjaan saat ini tidak ada," 

"Jadi mau makan apa kau buat adik kami, pekerjaan saja gak ada," kata Abangku. 

"Makan nasi, Bang,"

"Hahaha," aku jadi tertawa, jawaban Bang Torkis ini sangat jujur dan lucu. Akan tetapi hanya aku yang tertawa, ternyata ini hanya lucu untukku, tidak lucu bagi mereka. 

"Udah, jujur saja dulu, apa pekerjaanmu?" tanya abangku lagi. 

"Sudah saya bilang, Bang, saat ini tidak ada, mungkin setelah punya anak akan coba cari pekerjaan," kata Bang Torkis. 

"Ya, ampun, setelah nikah dan punya anak dulu baru kerja? gak beres ini, Ayu, kaulah berpikir," kata abangku, mereka lalu pergi satu persatu, untuk memberikan waktu untuk kami bisa berdua dan bicara. 

"Bang, sejak kapan abang kenal aku?"tanyaku pada Bang Torkis, karena aku merasa dia seperti sudah kenal betul padaku, dia bahkan tahu nama lengkapku. 

"Sudah lama aku ikuti Facebookmu, aku kagum padamu, ketika tahu si Doli meninggalkanmu, aku langsung minta pendapat guru sekaligus ayah angkatku, katanya, mendekati perempuan yang baru patah hati itu paling mudah, makanya kuberanikan diri langsung melamarmu," kata Bang Torkis. 

"Oh, jadi memang abang gak ada kerjaan?"

"Benar, kata guruku sekaligus ayah angkatku, wanita harus disenangkan, didampingi, gak usah kerja lagi kalau mau nikah,"

"Wah, gurumu sesat, Bang Torkis, itu ajaran sesat, manusia itu butuh uang," kataku, aku mulai merasakan Torkis ini memang kurang waras. 

"Memang butuh uang, makanya kita cari uang yang banyak dulu sebelum menikah, setelah nikah gak perlu kerja lagi, kata guruku, nikah itu ibadah terlama, bulan madu harus lama,"

"Berarti Abang banyak uang?"

"Alhamdulillah, cukup untuk bulan madu setahun," 

"Bulan madu setahun, berapa uangmu, Bang, mana lihat dulu," 

"Iya, guruku bilang jika ingin cari wanita yang benar-benar tulus, jangan kita tunjukkan uang kita, jangan cari wanita yang pandang uang kita,"

"Ah, siapa gurumu itu, Bang, kok dia saja yang abang bilang dari tadi,"

"Parlindungan Siregar, dia guruku, panutan sekaligus Ayah angkat, orang biasa manggil beliau Bang Parlin,"

Lelaki macam apa ini, biasanya pria selalu membanggakan pekerjaannya, membanggakan kendaraannya, hartanya, ini malah datangnya pun naik becak. Uangnya berapa pun gak boleh diketahui,apakah pria ini datang dari masa lalu? Jadi timbul niat isengku untuk mengujinya. 

"Jadi begini, Bang, sebelum aku terima lamaran Abang, aku ingin mengatakan dengan jujur saja, aku mau mas kawin mobil dan rumah, selain uang seratus juta dan emas dua puluh gram." kataku kemudian. 

Dia tampak berpikir sejenak, lalu ....

"Guruku bilang, tidak boleh tunjukkan kekayaan, "

"Dari tadi guru terus, bisa gak?"

"Bisa, akan saya usahakan dalam seminggu ini," katanya. 

Wah, sekaya apa kau Bang Torkis, rumah dan mobil mau kau usahakan dalam satu minggu?

Komentar

Login untuk melihat komentar!