Cinta Bisa Merubah Segalanya
Menantu Dari Desa

Karya; Bintang Kejora 

Part 6

Karena ibuku pingsan kami gagal atau lebih jelasnya tertunda pergi beli mobil, aku ambil minyak kayu putih, oleskan ke hidung ibu. Akhirnya Ibuku siuman juga. 

"Aduh, Ayu, ayu, yang kau pikirnya beli mobil itu kayak beli sepatu," kata Ibu seraya memegang kepalanya. 

"Bang Torkis yang mau beli mobil, aku cuma menemani, Mak," jawabku. 

"Ya, udah, pergilah, hati-hati," kata ibuku kemudian, aku tahu apa kira-kira yang Ibu pikirkan, mungkin dia mengira kami hanya bercanda atau apa.

Becak motor pun dipanggil, kami naik berdua, Bang Torkis tidak mau duduk di sampingku, dia justru duduk di belakang Abang betor. Tempat duduk becak memang sempit, jika duduk berdua akan dempet, apakah Bang Torkis sesopan itu, tidak mau duduk berdampingan sebelum sah? 

Becak bukannya ke pasar, akan tetapi ke sebuah rumah yang agak jauh di pinggir kota. Rumah yang cukup besar. 

"Kita mau ngapain kemari?" tanyaku curiga. 

"Mau ngambil duitnya," jawab Bang Torkis seraya membayar ongkos becak. 

"Ngambil duit di rumah kosong begini," tanyaku makin curiga karena rumah tersebut sepertinya kosong, halaman depan rumah ditumbuhi ilalang. 

"Aku simpan uangnya di sini, ini rumah ayah angkatku, mereka tinggal di desa, makanya kosong." jelas Bang Torkis. 

"Gak takut hilang?"

"Gak, kata guruku rumah ini sudah dipagari, jadi gak bisa maling masuk,"

"Yang namanya maling panjat pagar pun bisa," kataku seraya mengikutinya dari belakang. 

"Bukan pagar secara kasat mata, tapi pagar gaib," 

"Ah, pagar gaib, aneh aja Bang Torkis ini."

"Sebaiknya tunggu di sini saja, gak usah ikut masuk, berduaan di rumah kosong itu yang ketiga nanti iblis," kata Bang Torkis lagi. 

Aku memang ragu untuk ikut masuk, takut juga, sepertinya Bang Torkis ini tahu yang kupikirkan, akan tetapi aku penasaran dengan uangnya, ingin juga kulihat sebanyak apa uang tersebut. 

"Jangan ikut masuk, tunggu di sini, nanti kita tergoda iblis," katanya lagi. 

"Ya, udah," kataku seraya mempersilahkan dia masuk sendiri. 

Beberapa saat kemudian, dia keluar lagi seraya menjijing tas kresek hitam yang cukup besar. 

"Mana uangnya?" tanyaku. 

Bang Torkis lalu menunjukkan isi tas kresek tersebut. Ya, Allah, ternyata isinya uang semua, uang merah pula. Wah, orang seperti apa yang membawa uang pakai tas kresek, kayak bawa sampah saja.

"Di mana beli mobilnya?" tanya Bang Torkis. 

"Hei, Ayu, beli mobil di mana," tanya Bang Torkis lagi, sementara aku masih terpana dengan uang satu kresek besar. 

"Di-di sana, Bang, kita naik taksol saja," kataku seraya mengambil HP dan memesan taksi online. 

Dadaku justru berdebar-debar, seumur hidup baru kali ini aku melihat uang sebanyak itu, kalau kami jadi menikah, uang itu jadi milik kami semua. 

"Bang, jujur saja dulu, abang kerja apa?" tanyaku ketika kami menunggu taksi datang. 

"Pengangguran, Dek,"

"Masa pengangguran punya uang sebanyak itu?" 

Bang Torkis justru diam, aku jadi makin curiga, dia kerja apa sampai harus dirahasiakan, Jangan-jangan abangku benar, dia bertani ganja, atau baru menjual warisan, atau jangan-jangan ....? Ah, pikiranku jadi tak macam-macam. 

"Bang, apa sih susahnya bilang pekerjaan abang apa, segitu berbahaya kah sampai harus dirahasiakan dari calon istri," tanyaku lagi. 

"Udah, nanti kita bicarakan," kata Bang Torkis. 

"Gak mau, entah mafia pula yang abang, biar pun kaya, gak sudi jadi istri mafia," kataku lagi. Bertepatan dengan itu taksi pesanan kami datang. 

Aku masuk mobil, kami berdua duduk di jok belakang. Bang Torkis sangat menjaga jarak, dia bahkan tak mau bersentuhan denganku. 

"Bang, ini berapa banyak?" tanyaku seraya menunjuk uang di tas kresek tersebut. 

"Enam ratus," 

"Enam ratus juta?"

"Iya," 

"Hasil jual ganja berapa kilo lah ini?" tanyaku memancing. 

"Ayu, ini uang halal ya, gak ada jual ganja,"

"Jadi jual apa?"

"Sini kuceritakan, aku itu kerja beternak sapi, sudah sebelas tahun, jadi aku jual semua sapinya, untuk modal nikah," kata Bang Torkis. 

"Sapi?"

"Iya, sapi, ini kan bulan haji, baru kujual semua,"

"Kenapa dijual?"

"Untuk modal nikah," 

"Berapa banyak sapinya?"

"Sekitar dua ratus ekor lebih," 

Aku mulai berhitung, tentu saja aku tak tahu harga sapi, akan tetapi Ayah baru berqurban, satu orang dua juta seratus, kali tujuh orang, berarti harga sapi sekitar empat belas juta, kali dua ratus ekor, berarti dua milyar delapan ratus juta. Waw! Pantas saja dia bilang dia bisa beli tiga Pajero secara tunai. Ternyata Bang Torkis ini bukan kaleng-kaleng. 

Taksi yang kami tumpangi terus berjalan, Bang Torkis sibuk melihat ke luar, aku justru sibuk menghitung uang Bang Torkis. 

"Bagaimana bisa Abang punya dua ratus ekor sapi?" tanyaku lagi. 

"Karena guruku, Pak Parlin,"

"Kenapa dia?"

"Begini, Ayu, kau itu terlalu banyak ingin tahu,"

"Ya, jelaslah, namanya calon suami,"

Taksi sampai di dealer mobil Mitsubishi, setelah membayar ongkos, kami pun turun dari mobil. 

"Kawan-kawan di desa sudah banyak yang beli Pajero," kata Bang Torkis seraya melihat-lihat mobil. 

"Oh, ya," kataku heran, selama ini menurut pandanganku orang desa itu miskin, kata Bang Torkis sudah banyak yang beli Pajero, apakah di desa sudah berubah? 

"Ini, cocok?" kata Bang Torkis seraya menunjuk mobil warna Silver. 

Setelah bertanya harga, karyawan itu meminta data pribadi, Bang Torkis malah minta dataku.  

Ketika karyawan dealer itu bertanya tentang cara bayar, Bang Torkis bilang kes, para karyawan sampai melongo ketika Bang Torkis menunjukkan isi tas kreseknya. 

"Aku percaya padamu, tolong jangan sia-siakan kepercayaanku, mobil ini atas namamu," kata Bang Torkis. 

"Kenapa, Bang?"

"Aku gak pande bawa mobil, Ayu,"

"Aku juga gak pande, Bang,"

"Terus buat apa kita mobil?"

"Entah," aku juga bingung, aku mau mobil hanya untuk pamer ke mantan. 

"Bagaimana, Pak, Bu, silakan tes drive dulu," kata karyawan itu. 

"Bagaimana, Ayu?" tanya Bang Torkis. 

Bagaimana mau tes, bawa mobil saja aku tidak pandai, Bang Torkis pun ternyata tidak pandai. Kami jadi bingung sendiri. 

"Setelah harga cocok, deal dan melakukan pembayaran, mobilnya akan kami antar dalam tiga hari," kata pegawai dealer itu lagi. 

"Tapi kami mau pake hari minggu, Bu," kata Bang Torkis. 

"Oh, hari senin baru bisa diantar, Pak,"

"Bagaimana, Ayu? Sekarang terserah kamu, tapi aku mau cerita nasehat ayah angkatku," kata Bang Torkis. 

"Nasehat apa, Bang?"

"Belanjalah sesuai kebutuhan, bukan keinginan, sebenarnya ini sudah melenceng dari prinsip hidup yang diajarkan Pak Parlin padaku, aku telah belanja karena keinginan, bukan kebutuhan, parahnya, bukan keinginanku pula, tapi keinginanmu,"

"Lah, kenapa mau?"

"Cinta, cinta bisa merubah segalanya, aku cinta padamu, Ayu," 

Duh, aku jadi meleleh.

Komentar

Login untuk melihat komentar!