Sekretaris 04
-------------------------
Revisi
Bergegas aku melenggang menuju meja kerjaku. Drama baru akan segera dimulai, enggak mungkin, kan, aku dilabrak. Istrinya Pak Ahmad tipe yang nrimo. Pengalaman sebagai sekretaris membuatku hafal karakter istri-istri atasan. Ribut, enggak nyaman, tak ada kepercayaan, mencari pelampiasan, kemudian akhirnya berpisah.
Sebenarnya sudah ada yang mengajakku menikah, tapi ogah ah, aku masih muda ini. Nanti malah disuruh berhenti bekerja ngurus anak, ngurus kerjaan rumah, ih, bukan aku banget pokoknya.
Aku masih ingin bertualang mencari yang ganteng, kaya, dan sholeh. Pak Ahmad memenuhi kriteria, dia masih muda dan juga tampan, biasanya atasan-atasan sebelumnya sudah berumur. Paling aku hanya menggerogoti harta mereka untuk membeli barang-barang branded. Lumayan buat upload di media sosialku.
Ngomong-ngomong, kok, Pak Ahmad belum kelihatan, ya? Apa dia betul-betul ribut hingga sekarang? Kan, aku uploadnya tadi malam. Ngapain juga masih di rumah kalau ribut, datanglah padaku duhai Ahmad ....
"Dewi, kamu ke ruangan saya sekarang!" Tiba-tiba Pak Ahmad muncul di hadapanku, memberikan perintah dengan suara yang lantang.
"Baik, Pak," jawabku terkejut.
Tidak berapa lama Rahma datang di sebelahku, ia juga masuk ke ruang kerja Pak Ahmad. Kami bertiga duduk dalam diam.
"Bisa jelaskan foto ini? Istri saya tidak sengaja lihat WA story di hp saya." Pak Ahmad bertanya padaku.
"Oh itu, anu," jawabku tidak siap memberikan alasan.
"Sengaja dia, Pak, pecat saja!" ujar Rahma mengompori.
"Enggak kok, Pak, biasalah anak muda, Pak. Lagian kan wajah Bapak enggak kelihatan," elakku sewajar mungkin. Menyembunyikan kegelisahan.
"Wajah saya memang enggak kelihatan, tetapi istri saya tahu pasti, kalau itu saya," tukasnya.
"Sengaja dia, Pak. Biasa dari dulu sukanya caper." Rahma kembali memprovokasi.
"Apaan, sih? Itu aku foto pas kebetulan aja enggak kelihatan Mbak Rahmanya."
"Kamu kan, tahu, saya suruh sholat bareng di sini karena cuma saya dan Rahma di mushola. Saya terpaksa tidak sholat jama'ah di masjid karena ada tamu dari Myanmar," jelas Pak Ahmad.
"Iya, Pak. Tidak akan saya ulangi."
"Untung saja Rahma punya foto waktu kita selesai sholat bertiga. Kalau tidak, bisa rame di rumah."
"Kamu juga foto-foto?" tanyaku pada Rahma.
"Aku nggak niat foto kayak kamu karena waktu itu ada klien yang telepon pas sholat. Aku ambil foto saja dengan caption, ini baru selesai sholat, terus kukirim ke dia untuk meminta maaf tidak mengangkat telepon darinya. Kamu, kan, sedang asyik lihat hape, mana tahu kalau aku ngambil foto," jawab Rahma panjang lebar.
"Sudah-sudah, yang penting masalah ini selesai. Tolong dihapus ya, biar tidak terjadi salah paham," pinta Pak Ahmad padaku.
"Iya, Pak."
"Sudah sana, kembali bekerja. Saya hari ini mau ke Pabrik, enggak usah ikut," lanjutnya.
Aku dan Rahma saling melotot, dari dulu kami memang tidak cocok. Dia selalu dekat dengan atasan, katanya sih, kerjanya bagus. Emang gue pikirin? Awas kamu Rahma bikin gagal rencanaku saja.
"Kamu pasti sengaja," ujar Rahma.
"Kalau iya, kenapa?" tantangku.
"Aduuh tobat dong, kamu enggak kapok-kapok dari dulu begitu."
"Suka-suka dong, jangan ikut campur!"
"Awas kamu kalau berulah lagi!"
"Biarin!"
Rahma berlalu dengan muka cemberut, awas saja dia kalau berani menggangguku.
Segera kubuka aplikasi, aku harus menghapus postingan di medsos sesuai perintah Pak Ahmad. Eh, kok rame gini?
'Dasar halu tingkat dewa, itu kan, sholatnya sama aku.' Rahma91.
Ramai komentar di bawahnya, menanyakan kebenaran captionku. Netizen benar-benar tidak bisa dibungkam.
Awas kamu Rahma, bikin malu saja. Segera kutulis balasan, 'kan memang jadi imamku, salahnya dimana?' Aku menunda untuk menghapus foto, biarkan saja dulu. Aku enggak salah, kok.
***
Teleponku berbunyi, Kakak menghubungi untuk meminjam uang, selalu saja begitu. Itulah sebabnya aku tidak betah tinggal dengannya dan memilih untuk ngekost.
Aku bertanya buat apalagi sekarang? Buat periksa ke dokter katanya, anaknya sakit, demam, batuk, nafasnya juga susah. Huh! Ada-ada saja. Terpaksa aku mengirimkan sejumlah uang. Aku malas banget ke sana. Sering disuruh-suruh beli ini itu, tetapi enggak pernah dikasih uang. Alasannya aku masih single, gajiku utuh, enak saja.
Ah iya, lupakan tentang Kakak, aku seharian ini cuma bertemu sebentar dengan Pak Ahmad, membuat aku kangen padanya. Mau telepon enggak mungkin, enggak ada yang penting. Oh iya, keponakanku kan, sakit. Konsul, ah.
[Pak, ponakanku kok, batuk enggak sembuh-sembuh, dikasih apa, ya?] klik. Kukirim pesan singkat itu melalui aplikasi hijau. Benar saja langsung dibalas.
[Kamu hubungi istri saya saja, saya tidak mengerti.]
[Enggak enak, Pak. Belum terlalu kenal.]
[Ya sudah, saya tanyakan.] Balasnya. Tak lama Pak Ahmad mengirimkan pesan lagi.
[Batuknya gimana? Berdahak atau berbunyi ngik-ngik?]
Kujawab aja asal, yang penting bisa chatting berlama-lama. Akhirnya dijawab, [Saya tanya istri dulu, ya, obatnya apa.]
Yes berhasil! Kalau konsultasi masalah sakit kan, enggak mungkin ditolak. Besok-besok aku akan mengarang cerita, siapalah yang sakit demi chatting malam bersamanya untuk mengisi kesepianku.
Ahmad-ahmad! Sebentar lagi kau akan masuk ke perangkapku. Kalau cara langsung nggak mempan mungkin bisa dengan cara halus.
Setiap ada kesempatan aku berkonsultasi tentang masalah kesehatan. Kasihan bener istrinya, pasti serius ngasih jawaban. Kadang malam, sore, atau pas tanggal merah. Asyiknya punya mainan baru.
Sesekali aku juga curhat, terbiasa chatting, jadi sekarang sudah tidak sungkan lagi. Kadang ditanggapi, kadang dicuekin. Namanya juga usaha. Aku Dewi Rahayu gitu, loh.
#CeritaHayati
Catatan Penulis.
Pembaca dimohon bijak memilah mana yang baik dan buruk. Kisah ini ditulis tidak untuk ditiru hal-hal negatif yang dilakukan oleh tokoh utama. Barokallahu fiikum.