Orang Ketiga

Sisi melenggokkan badannya sedikit ke kiri dan kanan di depan cermin sambil memperhatikan dengan cermat pantulan bayangannya. Warna biru lingerie yang melekat di tubuhnya semakin menonjolkan keindahan kulit Sisi yang mulus dan seputih susu. Sungguh, di usia pertengahan tigapuluhan ini lekuk badan Sisi masih sangat ideal. Dengan tinggi badan sedang-sedang saja, tubuhnya tampak langsing. 

Jari-jari Sisi mencubit sedikit lemak yang menumpuk di bagian pinggang dan perut.******kecewa keluar dari bibirnya. Ternyata setiap hari mati-matian berlatih di fitness centre, belum cukup untuk menjaga tubuhnya agar tetap seramping dulu, seperti saat usianya baru menginjak angka duapuluh.

Ini tidak bisa dibiarkan! Lemak-lemak itu harus diusir secepatnya. Jangan sampai menumpuk bertambah banyak dan membuat tubuhnya bergelambir di sana-sini. Sisi merinding memikirkan kemungkinan itu. Dia bertekad menambah jam latihannya. Setiap inci lemak dan selulit itu harus segera dibakar dengan olahraga. 

Kini bola mata Sisi melebar. Wajahnya hampir menempel di cermin. Pandangannya menelusuri  bayangan wajahnya. Telunjuknya bergerak perlahan menelusuri dahi lalu turun ke area mata, mencari kerutan halus atau flek hitam. Jari lentik itu, membelai lembut lingkar matanya. 

Napas Sisi tertahan karena ia menemukan guratan samar di sana. Belum terlalu terlihat memang, tapi satu kerutan yang paling halus pun adalah bencana yang harus segera diatasi dengan segera, sebelum menyebabkan malapetaka yang lebih besar. Dia langsung mencatat dalam hati untuk segera mengunjungi dokter kulitnya.

Sisi merasa harus selalu tampil prima untuk mempertahankan statusnya sebagai istri Stefan. Dan percayalah, mempertahankan pernikahan, terutama dengan pria seperti Stefan, bukanlah sesuatu yang mudah. 

Dunia sungguh tidak adil, pikir Sisi resah. Mengapa pria justru bertambah tampan mempesona saat usianya bertambah? Aura kedewasaan dan kemapanan finansial di usia matang justru membuat daya tarik pria melesat tinggi. 

Seperti Stefan suaminya. Dia adalah contoh nyata pria mapan yang jadi incaran wanita. Tubuhnya tetap atletis di usia pertengahan tigapuluh. Kerutan halus di sekitar matanya, yang terlihat lebih jelas kalau Stefan tertawa, malah membuat pria itu terlihat lebih menarik. 

Pesona Stefan meroket naik berkali-kali lipat dengan memakai stelan baju dan sepatu bermerk, mengendarai mobil Mercedes Benz terbaru, memiliki dompet berisi kartu-kartu kredit platinum dan jabatannya sebagai Direktur Utama Nusa TV. Sungguh paket yang menggiurkan bagi wanita-wanita muda pemburu harta.

Sisi buru-buru mengalihkan pandangannya dari cermin. Ujung matanya melihat Stefan keluar dari kamar mandi. Air menetes dari ujung-ujung rambut Stefan, mengalir ke punggungnya yang tegap dan berakhir di handuk yang melilit pinggangnya. 

Asal-asalan Stefan menggosok kepalanya dengan handuk hingga helaian rambutnya jatuh berantakan menutupi dahi. Dengan rambut basah dan acak-acakan begitu, Stefan sungguh terlihat begitu tampan. Sisi mengeluh dalam hati, dia yakin banyak wanita sulit menolak pesona pria di depannya ini. 

Sisi meraih handuk dari tangan Stefan. “Baru jam lima, Fan. Kok pagi-pagi sekali sudah siap-siap?” Sisi menepuk-nepuk lembut punggung Stefan. Menghapus titik-titik air yang tersisa di sana.

“Aku ada janji breakfast meeting dengan Arifin,” jawab Stefan singkat. Tangannya meraih kemeja biru muda.

“Baru jam dua pagi kamu pulang. Sekarang sudah mau berangkat lagi. Kamu bisa sakit kalau terus-terusan kerja enggak ingat waktu seperti ini. Fisikmu juga perlu istirahat.” Sisi meletakkan handuk lembab di sandaran kursi, lalu membantu mengancingkan kemeja Stefan. “Lebih baik bilang saja sama Arifin supaya meeting-nya digeser lebih siang. Jam kantor biasanya baru mulai jam delapan. Jadi kamu nggak perlu buru-buru berangkat sepagi ini. Kita bisa sarapan dulu.” bujuk Sisi lembut.

“Enggak bisa. Jadwal meeting ini nggak mungkin dirubah. Kamu kan tahu Arifin sibuk banget,” Stefan menjawab sambil menyisir rambutnya. Sama sekali tak melihat wajah Sisi. “Dia cuma punya waktu pagi ini. Selesai meeting dia langsung terbang ke New York. Dan baru pulang dua minggu lagi.”

Sisi juga mengenal Arifin. Dia direktur salah satu Bank yang menangani urusan keuangan Nusa TV. Mereka pernah beberapa kali bertemu. Dan yah, memang Arifin memang sama sibuknya dengan Stefan. Pasti tidak mudah menjadwalkan pertemuan mereka pagi ini, apalagi kalau harus menjadwal ulang. 

 “Hmmm… kalau memang tidak mungkin digeser jadwal meeting-nya, paling tidak kamu jangan mulai aktivitas dengan perut kosong. Aku buatkan teh manis hangat, ya? Lumayan untuk menghangatkan perut.”

Kerutan muncul di dahi Stefan mendengar usulan Sisi. Stefan tak pernah menyukai teh. Dia adalah coffee person. Tapi Sisi berkeras kalau minum kopi, apalagi di pagi hari dalam kondisi perut kosong, sangat tidak baik untuk kesehatan.

“Sorry, nggak sempat. Aku harus berangkat sekarang.” Stefan mengikat tali sepatu, mengalungkan dasi, menyimpulnya dan menyambar tas lalu bergegas keluar kamar seperti pemburu sedang mengejar kancil. Sisi termangu sesaat melihat Stefan keluar dari kamar secepat kilat. Bergegas dia memakai jas kamar untuk melapisi lingerie-nya, lalu mengikuti langkah Stefan.

“Tapi nanti malam kamu dinner di rumah kan? Kamu ingin makan apa? Nanti aku siapkan." Sisi membuntuti Stefan menuruni tangga. 

Walau lembut, Sisi bisa berkeras hati untuk mendapatkan tujuannya: quality time bersama Stefan. Sarapan dan dinner yang Sisi tawarkan bukan cuma soal makan bersama, tapi soal kebersamaan. Sudah lama sekali mereka tak pernah bertukar cerita di meja makan. Moment istimewa itu sudah lama terhenti atas nama kesibukan dan pekerjaan. 

Beberapa tahun terakhir Stefan selalu melewatkan sarapan karena harus berangkat pagi-pagi seperti hari ini. Jam makan siang pastinya Stefan masih di bekerja di kantor. Dan waktu makan malam pasti sudah lama lewat saat Stefan sampai di rumah. Itupun kalau dia pulang, pikir Sisi sendu.

“Jadwalku padat sampai malam, Si. Ada meeting ulang tahun Nusa TV sore ini. Nggak tahu jam berapa selesai. Kamu dinner duluan saja. Jangan tunggu aku,” Stefan menjawab tanpa menoleh. Ia terus melangkah cepat.  

 “Masa sih kamu sibuk terus? Hampir setiap hari kamu pulang malam. Kali ini… saja, Fan. Aku minta kamu pulang agak sore, please. Sudah lama sekali kita nggak pernah dinner berdua. Atau kita dinner agak malam saja ya? Aku tunggu kamu pulang,” Sisi masih berusaha membujuk. “Aku... aku... kangen,” kalimat terakhir diucapkan sangat lirih. Nyaris seperti bisikan. Suara Sisi bergetar pelan, nyaris tak terdengar. 

Tapi bisikan lirih itu tetap sampai di telinga Stefan. Refleks, langkah Stefan terhenti. Ia tahu tidak mudah buat Sisi bicara soal kangen. Dibesarkan dengan gelimang harta namun miskin perhatian membuat Sisi tak terbiasa mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata. Kalau ia sampai bicara seperti itu berarti rindu benar-benar membuncah, memenuhi hatinya. Tapi saat ini Stefan tidak punya waktu untuk menanggapi perasaan Sisi. Dia sudah punya janji dengan orang lain yang lebih penting. 

Atas nama kesopanan Stefan berbalik. Menjawab sambil tetap menjaga jarak. “Sory banget, Si. Aku benar-benar nggak bisa...” Cuma itu jawabannya. Stefan tak melanjutkan kata-katanya, karena semua yang akan diucapkannya seolah menguap saat memandang wajah sendu Sisi. Berjuta alasan yang ada di benaknya seakan tak ada artinya.  

Stefan masuk ke dalam mobil yang mesinnya sudah menyala. Karyo, supirnya, sudah siap di belakang setir. “Aku pergi dulu,” katanya sebelum pintu mobil tertutup. Berpamitan sambil lalu pada Sisi yang masih termangu. 

Mobil melaju meninggalkan aroma asap tak terlihat. Sisi menghela napas panjang. Mencoba menghilangkan nyeri yang mendadak menyergap hatinya. Curiga. 

Dari dulu Stefan memang sibuk dengan pekerjaannya. Tapi kali ini naluri Sisi sebagai wanita membisikkan firasat adanya kehadiran orang ketiga dalam pernikahan mereka.


Komentar

Login untuk melihat komentar!