Ternyata yah, selain pacaran dengan Mayla, nantinya Stefan juga menjalin hubungan dengan Elena.
Ikuti terus deh, gimana ceritanya Elena yang sudah punya pacar bisa terpikat Stefan.
Tungguin juga pembalasan tiga wanita yang bikin Stefan menyesal seumur hidup. ======================================
“Lama amat sih! Kaki pegel nih, dua jam nonstop berdiri nungguin kamu di sini! Mana banyak nyamuk lagi!”
Semburan omelan Andro menghentikan langkah Elena. Kaki Elena yang tadi bergerak lincah langsung diam membeku.
Padahal dari ruang kantornya di lantai tiga tadi, Elena sudah setengah berlari. Nekat menantang resiko kepeleset atau terkilir dengan memilih menuruni tangga menggunakan high heel, daripada harus menunggu lift yang kecepatannya setara dengan siput yang sedang jalan-jalan sore di pematang sawah.
Saking terburu-burunya, Elena sampai tidak sempat membalas sapaan ramah Pak Topo, satpam yang setia menjaga pintu masuk kantor Beautifull Magazine. Biasanya Elena menyempatkan diri ngobrol sebelum pulang dengan Pak Topo. Kali ini Ia hanya sempat membalas sapaan ramah Pak Topo dengan seulas senyum dan lambaian tangan.
Super buru-buru Elena melintasi halaman kantor, menghampiri sosok Andro yang berdiri menjulang di sisi gerbang masuk kantor Beautifull Magazine. Persis di samping pos satpam. Elena sungguh merasa tak enak hati sudah membiarkan Andro menunggu.
Sambutan Andro yang ketus sebenarnya sudah bisa diduga. Emosi Andro memang tidak disalurkan dengan bentakan bernada tinggi, suara baritonnya justru datar. Dengan nada rendah yang nyaris berdesis. Tapi dua tahun jadi pacar Andro tentu Elena sudah hafal, makin datar dan dingin suara Andro berarti dia makin marah.
Benak Elena berputar cepat, mencari cara untuk menurunkan suhu kemarahan pacarnya. Tenang... tenang..., Tarik napas-keluarkan, tarik napas-keluarkan. Elena mengucapkan mantra kesabaran dalam hati. Berharap tambahan oksigen yang masuk ke paru-parunya bisa meningkatkan level kesabarannya menghadapi Andro. Setiap orang pasti perlu kesabaran ekstra kalau menerima omelan pedas setelah seharian capek bekerja.
Elena memasang ekspresi polos. Memajang senyum semanis gula merah cair yang dituangkan di atas kue serabi. Mata Elena yang bulat dan berbingkai bulu mata panjang dan lentik, memancarkan sinar inosen. Wajah persis anak kucing yang menggemaskan ini biasanya mampu melunturkan amarah Andro.
Jawaban Elena keluar dengan intonasi yang diatur. Menggunakan vokal bulat dan merdu persis seperti penyiar radio paling terkenal di seluruh Indonesia. Nada suara lembut membujuk nan merayu. “Ya, maaf deh, Yang. Tadi Pas aku sudah siap-siap mau pulang, eh mendadak Bu Nita kasih kerjaan. Terpaksa aku selesaikan dulu... Aku sudah coba kasih tahu kamu lewat WA, kalau aku bakal keluar terlambat.”
Elena tahu lebih baik mengalah saat Andro ngomel-ngomel begini. Kalau dilawan, emosi Andro bakalan tambah naik. Dan urusannya bisa jadi tambah panjang dan lebar. Untungnya stok kesabaran Elena berlimpah-ruah, hingga ia tidak mudah terpancing menghadapi emosi Andro yang gampang naik turun. Hmmm… walau bisa dibilang sebenarnya emosi Andro lebih sering naiknya daripada turun.
Sayang jurus pertama yang Elena gunakan untuk menjinakkan Andro belum menampakkan hasil yang berarti. Omelan Tuan Besar Andro masih berlanjut.
“Aku sudah telanjur sampai di sini waktu WA kamu masuk. Jangan mau dong, dikasih kerjaan mendadak pas jam pulang. Tolak saja! Bilang kamu sudah ada janji gitu,” rasa kesal Andro tergambar jelas di wajahnya. Bibirnya mengerucut cemberut, alisnya yang tebal hampir menyatu di pangkal hidungnya. Tangannya terlipat di dada. Celana dan jaket jeans gombrong yang dipakainya tidak mampu menyembunyikan posturnya yang tinggi dan kurus.
Sabar… Sabar… Sabar… Orang sabar itu subur. Sekali lagi Elena merapal mantra. Subur rezekinya, asal jangan subur badannya.
Dalam hati, Elena merasa beruntung (sudah dimarahi masih merasa untung juga) karena omelan Andro diluncurkan saat kantor Beautifull Magazine sudah sepi. Begitu juga kantor-kantor di sebelahnya. Kalau saja pertengkaran ini terjadi lebih awal, bisa-bisa mereka jadi tontonan gratis selepas jam kerja buat pegawai-pegawai di kawasan perkantoran ini. Iiih… memalukan. Bertengkar di jalan, seperti ABG labil saja.
Elena mendekat masih dengan ekspresi ala-ala anak kucing. Tangannya terulur, mengelus lengan Andro. “Bagaimana menolaknya, An? Kamu kan tahu, Bu Nita itu Pemimpin Redaksi Beautifull. Pemred loh,” nada suara Elena menekankan status Bu Nita sebagai pemimpin Beautifull Magazine. Mudah-mudahan Andro sadar, bukan urusan gampang menolak perintah Bos-nya itu. “Kata-katanya nggak bisa dibantah. Semua perintahnya harus dikerjakan. Apalagi aku masih anak baru di sini.”
Elena sama sekali tidak mengada-ada. Ini bukan cuma alasan yang dikarang untuk meredakan emosi Andro. Sungguh. Siapa sih yang bisa menolak pekerjaan dari sang Big Boss yang super jutek itu.
Bu Nita tidak pernah mau menerima jawaban tidak. Jangankan cuma kasih kerjaan tambahan menjelang jam empat sore, kalau Bu Nita minta meeting jam 12 malam, pasti semua manager bakalan terbirit-birit ke ruang rapat Beautifull Magazine.
Manager loh. Apalagi Elena yang baru lulus kuliah dan masih berstatus pegawai magang. Calon karyawan. Belum diangkat menjadi pegawai tetap.
Menolak tugas dari Bu Anita beresiko nggak lulus masa percobaan. Prospek untuk diangkat sebagai pegawai tetap dijamin bakal batal. Hiii... amit-amit. Jangan sampai deh. Elena merinding membayangkan kemungkinan dipecat dari pekerjaan pertamanya. Bisa merusak catatan prestasi di CV-nya.
Lagipula Elena ogah mengambil resiko dipecat, karena sedang senang-senangnya bekerja di bagian promosi Beautifull Magazine, majalah yang mengulas trend dan gaya hidup wanita muda dari kalangan menengah ke atas.
Walaupun setumpuk event promosi Beautifull bikin dia sibuk setengah mati, tapi Elena happy karena bisa bertemu banyak orang dengan macam-macam profesi. Juga karena bekerjasama dengan team yang super kreatif, kocak dan swear deh kompak banget. Kalau soal kecerewetan dan sifat perfeksionis Bu Anita, well itu masih bisa dia handle.
Yang justru sulit bagi Elena adalah membagi waktu antara pekerjaan dengan Andro. Andro nggak juga bisa mengerti kalau jam kerja Elena itu penuh ketidakpastian. Bukan jenis pekerjaan yang mengijinkan masuk jam delapan pagi dan pulang pas jam lima sore.
Kesibukan mengurus event beda banget dengan pekerjaan yang sifatnya rutin. Makin dekat hari pelaksanaan event, berarti timbunan pekerjaan yang harus diselesaikan jadi makin tinggi. Dan pekerjaan itu nggak bisa ditunda kalau mau event berjalan mulus. Kalau sudah begitni otomatis jam kerja resmi tidak berlaku. Teng-go, langsung pulang begitu jam kerja berakhir, cuma ada dalam khayalan.
Tidak jarang jam kerja Elena baru berakhir jam saat jarum jam menunjuk angka sepuluh. Bahkan kadang-kadang berlanjut sampai pagi lagi.
“Ya, kamu bilang saja terus-terang ke Big Boss-mu itu,” suara Andro makin tajam. “Jam kerja sudah selesai. Kalau masih ada pekerjaan yang belum kelar kan bisa dilanjutkan besok.” Andro memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Bentuk halus dari berkacak pinggang di mata Elena.
“Kerjaan tuh bakalan ada terus, nggak akan habis. Kalau ngurusin kerjaan melulu, bisa-bisa hidup kita berantakan. Kayak sekarang…,” Andro mengacungkan jam tangannya. “… lihat nih sudah jam berapa? Terlambat deh. Film yang mau kita lihat pasti sudah mulai.”
Elena mencari tangan Andro. Menggenggamnya erat. Elena harus sedikit menengadah kalau bicara dengan Andro dalam jarak sangat dekat seperti ini. Padahal ia sudah memakai sepatu dengan hak tujuh senti.
“Ya…, sorry banget deh, An. Yuk, kita berangkat ke mall saja sekarang. Jangan marah terus. Kalau kamu ngomel terus disini, nanti kita jadi lebih terlambat,” kini Elena mengeluarkan jurus pamungkas. Paduan ekspresi kucing dengan suara selembut merpati. Menggunakan strategi mengalah untuk menang.
Elena mencoba mengerti posisi Andro. Menunggu di samping pos satpam pasti nggak enak banget. Tidak ada tempat duduk, plus bonus dirubung nyamuk yang rajin keluar waktu senja begini. Apalagi rencana nonton ini sebenarnya sudah direncanakan jauh-jauh hari.
Cemberut di wajah Andro sedikit berkurang. Meski rasa kesalnya belum hilang seluruhnya karena bakal terlambat menonton sekuel film action kegemarannya.
Dan kali ini dewi keberuntungan berpihak pada Elena, bujukannya berhasil menahan omelan Andro. Logika cowok itu terpaksa mengakui kebenaran kata-kata Elena. Makin lama dia ngambek berarti mereka akan makin ketinggalan film yang sudah ditunggu-tunggunya.