Sisi bertemu Stefan pertama kali di acara peresmian hotel baru milik Sudirno. Waktu itu Stefan baru saja lulus kuliah dan diterima sebagai pegawai baru di perusahaan ayah Sisi. Dia bertugas sebagai penerima tamu di acara peresmian itu.
Tergesa-gesa Sisi menekan pintu lift. Dia terlambat. Begitu pintu lift terbuka Sisi bisa melihat pintu ballroom yang tertutup rapat.
Pasti acara di dalam sudah mulai, pikir Sisi cemas. Sudirno sangat mendewakan ketepatan waktu. Pasti ayahnya marah karena ia terlambat. Padahal Sisi sudah memperkirakan waktu dengan cermat. Jalan tol macet total gara-gara truk trailer terguling dan menutupi separuh lebar jalan.
Kaki Sisi sudah pegal dan sedikit lecet. Tidak mudah berjalan cepat dalam balutan gaun malam semata kaki dan hak sepatu setinggi sembilan cm.
“Maaf boleh saya lihat undangan ibu?”
Tangan Sisi yang sudah terulur untuk mendorong pintu ballroom berhenti di udara. Seorang bergerak cepat. Dalam sekejap mata ia sudah berdiri di depan Sisi. Menghalangi usahanya untuk segera masuk.
“Aduh, undanganku ketinggalan,” jawab Sisi tambah panik.
“Maaf, anda tidak bisa masuk tanpa undangan.”
“Saya memang diundang,” kata Sisi cemas. “Tapi undangan saya ketinggalan di mobil. Please, saya boleh masuk kan?”
“Mungkin anda bisa minta tolong supir untuk mengantarkannya ke sini?”
“Nggak bisa, Supirku sedang isi bensin.”
“Maaf sudah peraturan,” cowok itu menggeleng dengan raut prihatin. Dia benar-benar tidak bisa diajak kompromi.
Sisi memandang berkeliling, mencari-cari pegawai ayahnya yang mengenal siapa dia. Sialnya tidak ada satupun orang yang dikenalnya.
Sisi menggigit bibirnya gemas. Dia melirik nametag yang terpasang di dada cowok itu: Stefan.
“Begini ya, Stefan. Mungkin kamu pegawai baru yang tidak mengenal saya. Saya adalah Sisi, putri Bapak Sudiro, pemilik hotel ini.”
Biasanya Sisi tidak suka menonjolkan nama orangtuanya, tapi kali ini dia kepepet. Mau tidak mau dia menyebutkan nama ayahnya agar pemuda tampan di depannya ini membiarkannya masuk ke ruangan ballroom. Eh, sebenar apa katanya tadi? Tampan? Sisi jadi malu sendiri.
“Eh, aduh, maaf, maaf sekali Kak Sisi…” Stefan menggaruk pelipisnya. Dia merasa bodoh karena tidak mengenali Sisi.
Memang sih mereka belum pernah bertemu, tapi paling tidak foto-foto Sisi bersama Pak Sudiro sering muncul di berbagai media, bahkan sekarang Stefan baru ingat ada satu foto keluarga Sisi di ruang kerja Pak Sudiro.
“Mari, saya antar, Kak…” katanya dengan sigap mengiringi Sisi memasuki ruang ballroom.
Dan Stefan tidak pernah beranjak dari samping Sisi. Dia dengan sigap menyediakan seluruh keperluan Sisi. Mengambilkan goodie bag, minuman dan makanan kecil termasuk souvenir di akhir acara.
Itulah awal segalanya. Perlahan mereka mulai akrab. Awalnya di antara mereka hanyalah hubungan antara atasan dan bawahan. Kemudian meningkat menjadi teman baik. Lalu tumbuhlah bunga-bunga asmara di antara mereka.
Tentu saja sesungguhnya Sisi lah yang jatuh cinta setengah mati pada Taufan. Sebaliknya Taufan hanya melihatnya sebagai alat untuk mencapai kesuksesan. Stefan berniat menikahi Sisi untuk mendapatkan harta dan kekuasaan sebagai menantu konglomerat.
Stefan yang cerdas segera menyadari Sisi adalah kartu keberuntungannya. Sejak dekat dengan Sisi, karir Stefan melesat jauh. Karena itu Stefan memutuskan harus bergerak cepat. Dia tidak boleh membuang waktu. Banyak pria lain di luar sana yang juga mengincar Sisi.
Satu kelebihan Stefan sebagai kekasih adalah dia memiliki kepekaan untuk memahami wanita. Stefan bisa segera tahu bagaimana menaklukkan hati Sisi. Dia bisa melihat di balik berlimpahnya harta dan kemewahan yang dimilikinya, Sisi membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Hingga tak sulit membuat Sisi jatuh cinta pada pesona Stefan.
Tantangan paling berat bagi Stefan justru melepaskan pacar-pacarnya. Goodbye Lilian, Mariska, Stella dan banyak nama wanita lainnya. Stefan tidak lagi berhubungan dengan wanita manapun. Dia yang biasanya berlaku sebagai playboy kini berubah menjadi pria yang setia. Stefan tahu dia harus bersih supaya Sisi tidak boleh curiga.
Enam bulan sejak mereka pacaran Stefan langsung mencari kesempatan untuk melamar Sisi. Stefan mempersiapkan diri dengan baik, walaupun yakin Sisi tidak akan menolak lamarannya. Dan Stefan memilih tempat yang paling romantis untuk melamar Sisi: Bali.
Tentu saja Sisi menyambut gembira ajakan Stefan. DIa sama sekali tidak menyangka Stefan akan mengajaknya menghabiskan weekend di vila pribadi keluarga Sudirno di Bali. Biasanya sulit sekali mengajak pria itu liburan. Stefan selalu sibuk dengan pekerjaannya.
Stefan betul-betul memanjakan Sisi selama liburan itu. Setiap detik mereka habiskan berdua. Sisi benar-benar menikmati moment-moment ini. Suasana Bali memang memanjakan pasangan seperti mereka.
Sore itu mereka menghabiskan waktu berjalan bergandengan tangan menyusuri pantai. Senja terakhir di Bali untuk mereka berdua. Esok mereka akan kembali ke rutinitas kehidupan di Jakarta dengan pesawat paling pagi.
Tangan Stefan menggenggam erat jemari Sisi. Langkah mereka meninggalkan jejak di pasir yang lembut. Sarung pantai bermotif cerah yang digunakan Sisi berkibar-kibar dipermainkan angin. Kaos ungu tanpa lengan yang dikenakannya membiarkan tangannya sesekali bersinggungan dengan Stefan. Sentuhan ringan tanpa sengaja yang mampu memicu desir menyenangkan di dada Sisi. Hatinya seperti ingin meledak karena bahagia.
Sebaliknya Stefan tak terlalu menikmati perjalanan kali ini. Tumpukan pekerjaan menantinya di Jakarta. Dia tidak boleh terlalu banyak membuang waktu untuk berlibur kalau ingin sukses meniti karir. Terlebih lagi sesungguhnya ia sudah punya janji lain dengan Serena. Gadis cantik yang baru dikenalnya minggu lalu. Tapi apa daya, ia harus menyenangkan hati Sisi, karena dia adalah golden ticket untuk masa depan Stefan.
“Kita duduk di situ yuk, Aku ingin menikmati sunset.” Stefan menunjuk ke satu titik. Berjalan maju beberapa langkah, menggandeng tangan Sisi. “Di sini tempat paling bagus untuk melihat matahari yang terbenam.”
Sisi tersenyum mengikuti langkah Stefan. “Darimana kamu tahu ini tempat paling bagus untuk melihat sunset di sepanjang pantai ini?” mereka duduk berdampingan beralaskan pasir lembut, menghadap bentangan air laut hingga di cakrawala.
“Instingku terlatih untuk menentukan yang terbaik. Aku selalu bisa menentukan yang terbaik. Bisnis terbaik, properti terbaik semuanya.”
Mereka duduk berdampingan. Sisi mengikuti pandangan Stefan yang menerawang jauh ke cakrawala.
“Aku suka sunset,” cetus Stefan. “Peristiwa alam yang sangat indah. Menawarkan suasana yang damai.
Sisi memiringkan kepalanya. Melihat bola jingga yang perlahan tenggelam, “Bagiku sunset adalah perpisahan yang menyedihkan. Detik-detik saat matahari pergi meninggalkan bumi. Membiarkan bumi sendirian dalam gelap.”
“Tapi hanya perpisahan sementara…” kalimat Stefan tidak usai.
Sisi menoleh, menatap mata Stefan yang menawan. Mereka berpandangan. Sisi bisa melihat jauh ke dalam bola mata coklat Stefan. Merasakan hembusan napas Stefan membelai pipinya.
“Matahari pergi dengan janji untuk kembali. Dan ia tak pernah ingkar janji.” Jemari Stefan membelai pipi Sisi.
Semburat jingga muncul menghiasi langit. Matahari bergerak perlahan. Air berwarna biru menutupi bola jingga itu. Seperti selimut tebal beludru yang halus dan tebal. Sisi menyaksikan perubahan itu dengan napas tertahan. Pesona sunset kali ini sangat memikat untuk Sisi.
“Bisakah kita bisa bersama terus seperti ini, Fan?” tanya Sisi dengan lembut. “Hanya kita berdua,” Sisi merebahkan kepalanya di bahu Stefan. Menghirup aroma maskulin pria itu. Membiarkan helai-helai rambutnya yang dipermainkan angin senja menyapu punggung Stefan.
“Tentu saja kita akan selalu bersama, Si. Selamanya berdua. Tidak ada yang bisa memisahkan kita.” Jari-jari Stefan menyelimuti jemari Sisi yang mungil. Ia merasakan getaran ponsel di kantong celananya. Sekali. Dua kali. Ketiga. Baru terdiam. Pasti Serena.
“Sungguh? Tidak akan ada wanita lain selain aku?” Sisi menatap wajah Stefan. Menyelami bola mata Stefan. Mencari kepastian. Kejujuran.
Sebagai seorang playboy kawakan, Stefan bisa merasakan keraguan di hati Sisi. Ia merengkuh bahu Sisi. Menatapnya dalam. “Tidak ada wanita lain di hatiku, Si. Cuma kamu.”
Sisy menghirup napas dalam-dalam. Pandangan Stefan mampu membuat jantungnya berdebar dua kali lebih kencang
“Selamanya?”
“Well, Stefan melepaskan tangannya dari bahu Sisi. “... dengan syarat...”
“Dengan syarat?” mata Sisi membulat tak percaya. Benarkah kata-kata orangtuanya kalau Stefan mengincar aset keluarga Sudiro? Atau syaratnya Stefan bisa tetap berkencan dengan wanita-wanita cantik lain.
Ya Tuhan, jangan biarkan semua itu terjadi, Sisi memohon dalam hati. Ia takkan sanggup hidup tanpa Stefan.
“... dengan syarat,” Stefan berhenti, tersenyum melihat kepanikan yang menggelepar di wajah Sisi. Stefan merogoh kantung celana pendeknya dan mengeluarkan kotak beludru berwarna hitam. “Si, sudah enam bulan aku menyimpan cincin ini. Menanti kesempatan dan mengumpulkan keberanian untuk meminta sesuatu padamu...”
Jantung Sisy melompat-lompat. Saat melihat isi kotak itu. Sebentuk cincin bermata berlian yang sangat indah terletak di dalam kotak.
“Priscilla Alexandra, maukah kamu menikah denganku...?”
Penuh haru Sisi mengangguk. Mata Sisi berembun saat Stefan memasukkan cincin itu ke jari manisnya.
Pernikahan mereka dilaksanakan tidak lama setelah itu. Di awal pernikahan Sisi dan Stefan, sangat banyak orang curiga, termasuk ayah Sisi, kalau Stefan menikahi Sisi semata-mata karena aset yang kelak diwarisinya dari kedua orangtuanya. Tapi Sisi tidak percaya semua omong kosong orang itu. Sisy sangat mencintai Stefan sejak awal pertemuan mereka.
Cinta Sisi terus tumbuh dan berkembang subur setelah mereka menikah. Hingga saat ini Stefan adalah pusat kehidupannya. Dan Sisi percaya cinta Stefan juga sebesar cintanya.
Atau tidak?
Login untuk melihat komentar!