Di Apartemen Mayla
“Ke apartemen,” perintah Stefan pada sopir pribadinya, tanpa mengangkat wajahnya dari layar ponsel. 

Seperti biasa, ia memanfaatkan waktu di jalan untuk bekerja: mengecek e-mail, mengirim pesan ke Renita sekretarisnya, juga membalas pesan-pesan penting yang masuk ke ponselnya. 

“Ya, Pak,” Karyo yang duduk di belakang setir menjawab dengan hormat. Ia langsung mengerti maksud Bosnya. Karyo memacu kendaraan dengan kecepatan sedang. Mumpung kemacetan belum menghadang.

Stefan menekan tombol ponselnya. Ia menunggu sesaat. “Aku, on the way.”

***

Pintu apartemen itu langsung terbuka pada dering bel pertama. Mayla memang sudah menanti Stefan, tamu istimewa yang kedatangannya selalu disambut dengan sepenuh hati.

“Hai, sayang,” sapa Mayla merdu, sembari menarik lembut tangan Stefan. Kaki jenjangnya mendorong pintu apartemen hingga tertutup. Lengannya yang ramping memeluk leher Stefan.  “Kok lama sih? Aku sudah nunggu dari tadi....,” desah Mayla. Telunjuknya membelai dasi Stefan. “Aku kangeeen… banget sama kamu.”

Senyum Stefan terkembang lebar. Tangannya melingkari lekuk pinggang Mayla. Merengkuh gadis itu dan mendaratkan kecupan di pipinya. Aroma rempah yang sensual langsung membelai indra penciuman Stefan. Aroma yang sangat identik dengan wajah Mayla yang eksotis khas Indonesia. Pandangan Stefan membelai wajah Mayla, mengagumi hidungnya mungil, pipinya yang ranum dan bibirnya yang merona.

Di mata Stefan, penampilan Mayla kian memesona dengan postur tubuh yang tinggi dan sensual. Tanpa bantuan sepatu berhak tinggi, dengan mudah dia bisa mencium pipi Stefan. 

Dengan usaha keras menjaga kecantikan, menjelang usia tigapuluh ini, wajah dan tubuh Mayla masih seperti gadis di awal usia duapuluhan. Paduan penampilan prima dan suara merdu berhasil mengantar Mayla ke jenjang kesuksesan sebagai diva musik Indonesia. 

“Masa sudah kangen?” Stefan tertawa sambil mencolek ujung hidung Mayla. Sosok Stefan yang selalu serius, tegang dan jarang bicara apalagi tertawa kala di rumah akan menghilang saat dia bersama Mayla, berganti menjadi Stefan yang mesra dan hangat.  “Coba kuingat, kemarin malam kita dinner, lalu lanjut clubbing sampai hampir tengah malam. Jadi menurut perhitunganku kita baru berpisah beberapa jam saja.” 

“Iiih… dasar pengusaha. Semuanya dihitung-hitung. Lama-sebentar, untung-rugi,” Mayla ikut tertawa. Ia mundur selangkah, memiringkan wajahnya yang masih mengurai senyum, kedua tangannya menggenggam erat jemari Stefan. 

“Kita ketemu itu kan kemarin…, kemarin loh, Sayang. Hari sudah berganti, tanggal bertambah. Jadi buatku itu sudah lamaaaa… banget. Please deh, jangankan beberapa jam, sedetik aja kita pisah, aku langsung kangen berat sama kamu,” jawabnya sambil pura-pura cemberut. Rayuan dan kemanjaan Mayla terbukti mampu menaklukkan banyak pria. Termasuk Stefan. 

“Ok, jadi gara-gara kamu sekarang sedang kangen berat, aku bakal dibiarkan berdiri terus seharian, nih?”

“Oh, maaf, maaf, Sayang. Karena kangen jadi lupa deh. Nggak mungkin dong aku biarkan kamu berdiri terus. Kan sekarang kangennya sudah terobati,” Mayla tersenyum tersipu lalu memeluk lengan Stefan dan menggandengnya ke ruang makan. “Yuk, kita sarapan dulu. Kamu mau sarapan apa? Ada nasi goreng, roti bakar, bubur ayam…,” 

“Wow... wow, Enggak perlu serepot itu, May. Kamu kan tahu, aku nggak terbiasa makan banyak waktu sarapan. Secangkir kopi sudah cukup jadi bahan bakar energy-ku sepanjang hari.” Stefan menggeleng pelan melihat jejeran piring di meja makan. Nasi goreng, roti bakar, bubur ayam, omelette, telur rebus dan entah apa lagi tersedia di sana. 

Salah satu kebiasaan buruk Mayla adalah menimbun banyak makanan. Entah siapa yang akan menghabiskan semuanya, karena Mayla hanya tinggal bersama seorang asisten rumah tangga di apartemen ini. Dan seperti layaknya seorang artis papan atas, Mayla selalu menjaga asupan makanannya. Dia tidak akan membiarkan sedikit lemak pun muncul di tubuhnya.

“Iya sih. Tapi rasanya nggak tahan untuk menyiapkan sarapan lengkap. Aku kan nggak tahu hari ini kamu mau sarapan apa, Yang. Jadi aku siapkan saja semua. Jadi kamu bisa memilih makanan yang kamu suka.”  

“Aku lagi nggak mood makan nih, Kita ngopi di sofa aja, Yang. Sambil ngobrol. Enak, lebih santai.” Stefan menggandeng Mayla, beranjak ke ruang tengah. Ke sofa super empuk yang jadi tempat favorit mereka setiap kali ingin bersantai sambil memandang keramaian lalu-lintas Jakarta dari jendela kaca besar. 

Apartemen Mayla terletak di daerah strategis di tengah kota. Interiornya didominasi warna putih, dengan aksen kayu di sana-sini. Apartemen rancangan disainer interior ternama yang sangat elegan dan mewah. Tak heran  kalau biaya sewanya dihitung dalam Dollar Amerika. 

Stefan yang memilih apartemen itu. Hunian yang sangat menjaga privasi penghuninya ini pas sekali untuk Mayla yang penyanyi populer. Terlebih lagi jarak apartemen itu hanya lima belas menit dari gedung Nusa TV. Sangat praktis bagi Stepan untuk mencuri waktu berduaan dengan Mayla. Stefan tak ingin waktunya terbuang banyak di jalan untuk mengunjungi rumah Mayla yang terletak di pinggiran Jakarta. 

Tentu saja Mayla tidak keberatan pindah ke apartemen ini. Dibanding rumahnya yang mungil, tentu tinggal di apartemen ini bisa mendongkrak gengsinya sebagai artis papan atas. Buat seorang artis, penampilan dan gaya hidup sangat penting supaya tetap eksis di dunia selebritas. Tidak ada stasiun televisi atau event organizer yang mau menyewa artis miskin dengan penampilan pas-pasan. 

Mayla juga tidak perlu pusing soal biaya sewa apartemen, Stefan yang membayar semuanya. Terus terang walau telah dinobatkan sebagai seorang Diva, pendapatan Mayla tidak cukup untuk menyewa apartemen semewah ini. Penghasilannya dari bernyanyi off air dan on air, termasuk royalti albumnya yang meledak di pasaran. lebih banyak habis untuk membeli barang-barang yang menunjang penampilan. Harga gaun untuk pentas, make up, tas dan sepatu tidak murah. 

Apalagi sebagai seorang artis Mayla harus memasukkan liburan sebagai kegiatan rutin yang wajib dilakukan beberapa kali setahun. Jalan-jalan, foto-foto lalu di-upload di media sosial, kalau perlu mengundang wartawan untuk wawancara selama liburan.

Gaya hidup Mayla perlu dana yang tidak sedikit. Tak heran fungsi rekening bank-nya hanya sebagai tempat transit saja. Honornya cuma numpang lewat. Masuk sesaat lalu mengalir keluar. Tak pernah bisa bertahan lebih dari sebulan. 

Mayla sampai tak berani melihat rekeningnya sendiri karena kondisinya sangat menyedihkan, mirip ember bocor. Berapapun uang yang masuk akan segera keluar lagi, kadang-kadang dengan jumlah lebih besar. 

Besar pasak dari tiang jadi ungkapan yang pas buat Mayla karena pengeluarannya lebih besar dari pendapatan. Belum lagi tagihan dari beberapa credit card yang harus segera dilunasi kalau tak mau hutangnya bertambah dengan bunga dan denda. Untung transfer dari Stefan siap membayari semuanya. Kalau tidak? Mayla tak mau membayangkannya.

“Tunggu sebentar ya, sayang. Aku buatkan kopi yang paliiing… enak,” Sengaja Mayla berjalan gemulai agar Stefan bisa menikmati ayunan sensual tubuhnya dalam balutan gaun hijau muda bermotif garis-garis tipis abstrak. Ujung gaun itu mengayun ringan menyapu bagian atas lututnya saat pinggulnya bergerak, menonjolkan  tungkai Mayla yang sempurna. 

“Hmmm..., sedap,” Stefan menghirup aroma kopi yang menguar saat Mayla menuangkan cairan hitam kental itu ke cangkir. “Pasti lebih enak daripada kopi buatan barista profesional,” puji Stefan sambil mengedipkan mata menggoda. 

Mayla tertawa kecil. “Jelas dong. Enggak ada yang menandingi rasa kopi buatanku. Jadi sekarang nggak perlu lagi ngopi di café kan? Lebih baik di sini. lebih santai,” Mayla meletakkan cangkir-cangkir kopi itu di atas meja, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Stefan. Merasa puas, karena tidak percuma dia berkali-kali bereksperimen untuk menemukan takaran kopi paling pas khusus buat pujaan hatinya itu. 

Mayla selalu berusaha keras menyajikan hanya yang terbaik untuk Stefan, kopi, makanan, semuanya. Karena bagi Mayla, Stefan adalah penentu masa depannya, penopang kehidupannya, terutama di tanggal seperti ini, kala rekeningnya sekering sumur di musim kemarau dan membutuhkan asupan dana segar.

Rasa bahagia menyusup di hati Mayla. Rasa aman membungkusnya seperti kepompong setiap kali bersama Stefan. Mayla tahu Stefan akan membereskan semua problem hidupnya. Bersama pria itu, Mayla merasa seperti seperti seoran puteri di dalam dalam cerita anak-anak. Dia tidak sabar menanti akhir cerita: hidup bahagia selama-lamanya bersama Stefan.

Sayang, saat ini Stefan belum menjadi miliknya seutuhnya. Ada wanita lain yang memiliki Stefan. Wanita yang sesungguhnya lebih berhak menghabiskan waktu bersama pria itu. Wanita yang berstatus isteri sah Stefan. Mayla harus bersabar. Tapi dia yakin tak lama lagi Stefan akan menjadi miliknya utuh. Segera. Sebentar lagi.

Komentar

Login untuk melihat komentar!