Jantungku berdebar, bergemuruh. Lia tersenyum manis sekali, dan seolah senyum itu hanya untukku.
Untukku.
Lia tak hanya manis dia juga bintang di kelas kami. Cowok manapun akan jatuh hati padanya.
" Nino, nomor 13 dong." ujar Lia pelan.
Meski dia bintang kelas, di pelajaran Bahasa Indonesia aku selalu yang lebih menguasai. Dibanding dia. I know Lia sebenarnya mungkin sudah mengerjakan dia hanya memastikan jawabannya benar atau salah. Tapi cinta memang aneh, jadi aku memanfaatkan ini untuk pede kate.
" Majas Hiperbola. " jawabku dengan isyarat. Lia tersenyum lagi. Duh jantungku tambah gemuruh.
Jika cinta harus diungkapkan, aku setuju. Tapi aku harus menunggu waktu yang tepat, sehingga sinyal tak akan bertepuk sebelah tangan tak terlihat.
Satulagi aku harus tahu diri. Meski aku pintar, tampang ku tak setampan Beno yg mirip Verel Bramasta. Ohya Beno adalah teman sebangku ku. Beno anak pejabat teras kabupaten ini. Tajirnya? Jangan ditanya.
6 bulan lamanya, aku menyimpan rasa. Karena tak ingin menyimpan rasa lebih lama, malam minggu itu aku nekad mendatangi rumah Lia untuk menyatakan cinta.
Farfum sudah, cardigan sudah, topi sudah. Dengan metik kepunyaan Mas Iwan kakakku, aku akhirnya sampai di rumah Lia yang sederhana tapi asri dan rindang. Tapi begitu aku sampai di gerbang rumah Lia, di bangku taman, di bawah pohon mangga mataku melihat Lia dan Beno sedang bercengkrama hangat dan mesra. Jadi, senyum itu bukan untukku.
Aku patah, remuk hati. Tapi jalanku masih panjang, cinta bukan satu satunya yang harus aku perjuangkan. Ada banyak hal lain. Cita cita misalnya.
Login untuk melihat komentar!