Ibu Pendidik Generasi
Dalam sebuah keluarga, kehidupan anak bermula. Di sinilah ia mendapatkan pendidikan yang pertama dan utama. Di sini ia mendapatkan penanaman akidah sejak dini, pembiasaan pelaksanaan hukum Islam, keteladanan, dan penguasaan tsaqâfah dasar.
Gurunya adalah orang tua. Karena ayah terbebani kewajiban untuk mencari nafkah, maka tugas ini lebih banyak jatuh di tangan ibu.
Rasulullah SAW. telah menggambarkan pentingnya fungsi ibu dalam banyak hadis. Di antaranya beliau bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Nikahilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena sungguh aku akan membanggakan banyaknya kalian di hadapan para nabi pada Hari Kiamat.” (HR Ahmad).
Sayang, saat ini fungsi ibu sebagai pendidik anak telah bergeser. Para ibu disibukkan dengan upaya mencari nafkah. Sebagian karena dorongan kebutuhan ekonomi. Sebagian lagi termakan propaganda kesetaraan gender.
Akibatnya, pendidikan anak dalam keluarga tidak berjalan sempurna. Orang tua mencukupkan pendidikan agama anak hanya dari sekolah yang jauh dari memadai. Tidak heran bila kemudian kerusakan anak justru berlangsung di keluarga.
Fungsi ibu yang tidak berjalan juga terjadi di kalangan ibu-ibu tidak bekerja. Hal ini karena tidak adanya gambaran yang mereka miliki tentang fungsi keibuan yang mereka sandang.
Mereka menikah dan punya anak seolah sebagai sebuah skenario yang mesti mereka jalani seperti air mengalir. Tidak ada target dalam mendidik anak. Tidak pula merasa kelak akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Malahan kita dapat menemui ibu-ibu yang justru menjerumuskan anaknya dalam kerusakan. Ibu yang mengajak anak kecilnya untuk menonton sinetron, infotainment, tayangan mistik, dan sebagainya. Ibu yang menuruti semua keinginan anak, tidak memberikan batasan benar-salah atau baik-buruk, dan abai terhadap agama dan akhlak anak.
Masih banyak di antara kita, para ibu, yang gamang dengan persoalan mendidik anak. Kita menginginkan anak menjadi pemimpin, pejuang, dan pengemban dakwah, tetapi tidak sungguh-sungguh meraih keinginan tersebut, atau tidak tahu harus berbuat apa dalam mewujudkannya.
Kita tidak menyusun target-target yang jelas dan terukur. Kita tidak merumuskan langkah-langkah yang jelas. Kita tidak mengevaluasi perkembangan kemampuan anak dalam berpikir, berakidah, tsaqâfah, dan sebagainya.
Dalam kondisi seperti saat ini, kita, para ibu, selayaknya menoleh kembali sejarah para ibu hebat pada masa lalu. Meneladani upaya mereka. Mengambil semangat perjuangan mereka. Mengikuti langkah mereka dalam mencetak generasi emas, khayru ummah ukhrijat linnâs, umat terbaik yang dilahirkan bagi manusia.