Cara Islam Mengatasi Perburuhan
Perburuhan dalam Islam dinamakan ijarah. Dalam Islam, ijarah adalah: ‘aqd[un] ‘ala manfa’at[in] bi ‘iwadh[in] (akad/kesepakatan atas suatu jasa dengan adanya imbalan/kompensasi tertentu). Ijarah (perburuhan) adalah mubah (boleh).

Nabi SAW. juga bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering (HR Ibnu Majah).

Hadis ini menunjukkan kewajiban seorang majikan membayar upah buruh manakala telah selesai pekerjaannya. Hadis ini pun menunjukkan bahwa Nabi SAW. membolehkan aktivitas ijarah (perburuhan).

Dalam akad ijarah (perburuhan) ada beberapa rukun yang wajib diperhatikan:
(1) dua pihak yang berakad, yakni buruh dan majikan/perusahaan;
(2) ijab-kabul dari dua belah pihak, yakni buruh sebagai pemberi jasa dan majikan/perusahaan sebagai penerima manfaat/jasa;
(3) upah tertentu dari pihak majikan/perusahaan
(4); jasa/manfaat tertentu dari pihak buruh/pekerja.

Semua jasa yang halal dalam Islam boleh  di-ijarah-kan. Misal: jasa dalam industri makanan, garmen, otomotif, konsultan, pendidikan, dan sebagainya.

Sebaliknya, jasa-jasa yang haram terlarang pula untuk di-ijarah-kan. Misal: jasa pembuatan miras (minuman keras) dan yang berhubungan dengan miras (seperti: menjadi bartender, jasa pengangkutannya, jasa pembuatan kemasannya, dan sebagainya). Contoh lain: riba dan jasa yang berhubungan dengan muamalah ribawi (seperti: menjadi pegawai perbankan, leasing, dan lain-lain). Contoh lainnya: jasa menjadi perantara suap-menyuap, makelar kasus, dan sebagainya.

Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi dipicu oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka.

Dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.

Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.

Konsep dan solusi Islam di atas benar-benar telah teruji, ketika diterapkan oleh negara yang menerapkan Islam secara kaffah.