Gagal
Pagi-pagi sekali perutku terasa mules, padahal aku sudah berniat membuatkan sarapan spesial untuk Mas Rangga. Bagaimana mungkin aku bisa membuatkan sarapan jika sejak bangun tidur malah bolak balik ke kamar mandi. Duh!

Aku mengalami diare akibat memakan rujak kemarin. Saking enaknya aku sampai menghabiskan dua piring rujak hanya dalam sekali duduk. Kalau saja aku mendengarkan nasihat Mbok Irah, mungkin semua ini tidak perlu terjadi. Penyesalan selalu datang terlambat bukan?

Mas Rangga terganggu tidurnya akibat ulahku yang bolak-balik kamar mandi yang berada di dalam kamar kami. Aroma tidak sedap juga menjadi masalah baru karena exhaust di dalam kamar mandi sudah lama rusak. Duh! Gimana mau membuat Mas Rangga tergoda jika begini keadaannya. Gusti ....

"Mas, mau ke mana?" tanyaku saat mendapati Mas Rangga telah tampak rapi dengan kemeja lengan panjang dan dasi berwarna biru cerah. Biasanya aku membantu Mas Rangga bersiap.

"Berangkat kerja lah, mau ke mana lagi?" jawabnya tidak enak didengar.

"Libur dong, Mas. Tadi malam kan ... Mas pulangnya larut."

"Tidak bisa, pagi ini ada meeting penting," tolak Mas Rangga datar.

"Mas sudah mandi? Kok aku nggak tahu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan sambil mengendus punggung Mas Rangga.

"Gimana kamu tahu? Jika kamu sejak tadi bertapa terus di kamar mandi!" Mas Rangga mengambil kaos kaki dan duduk di pinggir tempat tidur.

"Mas mandi di kamar mandi belakang?" Aku menggeser kursi riasku, mendekat ke arahnya agar posisi kami saling berhadapan.

"Ya iyalah, di mana lagi? Kamu menguasai kamar mandi sejak pagi." Mas Rangga memasang kaos kaki di kaki kanannya dengan tergesa.

"Maaf perutku mules sekali, Mas," sesalku.

"Makanya kamu jangan makan rujak berlebihan, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik."

"Mas sudah sarapan? Aku buatin, ya?"

"Mas sarapan di kantor saja, tadi Mbok Irah sudah menyiapkan secangkir kopi untuk Mas."

"Roti mau?"

"Tidak usah. Hilang selera makan Mas, di rumah ini."

"Loh, kenapa? Biasanya Mas paling suka jika aku masakin."

"Bau. Masih membekas di ingatan. Mau muntah jadinya."

"Iih ... Mas, jahat. Istrinya sakit malah diomelin," rajukku berharap Mas Rangga membujuk.

"Mas jauh-jauh ke sini biar ada yang ngurusin bukan malah ngurusin kamu." Mas Rangga berkata dengan ketus.

"Mas?" tegurku.

"Mas capek, masih pegal rasanya seluruh persendian Mas." Mas Rangga merenggangkan tubuhnya.

"Mau aku pijetin, Mas?" tawarku manja.

"Telat. Sudah ya, Mas berangkat dulu." Mas Rangga meraih tas kerjanya di atas meja.

"Ya sudah, sun aku dulu, Mas." Aku menyodorkan wajah.

"Enggak ah, kamu belum mandi. Sudah ya, bye."

Mas Rangga berlalu, sikapnya tidak sehangat seperti sebelumnya, setelah bertemu Sita ia seakan orang lain, tidak seperti biasa. Entah apa yang dilakukan Sita saat bersamanya, apakah benar ia menguras seluruh tenaga Mas Rangga hanya untuknya seorang? Hingga aku kebagian capeknya saja? Huh dasar!

Aduh, perutku mules lagi. Spontan saja aku berlari masuk ke kamar mandi, bukannya mengantarkan Mas Rangga berangkat kerja sampai ke teras depan. Padahal itu adalah momen yang paling aku suka dan tidak pernah aku lewatkan sebelumnya. Mas Rangga, maafkan aku. Aku berjanji akan memberikan servis excellent jika nanti kamu pulang. Aku lebih hebat daripada Sita. Kamu harus mengingat hal itu.

***
Sejak pagi aku meminta Mbok Irah menata ulang perabot rumah. Menyiapkan menu makanan kesukaan Mas Rangga. Mengganti sprei dengan warna merah menyala, sebagai gambaran jiwaku yang sedang menggelora, merindukan sentuhan Mas Rangga.


"Mas ... makan siang di rumah, ya?" pintaku saat telepon terhubung siang ini.

"Mas nggak bisa, ada pertemuan dengan klien," jawabnya.

"Mas kok sibuk terus, sih?" protesku.

"Lah ... kan memang jadwalnya Mas kerja bukan libur, saat ini."

"Kapan ada waktu untukku?" Hiks, Aku mulai berpura-pura terisak.

"Sudah, jangan cengeng. Mas masih repot ini."

Mas Rangga memutus sambungan telepon seperti biasanya, padahal aku belum selesai bicara. Sebel! Apakah ia tidak merindukanku? Aku harus bersiap, menemuinya di kantor.

Saat di kamar mandi, aku menemukan bercak kemerahan di celanaku. Flekku bertambah, jika kemarin samar hari ini lebih jelas. Terang saja membuatku panik, segera  saja aku menghubungi Mas Rangga. Sayangnya nada di ujung sana, sibuk terus. Entah sedang berbicara dengan siapa Mas Rangga saat ini.

"Mboook!" teriakku dari dalam kamar.

"Iya, Mbak ... eh, Bu," jawabnya.

"Siapkan mobil, saya harus ke rumah sakit."

"Ibu kenapa?" tanya Mbok Irah khawatir.

"Ngeflek Mbok."

"Makanya Bu, Mbok sudah bilang, masih saja ngeyel makan nanas."

"Mbok, sudah deh jangan bawel. Cepetan!"

"Iya, Bu. Sabar."

Gimana mau sabar jika si mbok seperti ini menanggapi sakitku. Huh!

***
"Bu, mobilnya sudah siap. Supir juga sudah menunggu."

"Lah, Mbok kok belum siap-siap?"

"Mbok ikut?"

"Ya ... iya, lah."

"Sebentar, Mbok ambil kerudung dulu."

Mbok memang tidak mengenakan kerudungnya saat bekerja, tetapi jika keluar rumah ia akan mengenakannya. Karena itu aku memintanya bersiap.

"Ayo Mbok! Kelamaan, ih."

"Mbok matikan kompor dulu, tadi masih menghangatkan makanan. Kirain Bapak mau pulang."

"Nyebelin!"

"Eh ... kenapa, Bu?"

"Sudah, cepat!"

***

Bersambung



Komentar

Login untuk melihat komentar!