"Bu, ayo berangkat sekarang!" Mbok Irah menghampiri dan meraih tanganku.
"Aku enggak mau, mau nunggu Mas Rangga saja." Aku tidak mau bangkit.
"Nanti perutnya sakit loh, sekarang saja. Pak Rangga pasti sedang sibuk saat ini," bujuk Mbok Irah.
"Mbok apa aku memang tidak pantas dicintai?" Aku menatap Mbok Irah dengan wajah sedih.
"Kok ngomongnya begitu?" Mbok Irah mengusap bahuku pelan.
"Mas Rangga bahkan biasa saja saat tahu aku perdarahan." Aku mulai terisak, menutup wajah, putus asa. Merasa tidak berharga.
"Mungkin karena dia sudah pernah punya anak, Bu." Mbok Irah menjawab lirih.
"Mbok tahu kalau saya istri kedua?" Aku terkejut ketika mengetahui Mbok Irah tahu tentang statusku.
"Tahu lah. Pak Rangga sudah menceritakan semuanya. Mbok kan ikut Pak Rangga sudah lama," ujarnya.
"Apa katanya?" tanyaku penasaran, apa saja yang dikatakan oleh Mas Rangga. Kenapa dia tidak menutupi malah membuka statusku pada Mbok Irah.
"Ya intinya Ibu istri kedua. Itu saja." Mbok Irah tidak mau menjelaskan lebih lanjut.
"Iiih ... Mbok nyebelin, sama seperti Mas Rangga." Aku meraih gelas yang masih tersisa air sedikit dan meminumnya hingga tandas.
"Ayo kita ke mobil, Mas Supir pasti sudah menunggu. Apa perlu dibopong lagi?" tanya Mbok Irah.
"Enggak Mbok, kaki saya sudah baikan. Tadi cuma keseleo sedikit," tolakku. Yang benar saja dibopong lagi sama Deni sama saja membuka cerita lama.
"Makanya jangan pakai sepatu hak tinggi, Bu." Mbok Irah mulai berani menegurku.
"Saya sukanya yang ini," elakku.
"Kan sedang hamil, nggak boleh egois." Lagi Mbok Irah menegurku.
"Ya sudah, ambilkan sandal saya yang tidak berhak," pintaku.
"Iya, Bu." Mbok Irah berlalu menuju rak koleksi sepatu dan sandalku. Ia lalu membawakan sepasang sandal berwarna pink untukku. Dengan tertatih aku berjalan menuju mobil.
"Ayo, Mas Supir kita ke rumah sakit lagi." Mbok Irah membukakan pintu mobil untukku.
"Loh, bukannya sudah?" Deni menatapku dengan tatapan yang entah, seperti ada kerinduan di matanya.
"Ibu perdarahan. Sepertinya keguguran." Mbok Irah duduk di sampingku.
"Hus! Mbok jangan asal bicara!" tegurku tak terima.
"Maaf, maaf. Bahasa orang tidak pintar seperti saya begini ini, Bu. Maksudnya seperti orang mau keguguran." Mbok Irah menangkupkan kedua tangannya di dada.
"Ya sudah, kita ke rumah sakit sekarang, tapi ke IGD bukan ke poliklinik," ujarku.
"Asiap!" Deni berusaha mencairkan suasana.
***
Aku diperiksa oleh seorang dokter dan seorang bidan jaga IGD, keduanya bertanya secara bergantian. Termasuk tentang riwayat jatuh dan riwayat flek sebelumnya.
Lalu aku diantar ke radiologi untuk di USG, janinku telah keluar katanya. Bersih jadi tidak perlu dilakukan kuretase. Aku ngotot minta dirawat, semata ingin menenangkan diri. Biar Mas Rangga memberikan perhatian lebih padaku.
"Mbok, daftarkan saya rawat inap. Saya mau istirahat di sini dulu," pintaku.
"Loh, katanya boleh pulang?" Mbok Irah memandangku dengan heran.
"Saya belum mau pulang. Mau di sini saja," tegasku.
"Kasihan Bapak nanti bolak-balik rumah sakit." Mbok Irah malah membela kepentingan Mas Rangga bukannya berpihak padaku.
"Biarin! Mbok kalau mau pulang, pulang saja. Saya mau sendiri dulu." Aku memunggungi Mbok Irah.
"Ya Allah, Bu. Sabar. Jangan begini, berarti Ibu belum dipercaya sama gusti Allah. Belum waktunya." Mbok Irah membelai rambutku.
"Mengurus diri sendiri saja tidak becus ya, Mbok?" Aku menatap Mbok Irah, setelah mengubah posisi.
"Ya enggak gitu, belum saatnya saja."
Aku tersedu sambil memeluk Mbok Irah. Sedih sekali rasanya kehilangan sesuatu yang terlanjur disayang dan sangat diharapkan kehadirannya.
Saat ini aku benar-benar ingin sendiri, menata kembali hidupku. Apakah aku harus mengemis kasih Mas Rangga untuk seterusnya?
Aku lalu diminta menandatangani pernyataan bahwa rawat inap atas permintaan sendiri, dengan konsekuensi semua biaya ditanggung sendiri. Tidak bisa ditanggung oleh asuransi kesehatan. Tak masalah, uang bukan masalah saat ini. Buat apa aku memiliki Mas Rangga jika harus hidup susah?
***
"Rita, kamu baik-baik saja?"
"Kenapa teleponku tidak diangkat?"
Pertanyaan Mas Rangga bertubi-tubi saat ia datang dengan wajah sedikit khawatir. Hanya sedikit.
"Mas yang ke mana saja, aku sakit tapi dicuekin," rajukku.
"Maaf ya, Sayang. Mas beneran sibuk banget hari ini. Gimana masih sakit perutnya?" tanyanya masih dengan ekspresi wajah yang sama.
"Masih," ujarku berbohong, padahal aku tidak merasakan apa-apa. Seperti haid biasa saja.
"Kakimu kenapa, kok merah begini?" Mas Rangga mengelus pergelangan kakiku yang masih sedikit sakit.
"Keseleo, Mas. Tadi jatuh." Aku mulai terisak.
"Jatuh? Terus gimana?" Mas Rangga mengusap kepalaku.
"Untung ada Mbok dan Deni." Aku menurunkan tangan Mas Rangga dari kepala.
"Deni menggendongmu?" Mas Rangga duduk di kursi samping bedku.
"Ya enggaklah, cuma membantu saja." Aku mengalihkan pandangan, karena sedang berbohong.
"Dia masih muda dan masih single, takutnya dia tergoda sama kamu." Mas Rangga tersenyum.
"Aku? Emang aku secantik itu?" tanyaku cemberut.
"Iya dong, kamu cantik banget," rayunya.
"Iiih ... Mas, gombal." Mas Rangga memberikan perhatian lebih padaku karena opname di rumah sakit. Harusnya sejak flek aku sudah berada di sini.
"Jadi, Mas puasa nih?" Mas Rangga mengendorkan dasinya.
"Hmm ... Iya. Mau gimana lagi?" jawabku datar.
"Tega, jauh-jauh ke sini malah puasa." Mas Rangga melepas dasinya dan mulai******pada kedua lengannya.
"Mas sih, nggak perhatian sama aku," rajukku lagi.
"Maaf, maaf. Malam ini biar Mas temani ya." Mas Rangga melepas kemejanya, ia tampak gagah meskipun sudah hampir berkepala empat.
"Besok kan kerja, Mas."
"Enggak apa-apa, sudah biasa kok. Sita pernah keguguran juga dulu."
"Mas!"
Bersambung