Alija tak coba menghubungi Fadh, bukan kewajibannya memohon cinta pada pria. Lagipula Fadh sudah dewasa, Ia bisa memilah penyelesaian yang menurutnya paling baik. bukan paling tidak layak seperti yang kemarin Ia terima. Diminta turun dari mobil dan dibiarkan begitu saja.
Sulit memang melupakan hari-hari bersama Fadh, genap empat tahun mereka menjalin kasih. Dan hampir setiap saat Fadh mendesaknya menikah. Tapi lagi-lagi, rasionalitasnya lebih tinggi daripada keinginan sesaat. Ia sudah pertimbangkan jika menikah terburu-buru dan tanpa pertimbangan Ia akan semakin terkekang dalam arogansi Fadh yang bertunas sejak pria itu sukses.
“Hari ini Ia tak datang untuk mengantarmu ke bandara. Apa kalian ada masalah?” Ibu merasakan firasat ganjil.
Alija mengangguki, tanpa Ia katakan Ibu pasti sudah bisa menebak kalau Ia dan Fadh tak lagi berhubungan. Dari Ia yang tak lagi pernah menerima telephone Fadh atau Fadh yang tak lagi titip salam untuk Ibu. Ibu jelas membaca kebiasaan-kebiasaannya yang hilang.
“Ibu harap kau tak terlalu memikirkan masalah pribadimu. Kau bertugas disana, jangan sampai gara-gara kau tidak konsentrasi menangani pasien, ada laporan kau melakukan mal praktek.”
Alija mengangguki nasehat Ibu, Ia menyeret koper pakaian yang akan dibawanya ke teras “Doakan Alija bisa mengamalkan ilmu Alija disana ya Bu.” Alija memeluk Ibu sekilas.
“Ibu doakan semuanya lancar disana. jangan lupa telephone Ibu setibanya kamu disana.”
“Assalamualaikum Bu ” Alija pamit pada Ibu.
Ibu membalas salamnya sambil menatap kepergian putri tunggalnya. Perempuan itu sengaja tak mengantarnya sampai bandara karena Alija yang melarang. Alija tak ingin merepotkan Ibu yang sudah tua hanya untuk mondar mandir kesana kemari.
Selepas punggung Alija menghilang dari pandangan mata, kelopak mata ibu basah. Ia menangis haru, masih tak percaya putrinya telah menjadi dokter dan akan segera mengamalkan ilmunya.
Pesawat yang Alija tumpangi mengalami delay, sehingga Alija yang harusnya tiba di bandara Kualanamu siang hari baru bisa menginjakkan lantai bandara terminal kedatangan menjelang petang.
“Bagaimana ini?” Alija belum bisa memetakan rencana akan naik apa. Angkutan umum atau taxi. Taxi jelas lebih mahal, tapi naik angkutan umum petang begini mau berapa lama perjalanan.
“Alija.” suara teguran membuyarkan lamunan Alija yang sedari tadi berdiri mematung di seberang pintu stasiun kereta bandara.
“Mas Yasin?” Alija melongo kaget, tak menyangka bertemu disini.
Ia menyerahkan travel bag pada penjemputnya dan menghampiri Alija
“Kau sedang apa disini?” Yasin memperhatikan travel bag yang Alija bawa.
“Aku menjalani ikatan dinas disini.”Alija menjelaskan tujuan kedatangannya.
“Kau sendiri?” Alija ganti bertanya padanya. Sempat Ia lirik penjemput Yasin yang sudah masuk ke mobil.
“Aku sudah mendapatkan pekerjaan yang sesuai disiplin ilmuku. Aku diterima di perusahaan infrastruktur dan akan mulai terlibat proyek pembangunan jalan tol.”
Alija mengangguk paham. Bersamaan panggilan adzan Maghrib terdengar.
“Sudah masuk waktu sholat.” Yasin berujar
“Iya, aku permisi dulu ke musholla.”
“Aku juga akan kesana. Ngomong-ngomong apa tidak ada yang menjemputmu?”
“Pihak puskesmas sebenarnya ingin menjemput. Tapi aku pikir tadi pesawat tiba siang dan aku bisa jalan-jalan dulu. Tidak terpikir akan delay seperti ini.”
“Taruh saja travel bagmu di mobil. Kita shalat dulu, nanti ke tempat dinasnya biar ku antar.”
“Apa tidak merepotkan?”
“Tidak. Kan ada supir kantor.”
“Baiklah. Sebelumnya terima kasih.”
“Sama-sama.” Yasin mengambil alih travel bag Alija dan bicara sebentar dengan supir kantor sebelum menghampiri gadis itu lagi dan beriringan ke musholla.
Mobil yang dikendarai supir meninggalkan bandara menuju arah Amplas. Kemacetan panjang mengular. Bus-bus malam dan angkutan umum yang mangkal disepanjang arah Amplas membuat antrian kendaraan susah terurai.
“Kau berangkat sendiri apa tidak takut tersesat dikota ini?” Yasin memecah hening diantara mereka. Ia duduk di samping supir yang mengemudikan mobil sementara Alija di jok tengah.
“Tidak. Soalnya sudah diberitahu orang puskesmas harus naik angkutan umum apa saja.”
“Fadh, apa Ia tidak khawatir?”
Alija terdiam sesaat, teringat hubungannya dengan Fadh yang sudah berakhir “Dia sedang sibuk.”
Alija berbohong, Ia belum ingin menceritakan pada siapapun apa yang sebenarnya terjadi pada hubungan mereka.
Ia memejamkan mata, berusaha menghapus bayangan Fadh dan semua kenangan yang pernah mereka bingkai sambil mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Ia tahu setibanya nanti di Brastagi Ia harus mengobrol dulu dengan pemilik rumah, menata barang-barangya dan menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya esok hari. Dan itu akan mengurangi waktu tidurnya, akan lebih baik kalau di perjalanan yang jauh ini ia benar-benar memanfaatkannya untuk beristirahat.
“Alija, kita sudah sampai.”
Alija mendengar suara Yasin ditengah heningnya malam. Ia membuka mata dan beringsut menegakkan sandaran punggungnya “Maaf, aku tertidur.”
“Tidak pa pa, mungkin kau letih.” Yasin memaklumi.
Alija menoleh keluar jendela, mobil sudah berhenti dimuka pekarangan sebuah rumah. Rumah kepala puskesmas tempatnya bertugas nanti.
"Terima kasih pak sudah mau mengantar." Alija berucap pada supir kantor sebelum membuka pintu mobil.
"Iya kak." si supir mengiyakan.
Yasin mengikuti Alija turun dari mobil dan membuka bagasi belakang untuk membantu menurunkan travel bag Alija.
"Maaf sudah merepotkan. Terima kasih mas sudah mau mengantar."
“Sama-sama. Sampai jumpa lain waktu. Assalamualaikum." Yasin berpamitan.
“Walaikumsalam.” Alija melambaikan sebelah tangan saat mobil yang mengantar Yasin berlalu.