Semenit, dua menit, lima belas menit berlalu Alija hanya duduk memesan air mineral dan mengisi waktu dengan membaca buku pintar tanaman obat yang dibawanya.
“Maaf menunggu lama.” sebuah tangan menyentuh pundaknya.
Alija menoleh, Fadh berdiri disebelahnya dengan tas laptop tersampir di pundak dan snelly yang berada dilipatan tangan kirinya.
“Tidak pa pa.“ Alija berdiri dari kursinya, melipat buku dan memasukkan ke tas lalu mengikuti langkah Fadh meninggalkan kantin, menyusuri koridor lantai dasar menuju lobby dan keluar ke halaman parkir tempat mobil Fadh berada.
Sepanjang perjalanan yang singkat ke mobil, benak Alija penuh oleh pertanyaan yang ingin Ia utarakan. Pertanyaan kenapa Fadh menjalankan praktik kedokteran yang mengacu pada kepraktisan.
“Aku tadi sempat menunggu di depan ruang praktekmu.“ begitu naik mobil dan mengenakan sabuk pengaman Alija langsung membuka pembicaraan.
“Aku tahu, Nur sudah cerita kalau kau tadi sempat menunggu di depan.” Fadh menyalakan mesin mobil dan mengendarainya pergi meninggalkan halaman parkir rumah sakit.
“Aku mendengar beberapa sesi konsultasi pasien denganmu.” Alija mengeluarkan uneg-unegnya.
“Dan….” Fadh seperti sudah bisa menebak ke arah mana Alija akan bicara.
“Luminal, typus tingkat 4, vitamin untuk melancarkan BAB, mas seperti resto cepat saji yang menyodorkan segala yang instant pada orang tua pasien.” Alija memprotes.
“Aku tahu, tapi pasien puas dengan pelayananku. Mereka mereferensikan pada saudara, teman dan kenalannya yang memiliki anak bahwa Aku dokter handal yang cepat memberi kesembuhan pada pasien.” tanpa rasa bersalah Fadh membanggakan hasil kerjanya.
“Tapi kau jadi seperti pedagang obat-obatan mas.” Alija mengingatkan.
“Alija, sadarlah. Kita bukan selebritas atau pejabat yang harus berada dalam rule untuk terlihat baik. Pikirkan berapa biaya pendidikan yang harus orang tuaku tanggung untuk mengambil kuliah kedokteran umum dan spesialisasi anak. Ini kompensasi yang pantas untuk biaya pendidikan yang tak murah” Fadh membela diri.
“Kau masih ingat apa yang di katakan Dr Gan Koeh Han, Guru Besar Mikrobiologi FKUI “Menjadi dokter itu baik. Menjadi pedagang juga baik. Tetapi bila mencampurkan keduanya, maka menjadi tidak baik sama sekali” Alija mencoba menasehati.
“Kau mengatakan itu dengan mudah karena kau tak mengeluarkan biaya pendidikan sepeserpun. Kau kuliah gratis dengan program beasiswa yang kau dapat, sedang aku ?. Orang tuaku mengupayakan anggaran pendidikanku dengan jerih payahnya sendiri.” nada suara Fadh mulai terdengar marah.
“Ini bukan gratis atau tidak gratis. Ini tentang etika kedokteran yang harusnya kita pahami bersama.” Alija masih tetap bersikeras mempertahankan prinsipnya. Ia menekankan nada bicaranya.
Fadh mendengus kesal, sepertinya Ia lelah berdebat dengan Alija. Ditolehkan kepalanya sekilas pada gadis yang dicintainya “Aku baru saja selesai praktik dan melayani hampir tiga puluh pasien yang mengkonsultasikan kesehatan anak-anaknya. Bisakah aku rileks saat bersamamu?”
Alija terdiam tak lagi ingin memprotes, Ia cukup mengerti apa maksud dari perkataan Fadh tadi. Fadh yang sudah sukses memang banyak berubah, Ia sekarang seperti tak terjangkau olehnya. Cara berpikir dan tindak tanduknya jauh dari Fadh yang dulu ia kenal.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam menenangkan hati masing-masing untuk tak memperbincangkan hal yang mereka lihat dengan sudut pandang berbeda.
“Tidak biasanya kau datang ke rumah sakit dan menungguku di depan ruang praktik. Biasa kau ke kantin sampai aku selesai praktik. Ada apa?” Fadh yang mulai merasa baikan mengalihkan topic pembicaraan.
“Aku lulus UKDI dan sudah mendaftar program internsip.“ Alija menyampaikan.
“Bagaimana dengan rencana pernikahan kita?”
“Kita bisa menundanya.” Alija tak menyampaikan alasan sebenarnya bahwa ia ingin sejenak menjauh dari Fadh dan memikirkan ulang hubungan mereka.
“Umurku sudah tak muda lagi Alija, aku sudah tiga puluh tahun.“
“Tapi dengan kesibukan pekerjaan kita masing-masing itu akan terasa sebentar Mas” Alija mencoba memberi pengertian.
“Omong kosong. Aku bukan orang yang sabar menunggu. Kita menikah dulu baru kau pergi mengikuti internsip.”
“Tapi mas, aku tak akan bisa fokus menjalankan internsip dan membuat mini project jika mendadak hamil.” kehamilan sebenarnya adalah anugerah dan Alija menyadari itu. Tapi membayangkan menikah cepat dengan Fadh yang belakangan banyak berubah dan mengakrabi orang tuanya, itu yang menjadi tekanan untuk Alija.
Alija ingat beberapa kali di pertemukan dengan orang tua Fadh yang pengusaha sukses, penerimaan mereka tak cukup hangat, mereka bersikap dingin. Dan Alija tahu penyebabnya, Ia yang anak seorang penjahit mungkin dianggap tak cukup layak untuk Fadh.
“Kau bisa. Ibumu pasti mendukung rencanaku. Tapi kalau kau masih ragu, kau boleh mendiskusikannya dulu pada Ibu.” Fadh mengusap ujung kepala Alija. membuyarkan lamunan gadis itu.
Alija terdiam tak ingin mendebat lagi. Ia yakin akan sia-sia mendebat Fadh, Fadh yang sedang emosi biasanya tak akan mendengarkan pendapatnya.
Pulang dari makan siang, Fadh mengantarnya pulang. Mobilnya berhenti diujung gang rumah Alija. Alija turun dengan menenteng sekotak donut yang dibelikan Fadh untuk Ibunya.
“Aku tak mampir ya. Titip salam pada ibumu.“ Fadh menyampaikan.
Alija mengangguki, Ia cukup mengerti Fadh. Pria itu paling enggan mampir ke rumahnya. Dari ekspresi Fadh saat pertama kali mengunjungi rumahnya, Alija paham pemuda itu kurang nyaman berada di rumahnya yang sempit dan mungkin terlalu sederhana.
“Aku pulang.“ Fadh mengemudikan mobilnya pergi diiringi lambaian tangan Alija.
Setelah mobil Fadh menghilang dari pandangan mata, Alija membalikkan badan. Berjalan menyusuri gang ke arah rumahnya yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari muka jalan.
“Assalamualakum Bu.“ Alija memberi salam setibanya di muka pintu rumah.
“Walaikumsalam.” Ibu keluar menyambutnya.
“Ini dari Mas Fadh. Dia titip salam untuk Ibu.” Alija menyodorkan kotak donut yang dibawanya.
“Ibu lebih senang dia mampir ke rumah daripada sekedar membelikan oleh-oleh.” Ibu Alija menerimanya dengan berat hati. Perempuan itu membawa kotak donut ke dalam.
Alija memperhatikan punggung Ibu yang berlalu ke dalam. Ia menarik nafas dalam-dalam, Ia mengerti Ibu. Ibu perempuan biasa yang masih mengedepankan nilai-nilai hidup. Baginya materi bukan segalanya, etika dan kesantunan lebih berharga dari apapun. Dan Ibu melihat Fadh tak terlalu memiliki itu, Ia pemuda yang dibesarkan dari keluarga mapan yang hanya mencintai putrinya. Itu mungkin pandangan Ibu.
“Dia sibuk. Masih ada jadwal praktik yang harus dikejarnya.“ Alija menyusul Ibu ke dapur. Ibu tengah meletakkan donut ke dalam kulkas.
Alija sengaja berbohong untuk Fadh. Hal yang sebenarnya membuat Ia merasa bersalah pada Ibu. Tapi bagaimana lagi, Alija tak punya alasan lain untuk menyelamatkan wibawa Fadh dihadapan Ibu.
“Lain kali kalau kau bertemu Fadh, sampaikan terima kasih dari Ibu.” Ibu menutup pintu kulkas dan berlalu ke ruang tengah untuk meneruskan jahitannya.
“Iya Bu. Alija permisi ke kamar dulu.“ Alija memandang sekilas Ibu yang mulai mengayuh mesin jahit tuanya untuk mengerjakan pesanan seragam sekolah TK.