Kekasih Dunia
Angkutan umum yang ditumpangi Alija berhenti di depan pelataran rumah sakit swasta Ibu dan anak. Alija turun, membayar ongkos angkutan dan membalikkan badan berjalan ke arah halaman rumah sakit.

Mobil-mobil pribadi tampak memadati area parkir, juru parkir tampak sibuk mengatur kendaraan yang hendak parkir dan mencarikan tempat parkir yang tersisa.

Alija melintas masuk ke arah lobby lalu naik ke lantai dua, tempat ruang konsultasi dokter anak berada. 

Pasien terlihat ramai di sabtu sore itu, beberapa Ibu tampak menemani anaknya bermain di area bermain yang disediakan, yang lain duduk menunggu dan ada yang berdiri menenangkan balitanya yang rewel.

Alija menghampiri muka salah satu dari empat ruang praktik dokter anak yang ada, perawat yang kebetulan keluar dari ruangan tak sengaja melihatnya.

“Eh Mba Alija.” perawat itu menyapa.

“Mas Fadh-nya lagi ramai pasien ya Muthia?” Alija membalas sapa perawat yang belakangan, sejak lulus sarjana kedokteran diakrabinya. Ya, sejak lulus Alija yang tak lagi punya aktivitas perkuliahan, ganti menyambangi Fadh ditempat kerjanya.

 “Tunggu saja di kantin. Nanti saya beritahu Dokter Fadh kalau Mba Alija datang.” Perawat yang dikenali namanya tersebut memberitahu.

“Saya tunggu di depan sini saja.“ Alija menempati bangku kosong yang menempel di depan ruang praktik Fadh. Sengaja Ia menunggunya di depan ruang praktik Fadh karena bosan selama ini menunggu dikantin.

Di kantin ramai dokter dan pengunjung rumah sakit yang makan, sementara Ia hanya sendirian, memesan air mineral lalu mendapat tatapan aneh dari penjaga kantin yang mungkin menganggapnya terlalu lama duduk disana tanpa memesan.

“Pasien atas nama Habib.” Muthia memanggil nama pasien yang tertera di kartu antrian.

Salah satu Ibu pasien yang menggendong bayinya berdiri menghampiri Muthia “Iya.”

“Setelah pasien di dalam keluar, giliran Ibu ya.” Muthia menyampaikan.

Ibu itu mengangguki, Muthia pun kembali ke dalam ruang praktik dokter Fadh yang pintunya separuh terbuka.

Pasien sebelumnya yang diantar Ibu Bapaknya telah selesai konsultasi, bayi Habib di gendong masuk ke dalam oleh Ibunya.

“Silakan duduk Bu.“ Fadh dengan ramah menyapa orang tua pasien.

“Iya Dok.“ Ibu Habib menempati kursi diseberang Dokter Fadh. Dokter muda yang memiliki wajah rupawan dan postur tubuh yang menunjang.

“Waktunya imunisasi DPT ya Bu.“ Dokter Fadh membaca historis di kartu pasien.

“Iya Dok. Nanti abis imunisasi demam nggak Dok?”

“Nanti saya resepkan luminal biar ngga demam.“ Dokter Fadh menyampaikan. Ia mencatatkan tindakan dan obat yang akan diberikan dalam lembar historis pasien.

“Makasih Dok. Kalau gini enak, saya nggak perlu khawatir lagi.” Ibu Habib tersenyum lega.

“Kalau gitu silakan dibaringkan bayinya Bu.” Dokter Fadh berdiri dari kursinya dan menghampiri ranjang periksa.

Diluar ruangan Alija yang menyimak obrolan di dalam tertegun, sebagai dokter Ia tahu kondisi demam setelah imunisasi DPT adalah normal. Itu akan menjadi pengalaman untuk orang tua dalam merawat anaknya.

Sebaliknya pemberian luminal adalah salah dan tak dianjurkan. Luminal adalah obat penenang syaraf yang bisa menyebabkan anak hiperaktif. 

Apa yang dipikirkan Mas Fadh?” Alija membatin.
 
Alija jadi teringat kalimat yang pernah dikatakan William J Mayo, pendiri Mayo Clinic “Tujuan ilmu kedokteran adalah mencegah penyakit dan mempromosikan kesehatan” bukan seperti yang Fadh lakukan, mempromosikan resep anti depresan untuk bayi.

Alija menarik nafas dalam, Ia tak mengerti kenapa Fadh melakukan itu. Padahal dokter seharusnya mengedepankan integritas dan etika kedokteran dalam menangani pasien. Bukan menyajikan kepraktisan bagi orang tua pasien.

Masih memikirkan Fadh dan cara kerjanya, pasien berikutnya masuk. Menyerahkan hasil labolatorium putranya yang berusia sembilan tahun pada Fadh. Fadh membuka amplop hasil lab dan melihat keterangan  yang tertera di dalamnya.

“Hasil lab-nya positif typus tingkat empat, saya anjurkan rawat inap agar bisa mendapat asupan yang cukup melalui cairan infuse.” 

Alija kembali menyimak apa yang disampaikan Fadh pada orang tua pasien. Ia yang mendengar kembali menggelengkan kepala heran, Ia merasa yang dikatakan Fadh tak benar. Setahunya Typus tingkat 4 masih bisa menjalani rawat jalan dengan syarat pasien mau makan minum, rutin meminum obat dan tidak mual serta muntah lagi.

Untuk memastikan itu, Fadh mestinya menanyakan pada orang tua pasien sebelum memutuskan perlu atau tidaknya rawat inap. 

Tubuh manusia bukan mesin mobil yang bisa diperlakukan secara parsial. Tubuh manusia tak hidup tanpa jiwa, perasaan dan pikiran. Semua berkelindan. Oleh karena itu kesehatan hidupnya ditentukan oleh keempat hal tersebut." Alija teringat kutipan yang pernah Ia baca dari pernyataan Dr. Tan Shot Yen, MHum di Jurnal Kesehatan.

Bukan dengan pendekatan mekanistik yang membuat manusia ‘mereparasi’ tubuh yang sakit dengan teknologi yang tersedia”  Alija menggumamkan kelanjutan apa yang pernah dibacanya.

Ia menyapukan pandang pada beberapa pasien yang masih menunggu giliran antri di depan ruang praktik Fadh. Ia berpikir apa lagi yang akan disarankan Fadh pada pasien yang datang berkonsultasi padanya.

“Marwa.” Muthia memanggil pasien berikutnya.

Seorang Ibu menggendong bayinya yang berusia sekitar delapan bulan masuk ke dalam.

“Keluhannya apa nih Bu?”

“Bayi saya sudah enam hari tidak BAB.”

“Masih ASI atau susu formula?”

“Susu formula Dok.”

“Mungkin fesesnya keras. Coba baringkan, saya periksa dulu.” Fadh berdiri dari kursinya. Membuka kaos yang menutupi bagian tubuh bayi dan menekan-nekan pelan bagian perutnya.

“Perutnya sudah keras. Nanti saya resepkan vitamin untuk melancarkan BAB-nya.” Fadh kembali ke kursinya dan menuliskan resep untuk bayi Marwa.

Alija yang menyimak menggeleng “Seharusnya ia menyarankan pada si Ibu untuk memberi ASI. Karena ASI tak mengalami pengeringan seperti susu bubuk sehingga mudah diserap tubuh bayi.”

Kalaupun si Ibu enggan mencoba memberikan ASI-nya, kenapa tak menyarankannya memberi bayi-nya pepaya.

Alija kembali teringat kalimat Dr. Tan Shot Yen “Pendekatan mekanistik telah mengubah seorang Dokter dengan keterampilan yang bernilai seni, menjadi teknisi yang (hanya) menjalankan kaidah-kaidah saintifik. Diagnosa penyakit tak lagi terhubung dengan penderitanya. Kesalahan terapi telah mengubah malpraktik dari masalah etis menjadi problem teknis belaka.”

“Mut, saya tunggu dikantin saja” Alija yang mulai jengah berpamitan pada Muthia sebelum beranjak pergi meninggalkan muka ruang praktik Fadh menuju lantai dasar tempat kantin berada.




Komentar

Login untuk melihat komentar!