Alija berada diruang konsultasi pasien pusat layanan kesehatan masyarakat. Ia tengah melakukan pemberian suntik KB pada pasien. Seorang Ibu muda yang tubuhnya sedikit gempal.
"Aduh" pasien itu sedikit meringis menahan sakit dari jarum suntik yang menembus kulit lengannya
"Nanti setelah tiga bulan kembali lagi kemari" Alija yang telah selesai menyuntik kembali ke mejanya dan menulis catatan dalam lembar rekam medik.
"Makasih Dok" Ibu tadi keluar meninggalkan ruangan.
"Pasien berikutnya" Alija mengkomando perawat yang berdiri di depan pintu ruang praktiknya
"Asrul" perawat menyebut nama bayi yang menjadi pasien berikutnya.
Seorang Ibu berdiri dari kursi tunggu dengan menggendong bayinya yang terbungkus kain gendongan.
Ia masuk ke ruang praktik dan mengangguk ke arah Alija "Pagi Dok."
"Pagi. Silakan duduk" Alija membalas sapa sambil melihat ke Ibu yang tampak tak terawat. Rambutnya yang kusam di kuncit ke belakang, wajahnya kuyu, dan pakaian yang dikenakannya hanya sepotong daster lusuh.
"Apa ini bayi Asrul?" Alija melihat lembar rekam medik dan membaca umur si bayi yang baru berusia empat bulan.
"Iya ini Asrul. Dia demam sudah dua hari jadi saya bawa kesini" Ibu itu membuka ikatan kain gendongannya.
"Tolong baringkan ditimbangan" Alija mencatat keluhan si ibu.
Si ibu mengangkat bayinya dari kain yang tadi membungkus rapat. Lalu memindahkan ke timbangan bayi.
Alija yang melihat kondisi si bayi yang tinggal kulit pembungkus tulang menahan keterkejutan.
"Apa dia tidak menyusu ?" Alija menatap prihatin pada kilogram yang menunjukkan berat badan bayi. Dalam timbangan anak panah berhenti di angka 3,5 kilogram.
Alija memindahkan bayi ke ranjang dan memeriksa dengan stetoskop.
"Saya harus ke ladang untuk mencari nafkah. Jadi dia hanya minum teh setiap harinya."
Bayi itu menatap sayu pada Alija, rambut tipisnya memerah, dengan perut cekung dan iga menonjol.
"Lagipula ASI saya tidak keluar sejak melahirkan" Ibu Asrul menambahkan.
Alija melepaskan stetoskopnya dari telinga "Asrul mengalami gizi buruk, dia harus dirawat.”
Suara adzan shubuh berkumandang dari musholla di dekat rumahnya, Alija terjaga. Ia tak langsung duduk, benaknya masih mengembara pada mimpi yang barusan dialaminya.
Puskesmas, ruang konsultasi, Asrul balita yang menderita kekurangan gizi “Mimpi tadi. Apa itu petunjuk dari-Nya ?” Alija beringsut duduk dan menggumam sendiri.
Ia mengusap wajahnya dan mencoba menyimpulkan arti dari mimpinya “Kasus seperti di mimpi hanya mungkin ku temui jika aku melakukan internsip segera dan bukannya menunda untuk alasan pernikahan” Alija menyimpulkan
Ia beranjak meraih ponselnya yang berada di meja belajar. Mengetikkan sesuatu di menu draft sms.
‘Assalamualaikum mas Fadh, sudah kuputuskan. Aku tak akan menunda internsip. Aku minta maaf tak bisa mengabulkan permintaanmu’ Alija menekan tombol sending.
Setelah selesai mengirim sms Alija mengembalikan ponsel ke tempat semula dan merapikan tempat tidurnya. Bersiap untuk mandi, shalat dan memasak sarapan pagi untuk Ia dan Ibu makan.
Selesai sarapan Alija masuk ke kamarnya, mengecek ponsel dan melihat panggilan tak terjawab dari Fadh berulang kali. Ia yakin Fadh sudah membaca pesan darinya makanya menghubungi. Alija yang tak ingin menebak-nebak bagaimana reaksi Fadh menghubungi balik.
"Assalamualaikum."
" Aku sudah baca pesan smsmu" nada suara Fadh terdengar jengkel.
"Aku harap kau mau memahami dan menerima keputusanku."
"Kita akan bicarakan nanti. Aku sekarang menunggumu di depan gang" Fadh mengakhiri perbincangan.
Alija mendesah, tertegun memandangi ponselnya. Ia masih sibuk menerka apa yang akan dikatakan Fadh nanti "Akankah Fadh mau menerima keputusannya ?"
Alija menggeleng karena tak punya jawaban. Ia meletakkan ponselnya ke ranjang dan mengganti baju rumahnya dengan busana casual yang Ia biasa kenakan kalau keluar rumah. Kemeja dipadu rok panjang semata kaki.
"Bu, Alija pamit dulu" Alija menutup pintu kamarnya dan menghampiri ibu yang tengah melipat baju seragam pesanan dan memasukannya ke plastik pembungkus.
"Kau mau kemana? "
"Alija sudah putuskan untuk tak menunda internsip. Rencananya hari ini Alija akan pergi mengurus akomodasinya"
"Hati-hati dijalan" ibu mengulurkan tangannya untuk dicium Alija sebelum gadis itu pergi.
"Assalamualaikum Bu."
"Walaikumsalam."
Alija berlalu dari pekarangan rumahnya menuju muka gang untuk menemui Fadh. Ia tak berani mengatakan pada Ibu kalau sebelum ke Dinkes Ia akan menemui Fadh terlebih dahulu. Fadh yang sudah menunggunya di ujung labirin jalan setapak rumahnya.
Ibu pasti akan marah kalau tahu Fadh enggan ke rumah dan memilih menemui anak gadisnya diluar "Tata krama macam apa itu ?" Ibu pasti akan mengatakan itu. Ia kenal betul ibu, perempuan itu selalu menjunjung adab kesantunan dalam hidupnya.
“Masuklah” Fadh membuka kaca jendela mobil dan memintanya masuk. Alija menuruti.
Begitu Alija selesai memasang sabuk pengaman, Fadh mengemudikan mobilnya kembali.
“Kau putuskan tetap pergi dan menunda rencana pernikahan kita ? "
Alija mengangguk, tak berani melihat ke arah Fadh yang dari nada suaranya terdengar marah.
"Kau tahu kau sangat keras kepala. Kau benar-benar tak menganggap hubungan kita serius."
"Aku serius denganmu."
"Kalau kau serius denganku mestinya kau memikirkan aku. Umurku yang sudah cukup untuk menikah! Lama hubungan kita! Niatan baikku untuk membelikanmu mobil sebagai hadiah pernikahan kita! Kau tak memikirkan berapa banyak pengorbananku?!"
"Aku tak memintamu untuk membelikanku mobil. Aku hanya minta kau menunggu setahun lagi. Hanya setahun untukku melakukan pengabdian di daerah."
Fadh menepikan kendaraannya dan mengerem mendadak "Turunlah, aku sudah letih menunggumu. Mungkin Sebaiknya kita akhiri saja hubungan ini."
Alija melongo terkejut, Ia tak tahu maksud kata-kata Fadh sungguhan atau sekedar ancaman. Ia turun dari mobil dan tak berniat membujuk pria itu untuk menarik ucapannya.
"Terima kasih untuk semuanya" Alija berlalu dari mobil Fadh.
Fadh sempat melihat dari kaca spion, Alija yang berjalan ke belakang mobilnya dan menyetop angkutan.
Fadh menghela nafas, Ia menjalankan kendaraannya lagi. Ia menyesal mengucapkan itu, Ia tadi hanya mengancam dan tak berharap benar-benar putus. Ia tak mengira akan mudah bagi Alija menerima kata putus darinya.
Alija terdiam membeku di dalam angkutan umum yang ditumpanginya. Masih terngiang dibenaknya ucapan Fadh terakhir tadi "Turunlah, aku sudah letih menunggumu. Mungkin Sebaiknya kita akhiri saja hubungan ini."
Alija merasa Fadh benar-benar kekanak-kanakan dan egois. Selalu ingin menang sendiri dan tak mau mengerti dirinya.
"Apa pantas aku menangis orang seperti itu? " Alija membatin mencoba menguatkan dirinya. Ia tak ingin suasana hatinya memburuk jelang keberangkatan ke wahana internsip. Ia butuh suntikan energi positif untuk menjalani hidup ke depan. Ia tak boleh terpuruk hanya karena putus dari Fadh.